“Kamu rawat diri kek, udah hamil jadi gak keurus gitu badannya.” Semua kalimat yang memojokan penampilannya membuat Maudy trauma. Begitupula dengan wanita yang sekarang menjadi istri dari mantan suaminya. Maudy tiba-tiba saja kehilangan kekuatan untuk melawan.
“Saya bisa sered Mbaknya ke sirkuit loh. Jangan macam-macam,” ucap Erik kesal. Kemudian memerintahkan pada pelayan, “Bawakan semua baju yang direkomendasikan dan kirimkan ke alamat hotel ini.”
Erik kasihan juga dengan Maudy. Yang dia dengar kalau wanita ini merebut kekasih Maudy, bahkan dengan beraninya menjelek-jelekan Maudy. Mereka kembali masuk kedalam mobil. “Yang mana sih mantannya, Mbak? Seganteng apa? Gue pengen lihat terus geleng kepalanya,” ucap Erik kesal.
Namun melihat wajah Maudy yang tidak mood, pria itu berdehem menahan rasa penasarannya. “Udah ayok pulang,” ucapnya menggenggam tangan Maudy yang kembali dingin. “Itu pasti mobil sewaan mantannya. Jelek gitu ah, pasti yang murah. Hilih!”
Erik mengantarkan Maudy sampai kekamar. “Mau langsung tidur?”
“Iya, makasih buat hari ini.”
“Gue nunggu disini aja ya, Mbak. Soalnya nungguin baju yang pesenan lu.”
“Terserah lu aja,” ucapnya masih dengan lesu melangkah kekamar mandi.
Erik bingung harus apa. Sampai baju-baju itu datang tidak lama kemudian, Erik akan meminta Maudy mencobanya. “Mbak, bajunya udah datang. Cobain nih.”
Melangkah mendekat pada Erik dan kaget melihat betapa banyaknya pakaian itu. “Rik, ini pakaian pesta semua. Lu beli sebanyak ini buat gue?”
“Iyalah, Mbak. Kan kedepannya Mbak pasti bakalan sering keluar masuk pesta sama gue. Ehehehe, jadi harus punya banyak. Cobain satu coba.”
“Males ah.”
“Cobain satu.” Menahan Maudy yang hendak duduk. “Cepetan. Yang ini bagus nih.”
Maudy menghela napasnya dalam. Jika tidak dituruti, Erik akan terus memaksa. Akhirnya mencoba pakaian itu. tapi Maudy merasa tidak nyaman dan percaya diri hingga diam dikamar mandi.
“Mbak? Lu gak pingsan kan?”
“Baju ini gak pantes ditubuh gue deh.”
“Coba dulu sini. Gue mau lihat.”
Ketika Maudy keluar, Erik langsung membulatkan mata. Tidak cocok bagaimana? Maudy tampak menawan. “Mbak, lu cantik banget sumpah.”
“Jangan lebay.”
“Dih, mana ada. Nih gue foto ya.”
Maudy memejamkan mata ketika flash ponsel menyorot wajahnya. “Cantik banget nih. Apalagi kalau lu senyum sama percaya diri. Pasti nambah cantik, Mbak.”
“Tapi baju cantik ini kayaknya gak cocok di gue deh, Rik.”
“Mbak suka nggak sama baju ini?”
Maudy mengangguk. “Bajunya cantik.”
“Yaudah, pake aja. Pandangan jelek dari oranglain malah bikin kita badmood.”
Belum juga percaya diri, Erik menarik tangan Maudy supaya berdiri didepan cermin. Pria itu tepat berada dibelakang Maudy.
“Tuh, gak cocok. Lu lihat sendiri.”
“Coba lu nya pake senyum, Mbak.”
“Nggak, nanti ngeri.”
Tangan Erik menutup kedua mata Maudy kemudian berbisik ditelinganya. “Bayangin lu ada di tempat terindah yang lu suka. Betapa bahagianya lu ada disana. Ditambah orang-orang yang lu sayangi juga ada disana.”
“Rik, ini kita ngapain sih?”
