Satu bulan berlalu. Hari ini Vania mengadakan janji bertemu dengan Romi yang sudah resmi menjadi kekasihnya di taman kota. Dia sengaja memilih taman sebagai tempat untuk bertemu karena jarak yang tidak terlalu jauh dari rumah. Bahkan bisa dijangkau hanya dengan berjalan kaki. Biasanya Vania mengajak Aby jalan santai ke taman itu setiap pagi.
Suasana hari itu tidak terlalu cerah. Matahari tertutup awan putih hingga udara terasa lebih dingin. Vania menebak mungkin hari ini akan turun hujan. Dia harap saat hujan datang sudah kembali ke rumah dan menemani Aby.
Vania memang harus cepat kembali, sesuai janjinya pada Aby yang saat dia tinggalkan tengah memainkan game tembak bola favoritnya. Lelaki itu langsung menyukai game itu saat Vania mengunduh dan mengajarkan cara bermain pada Aby. Sejak itu dia hampir setiap hari memainkan permainan tersebut.
Menjalani hubungan gelap memang cukup sulit, Vania terpaksa melakukan banyak kebohongan untuk menjaga hubungan antara dia, Romi, dan tentunya Aby.
Romi beberapa kali sempat datang ke rumah Vania dan Aby. Tentu saja itu terjadi saat suami wanita itu tidur siang. Aby biasanya menghabiskan waktu hingga beberapa jam untuk tidur dan Vania memanfaatkan waktu itu untuk berduaan dengan Romi.
Aby yang semakin nyaman berada di sisi Vania semakin posesif. Pernah satu kali dia memergoki Vania melakukan panggilan video dengan Romi dan berakhir dengan mengurung diri di dalam kamar.Beruntung Vania memiliki kunci cadangan dan berhasil masuk untuk menenangkan Aby.
Bukan hanya itu, Aby bahkan sampai kambuh dan harus dilarikan ke psikiater yang biasa menanganinya. Sayang hal itu tidak membuat Vania jera. Dia masih saja tidak mau melepaskan Romi. Menjalin hubungan dengan lelaki itu membuat Vania jauh lebih bahagia. Dan Aby, jelas dia tidak bisa melepaskan lelaki itu. Selain pohon uang, dia juga sudah terjebak dalam perasaan yang rumit.
"Kapan tantemu pulang? Kamu tidak lelah mengurus anak aneh seperti Aby, Sayang?" tanya Romi ditengah-tengah kencan mereka.
Vania memang bilang kalau mama Aby sedang pergi ke luar kota dan dia diminta untuk menjaga lelaki itu sementara. Itulah sebabnya mengapa Romi menanyakan kepulangan Mirna.
"Aku tidak tahu, Rom. Lagipula aku sangat menikmati saat merawat Aby, dia penurut dan tidak pernah menyusahkan aku." Wanita itu menjawab dengan senyum. Dia cukup yakin, kepedulian pada Aby akan membuat Romi semakin mencintainya.
"Pacarku memang terbaik. Aku tidak sabar untuk melamarmu. Kamu tahu, mamaku sudah mendesakku kapan akan menikah. Rencananya aku ingin mengajakmu bertemu dengan mama akhir pekan, apa kamu ada waktu?" Pertanyaan dari Romi membuat mata Vania membulat. Dia bahkan sampai tersedak karena sangat terkejut. Dia tidak menyangka kalau Romi akan mengambil keputusan secepat ini.
"Aku belum siap, Rom. Lagipula aku pesimis mamamu akan menerima aku sebagai menantunya." Vania mencoba memberikan alasan yang masuk akal dan berharap Romi akan menerima alasan yang dia berikan.
Lelaki itu mengusap puncak kepala Vania pelan dan menatap wanita itu dengan tatapan penuh cinta. Senyuman manis pun terus bertengger di bibir pria tersebut.
"Aku sudah menceritakan pada mama tentang kamu. Aku juga sudah menunjukkan foto kamu dan mama bilang kamu cantik, cocok menjadi menantunya. Jadi, kamu tidak perlu pesimis lagi, Sayang." Romi meyakinkan Vania.
Wanita itu tentu saja sangat senang karena orang tua Romi menyukainya, tetapi jelas bukan pernikahan yang Vania impikan. Dia tidak akan pernah mengundurkan diri sebagai nyonya Aby, banyak sekali pertimbangan yang wanita itu pikirkan.
