Pagi tadi, Erik ditelpon terus-terusan oleh Stefi yang mengajaknya bertemu. Sahabatnya itu berkata kalau dia datang ke pertandingan tapi sayangnya tidak bisa menemui Erik karena Erik langsung pergi. Stefi juga akan pergi ke Negara lain, jadi sekalian berpamitan.
“Kangen banget jalan-jalan sama lu berdua, pake motor.”
“Hmm, nantimah gue boncengannya sama cewek gue. Makannya lu segera punya pacar biar gak nebeng mulu,” ledek Erik. Dia sayang pada Stefi tapi sebagai sahabat. Ketika Stefi secara terang-terangan mengatakan kalau dia mencintai Erik, semuanya jadi canggung. Sulit sekali untuk Erik melihat Stefi dengan tatapan yang sama. Harus ada jarak juga diantara mereka. “Gue gak mau bikin salah paham sama cewek gue soalnya.”
“Kitakan Cuma temen, dulu juga sering.”
“Nah itu, kalau mau jangan berdua. Sama yang lain aja.”
“Dulu juga gituloh, Rik, pernah main berdua.”
“Gue belajar dari pengalaman. Gak semua cewek paham kalau kita Cuma sahabatan. Jadi gue mau jaga perasaan cewek gue.”
“Yang mana sih cewek lu? Ganti-ganti mulu?” mengalihkan pembicaraan supaya tidak sakit hati. Dalam benaknya, Stefi bertanya-tanya apa yang kurang darinya. dia mencintai Erik, bahkan tidak memaksa pria itu mencintainya. Asal Erik menjadi miliknya maka semua akan baik-baik saja.
“Ada deh, nanti lu juga tahu.” Erik meminum kopinya. “Udah siangan nih. Gue mesti balik ke hotel.”
“Gue juga mau ke hotel dulu sih. bisa gak sih ketemu dulu? susah banget gue nelponin lu juga.”
“Gak bisa, kapan-kapan aja lagi ya. Ada banyak kerjaan nih. Biasalah seleb,” mencoba untuk mencairkan suasana. Erik bertingkah seperti dulu dia dan Stefi terbiasa bersama. “Lu jangan lupa bilang sama orangtua gue kalau lu gak mau perjodohan ini. atau lu punya pacar kek. Gimanapun gue kangen sama BoNyok.”
“Meskipun gue ngomong, mereka gak akan sepenuhnya balik kayak dulu kalau kata gue. Kecuali lu terima perjodohan kita maka semuanya bakalan beres.”
“Jangan bahas itu lagi, lu kudu dapet yang terbaik buat lu. Udah kalau gak mau ngomong juga gak papa. gue mau balik lagi ke penginapan nih.”
“Gue boleh ikut?”
“Jangan, banyak rahasia pembalap disana,” ucap Erik mencoba meyakinkan. “Yokk balik.” Melangkah lebih dulu.
Dibelakang sana Stefi mengerucutkan bibirnya. Terlalu banyak kenangannya dengan Erik sejak kecil, jadi susah untuk melupakannya. “Aww!” Stefi berteriak dari belakang. “Sakit, keseleo deh.”
“Lu ngelamun apa gimana sih?” erik kembali lagi dan membantu sang sahabat. Tangan Stefi langsung melingkar di lengan Erik. “Nanti nyetir sendiri bisa?”
“Bisa kayaknya.”
“Sini gue pijet dulu deh.”
“Nanti disana aja, lu mau ke penginapan kan?”
Tapi Erik memaksa hingga Stefi duduk lagi dibangku café dan dibantu oleh Erik dengan pijatan selama beberapa menit. “Udah mendingan?”
“Udah. Thanks ya.” tersenyum dengan manis. “Tapi gue butuh bantuan deh, kalau jalan masih sakit.”
“Yokk.” Membiarkan Stefi melingkarkan tangan dilengannya dan keluar dari sana. Erik kaget mendapati Maudy yang hendak masuk ke café ini. “Ohh, Mbak. Kenalin ini temen gue, namanya Stefi.” Erik segera melepaskan tangan Stefi yang sedanng bergelayut manja padanya. “Sahabat dari orok sama dia.”
“Oh.” Maudy memasang wajah datarnya. “Hallo salam kenal.”