“Bayangin dulu, Mbak. Lu bahagia banget disana, dikelilingi orang yang lu sayang dan tempat impian lu.”
Maudy membayangkan sebuah keluarga yang terdiri dari dirinya, Mark dan juga pasangan yang mencintainya. Disebuah rumah yang hangat. Ahhh, khayalan itu memang menyenangkan. Sampai Erik melepaskan tangan dari mata Maudy. “Nah, buka mata lu.”
Langsung berpandangan dengan cermin. “Cantik ‘kan?” tanya Erik. “Baju itu gimana pembawaan kitanya tau, Mbak.”
Benar juga, dia terlihat sangat mengagumkan dengan aura positive yang terpancar keluar.
“Lu itu cantik.” “Masa iya ganteng.” Melanjutkan dalam hati.
Tanpa Erik duga, Maudy berbalik padanya dan memeluknya. Sadar apa yang dilakukan majikannya ini. “Makasih.”
Erik menahan napas, kaget dipeluk tiba-tiba!
“Rik?” Maudy mengadah dan kaget melihat wajah merah Erik. “Rik? Lu kenapa? erik napas!”
Ketika pelukan terlepas, Erik langsung jatuh terlentang diatas karpet dengan wajah merah padam. “Erik napas!”
“Hahhhhh!”
“Uhuk! Uhuk!” Maudy menutup mulutnya mencium aroma anggur dari mulut pria itu. “Ih! Lu nyebelin deh ah!”
****
Sampai hari pesta itu datang, Erik diam dikamarnya sebelum berangkat. Dia memandang fotonya bersama dengan kedua orangtuanya. Hanya karena masalah perjodohan, hubungan mereka jadi renggang.
“Kamu udah bikin keluarga malu! Stefi itu berutang banyak sama kamu. harusnya kamu jagain dia seumur hidup kamu.”
“Pah, Erik gak minta buat diselametin sama dia.”
“Keluarga itu juga udah bantu banyak sama kita, Erik! Papa malu! Stefi itu mencintai kamu, apa yang kurang?”
“Kurang bumbu rasa. Gak bisa dipaksa, Pah!”
Setelah pertengkaran itu, Erik mulai memasuki ranah balapan untuk menyalurkan emosinya karena sang kekasih hati menikah dengan pria lain. Saat kembali kerumah dengan kemenangan, Papahnya malah berteriak, “Masih ngerasa jadi anak kamu? Udah jadi pembalap dan nolak perjodohan, kamu pikir masih aanak saya?”
Duh, sakit hati. Sampai bayangan itu membuat Erik memukul-mukul dadanya sendiri.
“Kenapa lu?”
Berbalik dan mendapati Maudy yang sudah dikamarnya. “Ihhh, cantik sekali bidadari ini. Gak capek apa cantik terus?”
“Udah jangan gombal, ayok berangkat.”
“Pake ini dulu ya. Biar gak masuk angin.” Memakaikan coat pada Maudy dan merangkulnya.
“Lepasin ih.”
“Nanti ada yang licin terus jatuh. Udah dipegangin aja.” selalu saja ada modusnya.
Anehnya lagi, ketika mereka didalam lift, selalu saja ada pria yang memperhatikan tubuh Maudy. yang refleks membuatnya mendekat pada Erik. “Gak papa gue pake baju kayak gini?” tanya Maudy ketika masuk mobil.
“Gimana maksudnya?”
“Aman gak? Nanti disana banyak cowok kan?”
“Jangan khawatir. I can fight.” Otot-ototnya siap untuk meninju siapa saja yang menggoda Maudy. “Lakuin apa yang lu suka, Mbak.”
Begitu sampai di klab yang dimaksud, Maudy menahan dulu tangan Erik saat hendak keluar. “Gak papa, Cantik. gue jagain lu kok. biar lu sadar kalau gue ini lebih baik dari crush lu yang sekarang.”
“Bukan itu ih. Gue pengen lu gak terlalu mabuk, pulang jangan terlalu larut kan kita besok ada penerbangan.”
