Sinar matahari menembus hordeng tipis yang menutupi jendela besar berlapis kaca transparan yang ada di kamar Vania dan Aby. Lelaki manja itu terganggu dengan pancaran cahaya yang tercipta hingga terbangun dari tidur pulasnya.
Dia bisa merasakan dengan jelas dari sentuhan permukaan kulit kalau dia dan Vania tidak mengenakan selembar kain pun. Aby teringat kejadian semalam dimana Vania mengajaknya melakukan permainan di dalam selimut dan entah mengapa dia sangat menyukai permainan itu.
Aby juga belum lupa bagaimana Vania menggerayangi hampir setiap inci tubuhnya, menimbulkan rasa aneh yang belum pernah dia rasakan.
Hal yang paling Aby sukai adalah saat Vania bergerak liar di atas tubuhnya. Saat itu dia yakin ada bagian dari tubuhnya yang tenggelam dalam tubuh wanita itu. Bagian itu sangat Aby nikmati.
"Vania ...," Aby mencoba membangunkan wanita yang masih pulas di sisinya.
"Hmmh," Hanya itu jawaban Vania, sementara tubuhnya beringsut lalu memeluk Aby erat.
"Vania, bangun. Sudah siang, Aby mau makan. Lapar," rengek lelaki itu. Mau tidak mau Vania membuka matanya. Wanita itu juga mengkhawatirkan bagaimana reaksi Mirna setelah dia membiarkan anaknya kelaparan. Siapa tahu ada mata-mata yang menangkap kalau mereka lagi berduaan.
"Kamu lapar? Baik, aku akan memasakkan sesuatu untukmu. Kamu sekarang lebih baik mandi." Wanita itu segera bangkit dari tidurnya. Menarik sebagian selimut untuk menutupi bagian dadanya yang polos.
"Tadi malam saat kita bermain Vania meringis dan kesakitan sampai menangis. Apa Vania sekarang sedang sakit?" Aby menempelkan punggung tangannya ke kening Vania.
Vania mengenang apa yang dia lakukan semalam. Wajahnya seketika memerah dan setiap bagian ingatan tentang apa yang dia lakukan semalam terekam dengan jelas. Dia tidak menyangka Aby akan menyadari itu.
Wanita itu tahu, dia terlalu liar. Belum lagi Aby bahkan tidak mengetahui apa yang mereka kerjakan.
"Apa yang kamu lakukan?" Vania lebih memilih untuk menanyakan apa maksud tindakan Aby.
"Biasanya kalau Aby sakit, mami melakukan ini untuk memeriksa suhu. Tapi suhu tubuh Vania tidak tinggi, sama kok dengan Aby. Jadi Vania semalam kenapa?" tanyanya lagi. Vania yakin karena ekspresi wajah wanita itu seram sehingga Aby penasaran.
Vania hanya meringis, dia tidak tahu bagaimana untuk menjelaskan pada Aby. Dia tidak mungkin menjelaskan kalau itu adalah proses yang biasa terjadi saat melakukan hubungan pertama kali. Hal yang Aby tahu hanyalah bermain, dan dia tidak akan paham apa maksud dari permainan mereka semalam.
"Oh, itu. Aku tidak apa-apa. Itu biasa terjadi saat pertama kali bermain permainan sembunyi di dalam selimut. Sekarang kamu mandi sana. Aku akan ke dapur dan memasak." Vania meraih jubah tidurnya dan memakai asal. Wanita itu turun dari ranjang dan berniat melangkah menuju ke dapur.
"Vania, tunggu!" Kalimat itu menghentikan langkah Vania dan berbalik melihat Aby.
"Ada apa lagi, Aby Sayang?" Vania berusaha bersikap selembut mungkin terhadap Aby.
"Apa aku habis digigiti serangga? Lihatlah, tubuhku dipenuhi bercak-bercak merah. Cepat ambilkan minyak gosok, Vania. Cepat. Tolong cari juga serangganya, pasti ada di kasur kita." Aby tampak sangat heboh mengedarkan pandangannya ke sekitar kasur sambil menggulung selimut yang mereka kenakan semalam.