“Iya, Mbak.” Stefi ikut bersalaman. “Ayok bantuin dulu ke mobil,” pintanya pada Erik.
“Bentar ya, Mbak.”
Maudy mengabaikannya dan memilih tetap masuk kedalam café. Membeli kopi dan keluar lagi sudah ada Erik menunggunya disana. “Dah pulang pacarnya?”
“Bukan pacarnya, Mbak. Sahabat orok gue itu.”
“Iya, sahabat tapi keknya suka sama lu deh.”
“Cemburu?” Erik terkekeh. “Iyasih dia suka sama gue, tapi guenya kan suka sama lu.”
Maudy tetap berjalan tidak menanggapi. “Mbak semalem muntah tau.”
“Sorry.”
“Belum cukup.”
“Terus lu mau apa? Mau ambil hadiah yang itu? ayok ke kamar sekarang.”
“Wihh, agresive banget. Gue suka deh.”
Maudy memutar bola matanya, sudah malas dengan Erik. “Nanti itumah kalau waktunya tepat. Lu harus minta maaf karena udah ambil hati gue, tapi gak balikin lagi ke gue. Cieee, telinganya merah.”
“Ini efek kopinya panas, bukan lu,” ucap Maudy melangkah lebar kembali kedalam rumah.
****
Kentara sekali kalau Maudy sedang kesal padanya. bahkan ketika sampai di hotel, Maudy masih enggan berbicara. Setiap skinship pasti akan ditepis dan diberikan tatapan sinis. Erik hanya tertawa menanggapinya. Denga santainya dia juga ikut masuk ke kamar Maudy. “Ih ngapain kesini, balik gak ke kamar lu!”
“Nggaklah, nanti aja, Mbak.”
Erik yang kepala batu memilih duduk dibibir sofa dan merebahkan dirinya diatas ranjang. Maudy sudah lelah dan mengabaikannya saja. mengerjakan hal lain yang lebih bermanfaat. “Dia bukan siapa-siapa, Mbak. Cuma sahabat yang pernah nolongin gue pas kecil. Terus dia kena penyakit deh. Nah, orangtuanya minta gue tanggung jawab dengan jaaga dia. Sempet sih kita…. Bukan pacaran sih disebutnya, entah apa gitu karena gue nemenin dia selama dia sakit. Tapi akhirnya gue memilih ninggalin dia karena gak bisa maksain hati. Gue mau kejar lagi cewek gue, tapi dia malah udah nikah sama orang lain.”
Maudy bahkan mematung mendengarkan Erik yang memejamkan mata sambil bicara itu. “Syukurnya sekarang dia udah sembuh, dan dia ngajak temenan lagi. gue ngerasa dosa sama dia karena selalu dukung gue, tapi pertemanan ini gak bisa kembali lagi kayak dulu. rasanya beda aja gitu.”
“Kalau kasihan, lu sama dia aja. lagian dia cantik juga kok. lama-lama pasti cinta.”
“Cinta bukan tentang fisik, tapi tentang hati. Kadang cinta itu aneh, tiba-tiba berlabuh padahal cewek itu gak sesuai kriteria. Tapi yang namanya cinta bisa apa ‘kan?”
“Oh, jadi lu bukan kriteria lu gitu?”
“Hah? Emang kita ngomongin apa?”
Maudy langsung diam malu. Dia berdehem dan mengalihkan pandangan ketika pria itu mengangkat kepala menatapnya. “Cieee, langsung ngeuh kalau gue cinta sama lu. Makannya terima kenapa sih, Mbak.”
Wajah Maudy memerah dan memilih pergi ke kamar mandi. Berhasil membuat Erik tertawa dan naik keatas ranjang untuk berbaring lebih nyaman. Sekarang dan besok dia masih memiliki waktu istirahat sebelum pesta di klab malam. ini sudah menjadi agenda untuknya melakukan pesta setelah kemenangan. Kadang Erik melakukannya di Negara tempatnya tinggal. Namun ada salah satu klab yang menyediakan tempat gratis untik Erik, jadi kenapa tidak dimanfaatkan saja? kan lumayan.
“Ih kenapa belum balik sih? lu punya banyak waktu luang sana. jangan ganggu hari libur gue.” Maudy kesal dan mencoba menarik tangan Erik supaya bangun. Namun pria itu yang malah menarik Maudy hingga jatuh keatas ranjang dan berhasil dipeluk oleh Erik. “Lepasin gak?”