"Aku sangat tersanjung untuk reaksi mama kamu, tetapi aku masih butuh waktu untuk ini. Lagipula kebersamaan kita baru sebentar, kita bisa menikmati lebih banyak waktu dulu sebelum memutuskan untuk menikah. Iya bukan?" Vania berusaha bersikap tenang. Dia tidak akan membiarkan Romi mengetahui kecemasan yang sedang melanda hatinya.
"Baiklah, aku akan kasih kamu waktu lebih lama sampai kamu siap. Aku juga akan bilang ke mama untuk lebih sabar lagi." Romi memutuskan untuk memberi Vania kesempatan dan tentu saja hal ini membuat wanita itu merasa lebih lega.
Suasana yang sedikit redup karena mendung tipis sekarang berubah gelap dan sedikit mencekam. Bahkan gerimis tipis mulai turun. Hal ini tentu membuat Vania cemas. Kalau hujan turun dengan deras Aby pasti akan ketakutan. Sebelumnya dia sudah pernah melihat reaksi kepanikan lelaki itu saat hujan lebat.
Benar saja, sesaat kemudian hujan turun dengan lebat. Vania dan Romi segera berlari ke tempat yang bisa mereka gunakan untuk berteduh. Petir dan guntur bersahutan dan suasana berubah sangat mencekam. Vania benar-benar dihadapkan pada kegelisahan yang teramat sangat. Dia ingin pulang sekarang juga, tetapi dia tidak tahu bagaimana caranya.
Di rumah, Aby benar-benar ketakutan. Lelaki itu duduk di pojok kamar, ponsel yang dia gunakan untuk main game berada cukup jauh dari jangkauannya kerena dia lempar saat guntur besar terdengar.
"Vania, hiks, hiks," Dia mulai terisak. Rasa takut itu semakin menguasai hati Aby.
Tiba-tiba saja listrik padam. Hal itu tentu saja membuat Aby semakin ketakutan. Ruangan terlihat lebih gelap dalam kondisi mendung dan hujan lebat.
Aby nekat keluar kamar meski sempat menabrak dinding, dia mulai berpikir untuk mencari Vania. Wanita itu bilang padanya kalau dia tidak pergi jauh.
Mata lelaki itu menangkap payung kesayangannya yang tergantung di sebelah pintu keluar. Dengan tinggi badan hampir 180 senti meter tidak lantas membuat Aby kesusahan untuk menggapai benda itu.
"Aku harus jemput Vania. Pasti dia kehujanan. Kalau Vania sampai sakit, nggak ada yang akan rawat Aby nanti." gumam lelaki itu.
Dia memutar gagang pintu dan benar-benar keluar dari rumah. Tepat saat Aby keluar, ada guntur menggelegar. Dia berjongkok dengan badan gemetar. Bibirnya tidak berhenti menyebut nama Vania. Berharap wanita itu datang dan memeluk dia dengan hangat. Tentu saja harapan lelaki itu tidak terkabul.
Aby berusaha menguasai ketakutannya. Meski detak jantung lelaki itu masih tidak beraturan, dia segera membentangkan payung dan menapakkan kaki menuju keluar gerbang tanpa alas kaki. Pria itu bahkan hanya menggunakan celana pendek selutut dan kaos oblong yang sama- sama berwarna hitam. Hawa dingin mulai merasuk ke dalam dirinya, tetapi dia tidak peduli. Dia ingin menemukan Vania dan membawa wanita itu pulang.
Karena mereka sering ke taman, Aby berpikir kalau hari ini Vania juga berada di sana. Dia menyeberang jalan dengan hati-hati. Setelahnya Aby mengedarkan pandangan hampir ke seluruh sudut taman. Pria itu melakukannya dengan berputar pelan.
Hingga dia benar-benar menemukan sosok yang dia cari, tetapi apa yang dia lihat membuat hatinya terluka. Vania tengah berciuman dengan Romi. Melihat itu Aby menjatuhkan payungnya. Dia berlari sekuat tenaga dan berniat untuk kembali ke rumah.
Aby yang sudah basah kuyup, kedinginan, dan menangis tidak lagi memerhatikan kondisi jalan yang dia lewati. Dari arah kanan melintas sebuah mobil pengangkut barang dengan kecepatan tinggi dan ...
Dash!
Mobil itu menerjang tubuh Aby hingga terpental beberapa meter. Menyadari dia menabrak sesuatu, sopir mobil menghentikan kendaraannya dan segera turun memeriksa kondisi jalan. Beberapa meter dari sana, Aby memuntahkan darah dari mulutnya. Kepala dan badannya yang terluka juga mengeluarkan cairan merah yang berbaur dengan tetesan deras air hujan. Lelaki itu kemudian tidak sadarkan diri.