Vania terkekeh. Serangga yang Aby cari sebenarnya berdiri tidak jauh dari tempat dia berada, bahkan sedang menertawakan tingkah lelaki itu.
"Jangan panik, Aby Sayang. Itu adalah jejak permainan kita semalam. Coba kamu ingat-ingat lagi, apa yang aku lakukan padamu." Wanita itu mengedipkan satu matanya. Dia lalu melangkah pergi meninggalkan Aby yang mulai berpikir dan mencoba mengingat permainan mereka semalam.
"Oh, iya. Aku baru ingat kalau semalam Vania menggigitku karena gemas. Berarti bukan serangga. Tapi apakah nanti bekas gigitan Vania juga akan gatal seperti bekas gigitan serangga?" Aby menatap bingung bercak-bercak merah yang ada di beberapa area tubuhnya. Lelaki itu dilanda kecemasan.
Dia membuka laci nakas dan menemukan obat gosok di sana. Mirna memang selalu menyediakan obat gosok untuk Aby karena kulitnya yang memang sedikit lebih sensitif dibandingkan manusia pada umumnya. Aby segera membalurkan obat gosok itu ke seluruh area tubuhnya yang memerah. Pria itu sangat tidak menyukai rasa gatal.
Vania yang sedang berada di dapur segera meracik makanan. Terutama untuk Aby. Jelas saja selera dia dan Aby berbeda dan untuk itu Vania harus memasak lebih banyak menu.
Asisten rumah tangga yang sejak tadi sudah menunggu di luar sudah Vania minta untuk masuk ke dalam dan mulai mengerjakan berbagai pekerjaan rumah yang sudah biasa dia kerjakan.
Seperti biasa, asisten rumah tangga di rumah itu akan pulang setelah pekerjaan selesai dan tidak bertanggung jawab terhadap dapur. Memasak adalah tugas khusus Vania.
Aby yang sudah kelaparan segera pergi mandi. Entah mengapa lelaki itu merasa tubuhnya sakit-sakit. Dia sangat lelah. Bahkan rasanya berjalan ke kamar mandi saja terasa berat.
"Pengen dipijitin Vania," gumam lelaki itu sambil memijat pundak dan lengannya.
Aby memakai celana pendek berwarna biru dengan motif polkadot kesukaannya. Bahkan celana itu terlihat kependekan. Dia hanya memakai kaos putih yang kebesaran sebagai atasan.
Saat dia sedang menyisir rambut, pandangan dan pendengarannya terganggu karena ponsel Vania yang berdering. Aby yang sering memerhatikan mamanya tahu bagaimana cara mengangkat panggilan. Lelaki itu menggeser tombol hijau dan mulai membiarkan seseorang di ujung sana.
"Pagi Vania, Sayang. Aku tahu, kamu pasti sudah cantik dan wangi pagi ini. Malam nanti aku mau mengajakmu dinner. Apa kamu ada waktu? Kamu mau kita makan dimana silakan pilih saja tempat yang kamu suka. Sepertinya aku tidak perlu bilang kalau aku mencintaimu sekali lagi, karena aku memang mencintaimu. Dan, aku juga paham kalau kamu juga masih mencintaiku sama seperti dulu.Bukan begitu, Vania?" Aby langsung menekan tombol merah. Lelaki itu menangis dan duduk di atas kursi yang ada di depan meja rias Vania.
"Jadi Vania tidak cuma mencium Aby? Vania tidak hanya memeluk Aby? Vania juga begitu pada orang lain? Jadi Aby bukan satu-satunya anak yang diasuh oleh Vania. Hiks, hiks, Aby nggak suka. Aby maunya Vania cuma ngasuh Aby. Vania punya Aby, hiks hiks." Aby menaikkan kedua kakinya ke kursi dan memeluk kakinya erat. Butiran bening masih menitik membasahi pipi mulus lelaki itu.
Seperti pada kebanyakan anak. Dia tidak akan suka pengasuhnya juga menyayangi anak yang lain. Apalagi cara Vania memberitahukan pada Aby tentang apa itu sayang dan apa itu mencintai membuat lelaki itu kecewa karena ternyata ada orang lain yang merebut tempat ternyaman miliknya.