“Iya, terus apa lagi? jangan deket-deket sama cewek? Enggak akan, gue Cuma buat lu aja kok.”
“Udah gitu aja.” Sebelum Erik mulai menggila, Maudy keluar lebih dulu.
Penjaga langsung mengawal mereka masuk kedalam klab tempat pesta dilakukan. ketika pintu terbuka, Maudy langsung mendengar suara teriakan antusias. Kembang api dan champagne sparkle dengan suara music langsung menyambut. Semua mata tertuju pada Erik dan refleks membuat Maudy melangkah mundur.
“Jangan mundur-mundur, Cantik,” bisiknya sambil menggigit telinga Maudy.
Jika saja tempat itu tidak ramai, Maudy akan memukul Erik.
“Eriikkkkk!” teriak mereka ketika sang bintang masuk.
Maudy melepaskan tangan Erik dan memberi isyarat kalau dirinya akan bergabung dengan team yang ada dipojok. Erik sempat menariknya, tapi Maudy menolah. Dia memilih duduk disamping Ralph dan para anggota team yang sudah tua. “Hei, kau ini masih muda. Bergabunglah dengan mereka.”
Maudy menggeleng. “Aku lebih suka disini bersama kalian.”
Dari posisinya, Maudy melihat bagaimana Erik naik kelantai dua dan mendekat pada sang DJ. Sang pembalap meneriakan namanya sendiri yang langsung disambut tepuk tangan. Maudy sampai menggelengkan kepalanya heran. “Kayak sekte sesat,” gumam Maudy.
Dengan jelas matanya melihat bagaimana Erik dikerumuni oleh para wanita disana. Yang seketika membuatnya berpaling.
“Erik melepaskan pegangan wanita itu, lihatlah dia menatapmu, Maudy.”
“Jangan mengatakan hal-hal seperti itu, Ralph,” ucap Maudy mencoba mengabaikan dan menghapuskan beberapa hal manis yang dilakukan oleh Erik padanya.
Apalagi malam sebelumnya mereka tidur bersama terus, dan itu dikarenakan Erik dengan semua alasan konyol dan modus bodohnya.
“Harusnya gue gak biarin dia masuk gitu aja. Hiks, pengen pulang, Bu,” ucapnya tidak cocok dengan keadaan ini. Tapi Maudy harus datang untuk berbicara dengan sang pemilik klab dan memastikan Erik tetap waras untuk tidak membuat kekacauan.
Karena beberapa kali, Maudy mendengar berita simpang siur kalau dalam pesta seperti ini selalu ada keributan yang ditimbulkan para wanita pemuja Erik. Mereka memperebutkan perhatian sang pembalap.
***
Pesta itu berlangsung dengan gila. Maudy melihat dengan jelas bagaimana Erik dikerumuni oleh para penggemarnya yang bukan sembarangan orang. Mereka model, pebisnis dan influencer. Maudy hanya diam bersama dengan Ralph dipojokan ruangan supaya tidak masuk kedalam kekacauan itu. tapi tetap saja ada orang mabuk yang berjalan kearah mereka dengan sempoyongan dan mengganggu Maudy.
“Kau tidak mau bergabung dengan Erik dibelakang? Ada kolam disana, Erik pasti sedang berenang.”
“Tidak. Aku disini saja,” ucap Maudy memaksakan senyumannya.
Sementara itu, Erik memang sedang berada ditepi kolam renang melihat wanita seksi yang memanggilnya dengan lambaian tangan. “Gabung, Rik,” ucap Sanding yang datang ke Austin sekalian liburan dan mampir di pesta Erik. Dua teman lainnya tidak datang karena mereka sibuk dengan pekerjaan yang lain.
“Kagak ah. Gue lagi ngincer si Mbak. Kepengen banget gue ajak nikah.”
“Yakin lu sama dia? Masih nolak ‘kan?”
“Lagi deket sama seseorang dia tuh. Tapi sepanjang pengamatan gue, dia gak bisa move on dari mantannya. Persis kayak gue.”
“Jodoh berarti.”
“Semoga aja. kesini aja kagak mau.”