“Mbak, tiba-tiba gue kangen sama Nyokap Bokap,” ucapnya mengubur wajah dileher Maudy. perempuan itu merasakan ada tetesan hangat dibahunya. Erik menangis? “Gue emang anak yang gak nurut, tapi its my life. Keputusan gue jalani hal ini juga gak ngerugiin mereka.”
Maudy diam membiarkan Erik memeluknya. Mengingatkannya pada Mark yang selalu merindu padahal hubungan mereka baik-baik saja. secara refleks, tangan Maudy mengelus rambut Erik. “Setiap orang punya alasan ambil langkah dalam hidupnya.”
“Hidup gue bukan milik mereka. kenapa mereka harus ngatur hidup gue.”
“Karena mereka udah besarin lu. Mau bagaimanapun, mereka tetep orangtua lu. Mereka pasti punya alasannya sendiri.”
“Iya, alasan mereka itu keegoisan.”
“Dan apapun keputusan yang kita ambil, harus siap sama konsekuensinya. Dan rindu itu hal yang wajar.”
“Mereka benci banget sama gue karena satu kesalahan yang gue buat.”
Semakin mengeratkan pelukan pada Maudy, perempuan ini begitu nyaman. Memberikan ketenangan dengan suara yang lembut. Erik mulai memejamkan mata. Maudy merasakan pria ini tidur. Mustahil untuk mendorong tubuh Erik. Jadinya Maudy membalas pelukan Erik sambil mengelus punggungnya. Air mata menjelaskan bagaimana rindunya Erik pada kedua orangtuanya. Entah apa yang menjadi titik permasalahannya, Maudy tidak bisa membantu banyak.
“Lu hebat.” Maudy ikut memejamkan mata.
***
Begitu Maudy membuka mata, dia langsung dihadapkan dengan Erik yang sudah bangun. Pria itu menatap dengan tangan merangkup pipi Maudy. tatapannya begitu dalam. Oh, Erik tampan ya?
“Thanks,” ucap Erik. “Atas pelukannya.” Mendekatkan wajah dan mengecup bibir Maudy. “Gue mau nagih hadiah gue, Mbak.”
Maudy diam mematung dan membiarkan Erik merangkum bibirnya. Pria itu mengulum, menggigit dan memangut dengan penuh kelembutan sampai Maudy ikut dalam arusnya. Perempuan itu memejamkan mata dan membuka mulut, membiarkan lidah Erik masuk dan mengabsen deretan gigi.
Ini mulai memabukan, bahkan posisi Erik sekarang sudah berada diatasnya. Maudy meremas rambut Erik dan melenguhj tertahan karenanya. Ini sangat luar biasa! Ciuman terlepas hanya untuk mengambil napas sebelum kembali menyatu. Saliva bercampur, dengan tangan Erik yang mengelus pinggul Maudy yang bergerak tidak karuan.
Maudy merasakan ada banyak kupu-kupu berterbangan diperutnya. Tubuhnya juga mulai panas hanya karena ciuman saja. begitu terlepas, keduanya saling mengunci tatapan satu sama lain. “Tuntasin apa yang lu mau, terus jangan ganggu gue lagi, Erik.”
“Yang gue mau itu hati lu, Mbak. Bukan tubuh lu,” ucapnya menunduk kemudian mengecup kening Maudy sebelum akhirnya beranjak. “Yok bangun terus siap-siap, kita makan malam diluar sambil jalan-jalan.”
Maudy masih diam ketika Erik kembali ke kamarnya. Langsung bangun dan melihat tubuhnya di cermin. “Itu bocah kenapa berhenti? Emang tubuh gue kurang menggoda apa? Padahal yang dia mau ‘kan ini.” teringat lagi dengan ciuman panas tadi yang menggairahkan. Libido Maudy naik, dia ingin melakukan hal lebih, tapi Erik dengan manisnya menghentikan itu semua. “Udah ah. Sekarang waktunya siap-siap.”
Erik mengajak makan malam diluar, Maudy ikut saja. Dia juga ingin jalan-jalan.
Masih dengan pemikiran adegan tadi, Maudy menunggu Erik di kamarnya.