"Aby, makan yuk. Aku sudah masakin ayam goreng kesukaan kamu. Mau aku suapin?" Vania berjalan masuk perlahan, mendekat ke arah Aby yang masih di posisinya. Merangkul kedua kaki di atas kursi.
"Nggak." sahut Aby dingin dengan suara serak.
"Loh, kenapa? Kamu biasanya suka ayam goreng, kan?" Vania mengusap puncak kepala lelaki itu. Dia belum menyadari kalau ada air mata di wajah suaminya.
"Nggak suka." Aby menunjukkan kekesalannya dengan menepis tangan Vania.
Tentu saja wanita itu bingung. Beberapa menit yang lalu Aby masih baik-baik saja. Cerewet seperti biasanya. Vania berjongkok di hadapan lelaki itu, barulah dia tahu kalau Aby menangis.
"Kamu kenapa, Sayang? Bilang sama aku siapa yang bikin kamu begini? Kamu kangen sama mami?" tanya Vania lembut seraya menghapus air mata suaminya.
"Vania jahat." Aby kembali menangis. Kali ini Vania langsung bangkit dan berusaha memeluk Aby. Berbeda dengan biasanya, lelaki itu memberontak. Walaupun pada akhirnya dia pasrah.
"Vania jahat kenapa? Karena semalam mengajak Aby main sembunyi dalam selimut?" Wanita itu mencoba mencari tahu apa yang membuat Aby ngambek. Lelaki itu menggeleng.
"Tadi ada yang telpon. Dia bilang sayang Vania, dia cinta Vania. Dia pasti anak lain yang Vania asuh, kan? Aby nggak suka. Aby nggak suka Vania peluk dan cium anak yang lain. Vania punya Aby. Hiks hiks." Dari cerita Aby, Vania bisa memastikan kalau seseorang yang menghubungi dia pasti Romi.
"Aby, jangan marah. Orang itu hanya bercanda. Dia bohong. Vania cuma sayang sama Aby dan hanya Aby satu-satunya yang aku asuh, nggak ada yang lain." Vania mengecup lama puncak kepala Aby yang membuat hidungnya tertusuk wangi buah-buahan.
"Vania nggak bohong?" Aby mendongak, dengan tatapan puppy eyes lelaki itu menunjukkan kalau dia masih tidak percaya.
"Dengerin Sayang, Vania tidak akan peduli dengan lelaki yang lain. Vania cuma sayang dan cinta sama Aby, kayak gini." Vania yang awalnya menangkup kedua pipi Aby mendadak memberikan hadiah berupa ciuman lembut dan hangat di bibir lelaki itu.
"Aby juga sayang Vania, Aby juga cinta Vania." Aby yang sudah menurunkan kakinya memeluk erat Vania yang berdiri di hadapan dia.
"Iya, Vania tau, Sayang."
"Vania hanya milik Aby." Lelaki itu bangkit dan memeluk Vania sekali lagi. Aby merasa di tempat ternyaman itu dia membutuhkan waktu berjam-jam untuk menikmatinya.
"Aku memang mencintaimu, Aby. Tapi kalau kamu normal, mungkin aku akan semakin mencintaimu. Sayangnya, selain kamu aku juga mau Romi. Aku menginginkan dia untuk mendapatkan apa yang tidak aku dapatkan darimu."
"Iya, Sayang. Vania milik Aby, selalu dan selamanya. Kamu sudah lebih baik sekarang, ayo makan Sayang." ajak Vania. Dia menggandeng Aby untuk turun dan lelaki itu tampak menurut.
"Aby mau ayam gorengnya dua." rengek lelaki itu saat mereka hampir sampai ke dapur dan aroma masakan mulai menguar masuk ke dalam rongga hidung.
"Iya, semua ayamnya buat Aby. Vania sengaja masakin agak banyak." Tentu saja ayam goreng itu hanya untuk Aby. Vania kurang suka dengan ayam atau daging. Berusaha menjadi herbivora yang mengoleksi menu daun-daunan.
"Yeey, makasih Vania." Aby melonjak kegirangan. Dia bahkan berlari kecil dengan tingkah aneh meninggalkan Vania di belakang. Tampaknya lelaki itu benar-benar antusias karena diizinkan makan banyak ayam goreng.