Hujan mereda. Si sopir menemukan Aby. Beberapa warga yang ada di sekitar kejadian segera berusaha untuk membantu. Beberapa saat kemudian mobil ambulans tiba dan membawa Aby ke rumah sakit.
---
"Rom, aku harus pulang, Aby tidak bisa ditinggal saat hujan seperti ini. Dia pasti ketakutan. Kamu tahu bukan kalau kondisi Aby seperti itu?" Vania berusaha bicara dengan Romi.
Lelaki itu menghela napas perlahan. Dia sebenarnya tidak rela untuk melepaskan Vania, tetapi dia tidak memiliki pilihan lain. Dia tidak bisa menahan Vania untuk tetap bertahan di sana.
"Baiklah. Kalau kamu mau pulang. Hati-hati. Gerimis masih besar dan pasti jalannya licin." Romi mengingatkan. Dia tidak ingin sesuatu terjadi dengan Vania.
"Iya, Rom. Terima kasih." Vania melangkah meninggalkan Romi tanpa menoleh lagi.
Beberapa langkah dia berlalu dari hadapan Romi, Vania melihat payung kesayangan Aby tergeletak. Dia sangat yakin itu payung milik suaminya karena memang ada inisial Aby di sana. Mirna bercerita kalau payung itu sengaja dia hadiahkan pada ulang tahun Aby ke-25.
"Apa tadi Aby ada di sini? Dia datang mencariku? Sekarang dia ada dimana?" Vania mengedarkan pandangannya. Dia berusaha untuk menemukan Aby, tetapi nihil.
Dia memungut payung itu dan berniat membawa benda itu kembali ke rumah. Vania berpikir, mungkin Aby ketakutan dan memilih untuk kembali ke rumah dengan sangat terburu-buru hingga meninggalkan payungnya di sana.
Di perjalanan pulang dia melihat banyak orang berkerumun. Hal itu menarik perhatian Vania. Dengan penuh rasa penasaran dia menghampiri kerumunan orang tersebut yang sebenarnya sedang berkumpul di sekitar lokasi Aby terkapar.
"Ada apa, Bu?" tanyanya pada seorang ibu berambut keriting dan memakai payung merah.
"Ada kecelakaan. Tadi truk pengangkut barang dari arah sana menabrak seorang laki-laki hingga terpental ke sini." kata Ibu itu memberikan keterangan.
"Oh, begitu. Terima kasih, Bu." Bukan berjalan ke arah pulang, langkah kaki Vania justru melangkah lebih dekat ke kerumunan manusia itu. Dia bahkan menerobos dan menyaksikan dengan matanya campuran darah yang berbaur dengan air hujan di sana. Ada satu hal yang menarik perhatian Vania, ada gelang yang biasa Aby pakai tergeletak.
"Mbak, jangan diambil. Itu milik korban kecelakaan tadi. Siapa tahu nanti dia meninggal, Mbak bisa dihantui." Seorang warga mengingatkan Vania saat wanita itu memungut gelang yang memang milik Aby itu. Dia tidak mungkin salah. Dengan alasan itu dia mengabaikan peringatan warga dan tetap menggenggam gelang itu.
Vania mengeluarkan ponselnya, mencari foto Aby dan menunjukkan pada salah satu warga yang ada di sana.
"Apa korban kecelakaan yang tadi itu dia?" tanya Vania dengan suara bergetar. Dia berharap warga tidak membenarkan dugaannya.
"Benar, Mbak. Lelaki ini yang ditabrak mobil. Dia sampai memuntahkan darah." Seorang saksi mata yang melihat kejadian itu memberikan keterangan.
"Di-dia suami saya. Kira-kira, apa bapak tahu dia dibawa kemana?"
"Wah, kurang tahu Mbak. Mungkin ke rumah sakit terdekat dari sini. Coba saja mbak cek ke sana." kata lelaki yang memberikan keterangan tersebut.
"Wah ternyata dia suami kakak cantik itu."
"Cocok sekali, lelaki tampan dan istrinya cantik."
"Kalau sampai meninggal, dia akan menjadi janda baru di komplek kita."
Vania tidak lagi merespon pembicaraan para warga yang sempat terdengar di telinganya. Dia segera berlari pulang untuk mengajak pak Edi mencari keberadaan Aby.
"Maafkan aku, Aby. Seharusnya aku tidak meninggalkan kamu sendirian." Titik-titik air mata jatuh tak terbendung lagi. Vania tidak ingin kehilangan Aby. Dia sangat menyayangi pria dengan sikap kekanakan itu.