“Mbak, udah siap belum?”
Tanpa menjawab, Maudy membuka pintu.
“Wuihhh cantik banget nih,” ucapnya mencubit pipi Maudy. “Tumben gak ditabok ini tangan?”
“Cepetah ah laper.”
Sepanjang pernikahannya dulu, Maudy tidak pernah merasakan hal-hal manis dari suaminya.
“Kenapa gak pake jaket sih?” Erik memegang tangan Maudy yang dingin. “Tuh dingin banget.”
“Lepas ah.”
“Dingin, Mbak, nanti sakit.” Erik tetap menggenggam tangan Maudy sambil menyetir. Sambil modus juga. “Bentar ya.”
“Mau kemana?”
Erik tidak menjawab dan malah masuk sebuah mini market. Lima menit kemudian, dia kembali dengan membawa kantong air hangat. Dia juga membawa jaket dari bagasi belakang mobil. “Pake ini. punya gue kok. Kantong air angetnya juga, soalnya agak jauh.”
“Makasih.” Maudy tersenyum tipis.
“Sekalian nanti beli baju buat lu ya.”
“Hah? Baju apaan? Emang punya gue jelek? Bau?”
“Bukan, buat nanti pesta di klab. Masa lu gak ikut.”
“Gak mau ah.” Maudy menggelengkan kepalanya, kapok dengan hal itu.
“Yaudah kalau gak mau juga gak papa. Gue gak akan bikin kekacauan kok. Tanggung mau dibatalin juga, soalnya udah kerjasama sama si pemilik klab.”
“Oh iya lupa, gue ikut deh.”
Senyuman Erik mengembang. “Oke, nanti kita beli bajunya.”
Erik mengajak Maudy makan malam disebuah restaurant pinggir jalan. Bukan restaurant mewah, tapi type Maudy sekali, apalagi ada sungai dibelakangnya. “Mau disana,” pinta Maudy ketika mereka sedang reservasi.
“Boleh.” Untungnya dibelakang belum ada yang memesan. “Hati-hati lantainya licin.” Menggenggam tangan Maudy ketika hendak melangkah.
“Jangan pegang,” ucap Maudy karena ada beberapa wanita yang mengenali Erik, pasti mereka penggemarnya.
Erik menghela napas dalam. “Yaudah lu duluan, gue khawatir lu jatuh. Mana sepatunya kek gitu, licin tau.”
“Kok malah marah-marah sih?” Maudy berjalan lebih dulu.
Benar saja, baru beberapa langkah, dirinya tergelincir dan hampir jatuh. Untungnya Erik langsung menahannya. “Kan……”
***
Saat makan malam berlangsung, ada beberapa wanita yang datang dan meminta berfoto bersama dengan Erik. Maudy jelas menjadi korban untuk memotretkan mereka. pasti tuh anak bahagia banget dikelilingi ciwik-ciwik.
“Thank you so much.”
Mereka bahkan ada yang sampai mengecup pipi Erik secara tiba-tiba. Erik hanya bisa tertawa. “Dah yok kita belanja.”
“Males ah, nanti aja belanja sendiri. nanti disana malah ada fans lu lagi.”
“Nanti sendiri emang tahu daerah sini? udah ayok, lagian butik ini gak sembarangan orang bisa masuk, Mbak. Penggemar gue paling bijian. Sekalian jalan-jalan malem, terus ada streetfood disana. Emang lu gak mau?”
Ya mau, mana Maudy belum pernah keluar Negara sebelumnya. akhirnya dia ikut saja pada Erik. Sepanjang jalan, hanya ada keheningan sekarang.
“Noh, Mbak. Suka gak rumah kayak gitu?”
“Nggak. Gue suka yang disana.” Menunjuk sisi lain jalan.
“Gak akan muat buat anak-anak kita. Rumah gitumah kecil. Gue mau punya banyak anak soalnya.”
“Dih, siapa yang mau nikah sama lu?”
“Ya lu lah, Mbak. Hehehehehe. Jadi gak sabar.”
Maudy berdecak. “Gak usah mimpi.”
“Mimpi sama lu indah soalnya. Gimana gak indah, orang bidadari gini speknya.”
Maudy memalingkan wajah ketika yakin kalau pipinya memerah. Begitu sampai dibutik, Erik kembali menggenggam tangannya saat melewati jalan yang becek. “Hati-hati.”
