Apartemen atau lebih pas disebut flat kecil itu adalah tempat tinggal Maudy? erik sampai menatapnya dengan mata menyipit. Bagaimana bisa seseorang tinggal disini? Gedungnya berdekatan, tidak ada view yang bagus juga. “Mbak, tahu kan kalau lu harus masak buat gue dan pastiin kalau gue baik-baik aja?”
“Gue masaknya diflat gue aja, nanti dianterin ke lu.”
“Tapi gue perlu mastiin kalau yang lu masak itu sesuai sama selera gue.”
“Kan gue komunikasi sama Mbak Detya, Rik. Dia kan tahu semua tentang lu.”
“Kali aja gue ganti menu favorite gituh, Mbak.”
Maudy tidak bodoh untuk mengenali ketertarikan Erik padanya. Namun jujur, dia tidak berniat menjalin hubungan dengan seseorang yang lebih muda. Terlebih dia adalah majikannya sendiri. Maudy hanya ingin focus bekerja. Karena Maudy selalu berakhir disakiti oleh pria.
“Nanti lu bilang aja sama gue, apa yang lu suka gituh.” Menghela napas lega saat mobil berhenti di basement.
“Mbak,” panggilnya menahan tangan Maudy.
“Jangan sentuh gue!” refleks berteriak seperti itu.
Yang membuat Erik langsung menarik tangannya dan menggelengkan kepala. “Mbak, gue gak kadas kurap kok. lu kenapa sih kayak yang gak suka gue sentuh? Kita pernah satu tubuh juga.”
“Lu bilang apa?” tanya Maudy kesal.
“Enggak, ehehehe, keceplosan soalnya kesel, kan gue gak punya penyakit kulit, Mbak.”
“Udahlah, gue mau pulang dulu. Job hari ini selesai, gue mau sortir kontrak yang masuk lainnya. Nanti kalau udah gue sortir, gue laporin sama lu buat ambil atau enggak.”
“Gue gak bisa diganggu kalau nanti. Gue ikut aja ya ke tempat lu.”
“Kan lu mau nge-Gym.”
“Nggak, mau ikut lu aja, mau kerja.”
“Rik lu men──”
“Gue perlu mastiin, Mbak. Kalau Mbak Detya emang bener pilih lu. Masa gue gak boleh ke rumah managernya sendiri?”
Maudy tahu kalau dia tidak akan menang berdebat, jadi mengizinkan saja Erik ikut melangkah dibelakangnya. Sambil mendumal kesal, kenapa Erik begitu menyebalkan dan mengganggu harinya? Tidak bisakah mereka bertemu hanya untuk bekerja saja?
Berbeda dengan Maudy, Erik memandangi tubuh mungil dan seksi itu dari belakang. Langsung menelan salivanya kasar, tubuh Maudy benar-benar bagus dan pas dipelukannya.
“Rik, sumpah nanti kalau sorean lu pulang ya. gue ada urusan.”
“Urusan apa?”
“Keluarga, mau telpon Mak gue dikampung. Dan gue gak suka ada orang disini.”
“Iya nanti gue pulang.” Bahkan pria setampan dirinya diusir dengan begitu mudah. “Wahhh, tempatnya bersih cantik kayak yang punya ya? hiasannya manis-manis juga, kayak lu banget Mbak.”
Maudy tahan banting dan mengabaikan Erik. “Nih, beberapa tawaran kontrak yang masuk. Ini udah disortir sama Team, dan ini yang paling bagus gak bikin lu terkekang. Tapi ini perlu pertimbangan lagi dari lu,” ucap Maudy langsung memberikan ipad pada Erik.
Padahal dirinya belum juga duduk, sudah diminta melihatnya. “Ikut lu aja deh, Mbak.”
“Lihat dulu, ada brand celana dalam. Lu mau?”
“Mau mau aja sih, kan badan gue seksi. Biar orang-orang pada cuci mata juga ‘kan?”
Saat ini, Maudy menjelaskan beberapa poin terkait kontrak yang bisa mereka ambil supaya tidak mengganggu pada pekerjaan utama Erik sebagai pembalap. Ditambah lagi, Erik akan memiliki banyak acara amal yang harus dia hadiri, pemotretan majalah di luar Negara dan shooting iklan.
Mendengarkan dengan seksama bagaimana Maudy begitu pintar dalam memanagement pekerjaannya, menyebutkan dampak positive dan negativenya juga.