“Dimana dia sekarang?”
“Sama Ralph.”
“Wah, tumben tuh Manager Team lu mau nunggu.”
“Yakan gue bayar buat bisa nemenin Maudy,” ucap Erik sambil merokok. Dia sengaja meminta Ralph dan beberapa orang untuk berada disana mengawasi Maudy, karena tahu pasti ada beberapa pasang mata yang mencoba meraih wanita impian Erik tersebut.
“Mau cara cepet gak? Supaya dia jadi milik lu.”
“Jangan ngaco lu. Jangan main-main juga. Nanti gue lindes disirkuit.”
Sanding malah tertawa. Dia mematikan rokok dan berdiri. “Gue lakuin ini demi kebaikan lu.”
“Woy, jangan macem-macem lu, Anjing!” hendak menyusul tapi sang pemilik klab lebih dulu datang padanya. “Hai, Mae?”
“My name is May. Not Mae.”
“Iyam maksud gue gitu.” Erik terkekeh. “Ada apa?”
“Aku menyediakan kamar. Mungkin saja kau ingin menginap bersama salah satu kekasihmu.”
“Ohhh, kau pengertian sekali. Tolong siapkan saja ya. sekalian juga dengan makanannya.”
“Kau akan mendapatkan pelayanan terbaik.”
Bukan untuk tidur bersama wanita, Erik merasa dirinya akan mabuk dan tidur disini. Dia tidak mau merepotkan Maudy dan team, hanya bersenang-senang untuk sekarang. Meneguk lagi alcohol untuk yang kesekian kalinya. Erik menikmati pestanya seperti biasa. Bedanya dia sedikit membatasi perempuan yang mendekat padanya.
Sampai kepala Erik yang mulai pusing melihat Ralph berjalan kearahnya dengan wajah panic. “Kenapa? apa wanitaku baik-baik saja?” bertanya dengan kepala yang sakit.
“Temanmu memberikan minuman aneh pada Maudy. Kurasa dia sekarang… eumm…”
“s**t!” erik langsung bergegas melangkah mencari Maudy.
Sesuai dugaannya, Maudy tengah mabuk dengan leher merah. Ini bukan mabuk biasa, perempuan itu bahkan mencoba untuk membuka pakaiannya. “Lu ngapain si, Adjing?!” menatap sahabatnya kesal.
“Gue Cuma bantuin lu ya, Bangssat. Lagian lu pernah wikawik sama ini cewek. Kenapa gak lagi aja? biar nanti jadi anak ‘kan?”
“Eungghhhh….”
Erik menatap Maudy yang mulai tersiksa. Dia menggendong perempuan itu dan menghentikan perdebatan. Melangkah menuju kamar yang disediakan oleh sang pemilik klab dilantai tiga.
“Erik…. Eungghhh….”
“Diem, ini masih di lift,” ucap Erik kesal.
Begitu sampai dikamar, Erik membawa Maudy kedalam kamar mandi. Mendudukannya dalam bathub dan mulai menyalakan air. “Aaaaa!” perempuan itu menjerit karena rasa dingin. “Erik?”
“Mbak, lu udah minum obat per*ngsang dari temen gue. Mandi air dingin biar lu waras.” Kemudian segera meninggalkan Maudy disana sebelum melihat tubuh sang pujaan hati. Erik pusing melihat pakaian ketat Maudy dengan air yang membuatnya tampak lebih menggairahkan.
Menunggu sambil duduk diatas ranjang, semoga saja Maudy benar-benar sadar. setelah setengah jam, Maudy tidak kunjung keluar. “Dia gak mati tenggelam kan?” Erik mengetuk pintu dan langsung masuk saja.
Hal yang mengagetkan untuknya ketika melihat Maudy yang berendam air dingin sambil mencoba memuaskan dirinya sendiri. “Erik,” ucapnya dengan mata sayu dipenuhi kabut Gairah.
Efeknya ternyata tidak mudah hilang.
“Erik… hiks… sakit,” panggilnya.
Kalau sudah seperti ini, Erik harus apa?