Teringat ketika makan tadi, saat ada cipratan saus kebajunya, Erik membersihkannya dengan manis.
“Tuhkan tempatnya sepi. Gak banyak orang tau, Cantik.”
Ketika sang pelayan datang, Erik langsung menyebutkan kriteria baju yang dia cari. Pokoknya Maudy tidak boleh berpakaian terbuka.
“Tentu saja, Tuan Erik. Saya akan mencarikan pakaian yang pas untuknya,” ucap pelayan itu bahagia.
Iya, Erik Brand ambassador dari merk ini.
“Mbak, bentar ya. Ralph nelpon nih.” Sampai memperlihatkan layar ponselnya. “Milih aja. asal jangan yang ketat. Kalau yang ketat, bayar sendiri.”
“Ih masa gue sendi──”
“Mari, Nona. Saya pilihkan.”
Akhirnya melangkah mengikuti pelayan itu. Maudy duduk ditempat yang disediakan dan dibawakan pakaian-pakaian pesta. “Anda bisa mencobanya, Nona. Saya akan membantu.”
Mata Maudy jatuh pada pakaian berwarna hitam. Tapi itu ketat dan Erik tidak akan mengizinkannya. “Yang merah saja.”
“Ingin anda coba?”
“Iya, sendiri saja.” pergi kekamar ganti. Maudy suka dengan modelnya, tapi kenapa dia tampak tidak menarik? Pakaian ketat yang paling cocok untuknya, maudy merasa percaya diri dengan itu.
Saat hendak keluar, Maudy mendengar suara keributan.
“Saya menginginkan pakaian itu, bukannya seminggu yang lalu saya bilang akan kembali.”
“Anda bilang akan kembali dalam tiga hari. Jadi batas waktunya sudah habis, Nona.”
Ketika Maudy keluar dan melihat apa yang terjadi, dia kaget ketika menatap wanita yang sedang berdebat dengan pelayan. “Maudy?”
Oh astaga, wanita ini….. kekasih mantan suaminya. Atau sekarang mereka sudah menikah?
“Kamu ngapain disini? Nah, itu baju yang aku cari.” Langsung mendekat pada Maudy. “Jadi TKW sekarang?”
Maudy diam. Penampilan wanita dihadapannya ini membuatnya insecure.
“Lepasin, itu aku yang pesan.”
“Nggak, aku yang duluan,” ucap Maudy menepis tangan sang wanita yang hendak menyentuhnya.
“Ck, berani ya kamu.” wanita itu tampak kesal. “Ohh, atau aku harus panggil mantan kamu buat pinta itu baju buat aku? ekhem! Mantan kamu yang sekarang udah jadi suami aku. Mas Charlie pasti kaget lihat kamu disini, jadi TKW?”
Maudy diam, bibirnya tiba-tiba kelu. Dari dulu, wanita inilah yang menjadi sumber rasa sakitnya. Tiba-tiba datang dan merebut suaminya.
“Aku sama Mas Charlie lagi babymoon kesini. Eh kaget ada kamu juga.” Memandang dari atas kebawah. “Mas Charlie nunggu sih diluar. Mau ketemu sama dia? Biar dia tahu kalau mantannya sekarang udah gak buncit, kucel, jelek juga. Gede ya gaji TKW?”
“Dia datang kesini dengan saya,” ucap Erik keluar dari tempat sembunyinya sejak tadi. “Dia manager dari seorang pembalap kelas dunia.”
“Kamu siapa?” tanya wanita itu.
“Gak kenal? Tuh lihat,” ucap Erik menunjuk poster besar di butik ini. “Foto saya dimana-mana ‘kan? saya orang hebat, dan Maudy kerja menjadi manager saja. Dia pintar bisa memanage segala hal. Dia kesini karena saya ada pertandingan juga. Ah iya, bahasa inggris kamu gak selancar Maudy. jadi jangan merendahkannya ya. atau saya akan susul kamu pake motor balap saya. Mau?” tanya Erik dengan kesal. “Maudy wanita hebat. Kalau kamu mau gaun ini, ambil saja. Maudy perlu gaun yang lebih mahal untuk menghabiskan gajinya. Yang ini terlalu murah.”