“Gimana, Rik?”
“Siap, Mbak.”
“Siapa apa?”
“Siap diurus sama lu sampai tua bersama.”
“Gue serius ya.”
“Gue juga.” Berdandar pada sofa. “Ikut aja sama Mbak. Kalau itu yang terbaik.”
“Yaudah, berarti itu fiks. Sekarang lu mau apa? Makan?”
Supaya anak itu cepat-cepat pergi, Maudy langsung memasak ke dapur. Erik kembali lagi melihat pesona Maudy yang lain. Dia sampai mengeluarkan ponselnya dan memotret Maudy diam-diam.
Drrttt…. SambalaSamabalado!
“Ngapain lu? Foto gue?”
“Buat laporan sama Mbak Detya kalau lu kerja dengan baik, Mbak,” jawab Erik dan mengangkat telpon. “Hallo?”
“Babe, kamu kenapa blokir nomor aku sih?”
“Gak sengaja keblokir, gue sibuk juga.”
“Ihh, ayo meet up. Aku baru pulang dari LN nih.”
Nah, ini waktu yang tepat untuk memutuskan pacarnya. “Iya, ayok ketemu. Nanti gue yang tentuin tempatnya.”
Maudy mendengarkan, dia sudah tidak kaget dengan reputasi Erik yang banyak digandrungi wanita, sampai dia memiliki banyak pacar. “Mau ketemu sama pacar lu?”
“Bukan pacar kok, Mbak, dia deket doang sama gue. Dia yang suka sama gue.”
“Hmmm.”
“Gue selama ini gak pernah pacaran sama mereka, deket doang. Mereka aja yang ngaku-ngaku jadian. Pas gue putusin, malah nangis dan minta kejelasan.”
“Kalau ada kata putus, artinya kalian jadian. Gue dapet pesan dari Mbak Detya biar ubah kebiasaan lu yang suka ONS, main wanita terus party sana sini.”
Wah, reputasinya benar-benar jelek dimata Maudy. “Gue bakalan berubah kok, soalnya sekarang gue udah punya satu cewek yang gue suka,” ucapnya sambil memandang dalam manik Maudy.
Perempuan itu sadar sedang ditatap oleh Erik. Berpaling tanpa memperlihatkan ekspresi apapun. “Nih, maakanan buatan gue. Cocok gak sama lidah lu?”
Saat dicoba. “Eummmm, enak bangettt. Gue suka sama masakan lu, Mbak. Beuh mantap inimah. Masa depan gue cerah kalau tiap hari makan kayak gini. Makasih ya.”
Tatapan pujaaan Erik malah ditertawakan. “Hehehe, lu mirip anak yang udah lama gak dikasih makan ih.”
***
Karena Erik ingin menempel terus pada Maudy, dia mencari segala cara untuk tetap berada disana. “Rik, lu tidur?” menatap pria yag memejamkan mata di sofa. “Rik? Woey bangun, katanya mau ngeGym. Kenapa malah tidur?”
Tidak tega juga ketika melihat mulut pria itu terbuka dan tampak nyenyak. Yasudah membiarkan saja dia tidur disana. Padahal Maudy itu suka Quality time sendiri. sadar kalau kedepannya akan memiliki banyak kesibukan. “Kadang gue kangen jadi pengangguran kemaren. Tapi bokeknya gak bikin gue kangen.”
Duduk di dekat pintu kaca balkon untuk melakukan video call bersama sang Ibu. Dari tempatnya, Maudy bisa melihat Erik. “Hallo, Bu?”
“Dy, makasih kirimannya ya. sekarang Ibu udah bisa bertani lagi.”
Erik yang tidak terlelap itu mendengar percakapan Maudy dengan ibunya. Hanya seputar kebun, kerinduan dan uang. Wah, ternyata wanita ini adalah tulang punggung keluarga. Erik jadi semakin kagum saja. hasratnya untuk memiliki Maudy juga semakin menggebu.
“Udah dulu ya, Bu. Maudy mau mandi,” ucapnya mengakhiri telpon. “Haduh, hujan lagi. si bocah pasti gak bakalan pulang-pulang.”
Bocah dia bilang? Ingin sekali Erik mengatakan kalau tidak ada bocah yang mampu membuat lawan bicaranya mendesah. Tapi dia lebih dulu merasakan seseorang menyelimutinya. Maudy menutupi tubuh Erik dengan selimut kecil. “Tidur yang nyenyak, kerjaan lu banyak bulan depan. Eh, minggu depan.”
Kali ini Maudy membiarkan saja Erik tidur disini. Dirinya memilih mandi sambil berfikir masa depannya yang akan cerah jika bekerja bersama Erik. Pundi-pundi dollar mampu dia kumpulkan dalam waktu dekat.
“Gue penasaran dia punya masalah apa sama keluarga?” detya memberitahu kalau hubungan Erik dan keluarganya tidak baik. Tapi Detya sendiri tidak tahu karena apa, Erik menyembunyikannya dengan sangat baik.
Detya hanya bilang kalau kedua orangtua Erik sepertinya tidak merestui jalan hidup Erik sekarang. Padahal pria itu tampak sangat senang dan exited pada balapan, Maudy jadi kasihan sendiri. “Padahal harus dukung apa yang anak mau, selama anak bahagia.” Mandi dibawah shower sambil memikirkan Erik, tiba-tiba saja ingatan mereka sedang memadu tubuh tiba-tiba terlintas dan membuat Maudy membuka matanya.
“Gak boleh gitu, gak boleh gitu,” ucapnya menggelengkan kepala.
Namun, Maudy adalah wanita yang pernah menikah. Jadinya dia butuh pelepasan. Biasanya, Maudy menggunakan alat bantu daripada pria. Takut mereka menularkan penyakit. “Gak tahan gue.”
Jujur saja, permainan bersama Erik adalah pertama kalinya mendapatkan kenikmatan dunia. Dengan mantan suaminya? Maudy mau menangis rasanya. Kadang dia berfikir bagaimana bisa jatuh cinta pada pria yang sudah keluar dalam beberapa tusukan, bahkan sebelum Maudy mendapatkan puncak.
“Udah, makasih.” Hanya mengatakan itu dan meninggalkannya.
“Masa lalu adjing,” ucapnya mengusap air mata kasar. Maudy sakit hati dimasa lalu. Harusnya dia kuliah dulu yang benar, menjadi wanita yang tidak bergantung pada mantan suaminya. Gara-gara pernikahan itu, Maudy jadi kehilangan banyak kesempatan dan mimpi. “Gak papa, gantinya Mark.” Menenangkan diri sendiri. “Asli inimah gue butuh pelepasan.”
Mengambil sebuah alat bantu mencapai kepuasan. Maudy biasa menggunakan itu sejak menikah juga. Mendesah sendiri dikamar mandi.
Tanpa Maudy ketahui, Erik mendengarkan dari luar. “Tahu lagi pengen, lu sama gue aja Mbak. Gak usah main. Iya ‘kan, Bob?” Erik bertanya pada miliknya sendiri.
Ketika pintu tiba-tiba terbuka, Erik kaget dan langsung berbaring diatas karpet yang tidak jauh dari kamar mandi.
“Aaaaaa!” maudy sampai menjerit dan menjatuhkan benda ditangannya hingga menggelinding entah kemana. “Erik! Lu ngapain disini? Lu ngintip ya? lu denger ya? eh, lu ngapain?”
“Eunghhh…” Matanya terbuka dan menatap Maudy. “Mbak? Gue kambuh lagi ya?”
“Kambuh apaan?”
“Gue suka jalan sendiri,” ucapnya menggaruk kepala. “Duh, harus ke dokter lagi inimah. Dulumah udah enggak.”
“Serius lu suka jalan sendiri pas tidur?”
“Iya, suka pindah tempat tidur. entah karena sofa lu keras.”
“Yaudah sana pulang, tidur di apartemen lu sendiri. Hujan udah reda juga,” ucap Maudy dengan ketus. Sadar dirinya belum memakai baju, Maudy langsung lari ke kamarnya.
Terkekeh melihat tingkah menggemaskan itu. “Jadi pengen cepet-cepet dikawinin. Rame juga punya kucing galak.” Melangkah dan malah menginjak sesuatu.
Matanya membulat melihat mainan pemuas nafsu Maudy. “Halah, kecil gini kok bisa bikin dia mendesah?” bahkan menyamakan dengan miliknya. “Masih kalah gede sama si Bobby, padahal dia belum bangun loh.”
Karena kesal kalah dengan benda itu, Erik memilih membuangnya di tempat sampah. “Gue yang akan gantiin posisi lu.”
****
“Kenapa masih disini? Lu mau apa lagi?” wajahnya sudah lelah, Erik masih belum pulang ternyata.
“Makan malam disini bisa kali, Mbak? Makanan yang sehat buatan lu.”
“Abis ini pulang ya?” maudy berfikir kalau Erik merindukan masakan rumahan dan merindukan keluarganya. “Besok gue bikinin stok makanan terus dianterin kesana. Abis ini lu kudu pulang sebelum hujan gede lagi.”
“Iya, Mbak. Tapi gue ikut mandi ya. gerah nih.”
“Yaudah sono.”
Maudy tidak berfikir yang aneh-aneh, sampai Erik selesai mandi tanpa memakai atasan. “Lu kenapa gak pake baju?” menahan napas melihat tubuh atletis itu.
“Baju gue basah, gak bawa gantinya lagi. itu lagi dikeringin dikamar mandi.”
“Pake baju gue aja.”
“Gak papalah gini juga. Lagian lu gak kan kegoda kan, Mbak?”
“Ap-apaan, ya kagal lah!” padahal aslinya iya, Maudy ingin Erik memakai baju karena membuat sisi liarnya bangun. Mana mungkin dia melupakan malam panas bersama pria itu. sayangnya, maudy tidak mau terlibat masalah dan menghindari hubungan apapun dengan lawan jenisnya. “Cepetan nih makan.”
“Beuhh makanan lu enak banget.”
Maudy tahan dengan pujian.
“Ekhem! Mbak ada yang bisa gue bantu gak? Kan gue udah numpang tidur sama makan. Barangkali ada kran yang harus diperbaiki, nanti gue gantu. Gini-gini, gue juga pinter dalam hal rumah tangga.”
“Tambahin aja gaji, hehehe,” ucapnya malu-malu.
Senyuman Erik langsung pudar seketika. “Mbak, temen gue mau ada yang nganterin anggur ke gue. Mau coba bareng gak? Itung-itung awal perkenalan kita.”
“Kagak. Lu pulang aja terus istirahat, bentar lagi balapan. Harus jaga stamina lu.”
“Tapi gue berstamina kalau deket lu.”
“Bilang apa?”
“Kagak, Mbak.” Sepertinya Maudy memang tidak suka membahas malam panas mereka. jadi sambil makan, Erik sambil berfikir bagaimana cara menjerat Maudy jadi miliknya. “Sebenarnya gue gak pernah suka ONS mbak, itu Cuma berita hoax aja. gue juga di party gak pernah aneh-aneh.”
“Oh….” Maudy tidak peduli sih. “Besok gue anterin makan doang ya, soalnya mau ke kantor. Jangan ganggu gue ya kalau gak ada yang penting-penting amat.”
Maudy memberikan benteng jelas kalau mereka hanyalah partner bekerja. “Uhuk! Uhuk!”
“Nahkan batuk. Pake baju gue ajalah. Mau? Ada kok yang besar.”
“Uhuk! Uhuk!”
“Mau, Rik?”
“Gak usah, Mbak, udah kering kali punya gue,” ucapnya melangkah ke kamar mandi. Bajunya memang tidak pernah basah, hanya ingin menggoda Maudy saja, tapi dirinya malah masuk angin. Sialannn sekali.
Menatap dirinya sendiri di cermin. “Kok bisa sih itu cewek gak tergoda sama gue?” Erik bingung sendiri. membuka salah satu laci kamar mandi untuk mencari tissue, tapi malah mendapati test HIV. Huh? Maudy negative HIV?
“Heh, ngapain lu lama amat? Gak pingsan kan?”
“Mbak? Lu test ini… kenapa?”
Maudy membulatkan mata dan merebut kertas itu. “Ini…. pas… pas….”
“Itu sehari pas kita tidur bareng ‘kan? lu nyangka gue penyakitan, Mbak?”
“Cuma cek doang yaelah. Kan kita udah sepakat gak ada bahas itu, Rik. Kita itu partner kerja sekarang. Focus sama yang didepan aja. udah cepetan makan lagi. abis itu pulang,” ucapnya terdengar marah-marah.
Erik diam kebingungan. “Sebenarnya, gue dimata lu itu kayak gimana, Mbak?”