"Apa kau mencintai pria itu?"
Gianna yang sedang menikmati mie instan, kini menoleh pada Risa yang duduk bersebelahan dengannya di sebuah minimarket. "Apa maksudmu Dylan?" tanyanya untuk memastikan.
"Ya, Dylan, apa kau mencintainya? Aku mendengar ceritamu tentang Dylan dan sepertinya kau belum pernah sampai memberikan perhatian seperti itu pada pelangganmu yang lain," ujar Risa.
"Apa yang sedang kau bicarakan? Memangnya aku siapa sampai pantas mencintai pria sepertinya? Semua itu karena uang." Gianna kembali makan setelah menjawab pertanyaan Risa.
"Lupakan tentang status. Apa kau mencintainya jika keadaan tidak seperti ini?" Risa kembali bertanya pada Gianna.
"Kau bicara seolah cinta itu bisa diatur begitu saja."
"Kalau begitu, kau sudah mulai mencintai Dylan, tapi kau merasa tidak pantas memiliki pria sepertinya. Kau merasa rendah diri karena statusmu," balas Risa yang membuat Gianna seketika terdiam.
Gianna meremas sumpit di tangannya setelah mendengar ucapan Risa. Gianna terlihat mulai khawatir tentang perasaannya sendiri. Gianna takut jika ia benar-benar mencintai Dylan, karena sadar betapa besar perbedaan di antara dirinya dan Dylan. Gianna tahu untuk apa Dylan bersamanya. Ini adalah sebuah hubungan yang terjalin untuk mendapat sebuah keuntungan, bukan sebuah ketulusan. Bagaimana bisa ia berharap sejauh ini pada Dylan? Di mana akal sehatnya?
"Jadi, apa kau jatuh cinta padanya? Kau tahu bukan kalau kita tidak boleh melakukannya? Kau bisa terluka nantinya. " Risa kembali berbicara.
"Aku tahu bagaimana cara mengontrol perasaanku sendiri. Kau tidak perlu khawatir." Gianna terlihat cukup meyakinkan, tapi jauh di dalam hatinya, ia begitu khawatir saat ini.
***
Walau memiliki kekhawatiran di dalam hatinya, tapi tentu saja Gianna tidak bisa menjauh, atau menjaga jarak dari Dylan. Gianna tidak mau kehilangan uang Dylan. Namun, Gianna juga merasa tidak bisa membatasi Dylan yang ingin masuk lebih jauh ke dalam kehidupan pribadinya. Seperti sekarang ini, Gianna mengatakan akan pergi mengunjungi neneknya, kemudian Dylan mengajukan diri untuk mengantarnya.
Gianna sempat menolak dengan alasan takut akan mengganggu pekerjaan Dylan, apa lagi perjalanan ke kampung halamannya cukup memakan waktu, tapi Dylan mengatakan tetap ingin pergi karena butuh suasana baru. Dylan juga ingin melepas penat di sebuah desa yang jauh dari keramaian kota. Mendengar hal itu membuat Gianna akhirnya setuju untuk pergi bersama Dylan.
Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam lamanya dengan mobil, Dylan dan Gianna kini tiba di sebuah desa yang berada di dekat pantai. Sebuah desa yang terasa begitu tenang dan udaranya sangat sejuk. Dylan menghirup napas dengan dalam, sebab sudah lama ia tidak menghirup udara sesegar ini.
"Kau bisa terbang jika terus menghirup udara sebanyak itu." Gianna tampak menggoda Dylan sembari mengeluarkan beberapa barang yang akan diberikan untuk neneknya.
"Udara di sini benar-benar segar. Apa kau lahir dan besar di sini?" tanya Dylan. Ketika melihat Gianna membawa cukup banyak barang, Dylan langsung bergegas membantunya.
"Ya, aku lahir dan besar di sini," jawab Gianna, sembari diam-diam tersenyum karena Dylan yang memberikan perhatian padanya.
"Namun, bagaimana aku akan mengenalkan diriku pada keluargamu?" tanya Dylan lagi.
"Apa kau ingin bertemu dengam keluargaku?" Gianna malah balik bertanya pada Dylan.
"Tentu saja! Apa kau pikir aku akan menunggumu di luar seperti ini?"
"Benar juga. Kalau begitu ...." Gianna sedang berpikir bagaimana caranya membuat semua ini terlihat alami. Tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada nenek dan bibinya seperti apa ia dan Dylan yang sebenarnya. "Katakan saja kalau kau adalah temanku." Ini adalah solusi terbaik yang bisa Gianna temukan saat ini.
Karena mobil tidak bisa masuk ke kawasan rumah Gianna, maka Dylan harus meninggalkan mobilnya dan berjalan bersama Gianna untuk menuju ke rumahnya. Sepanjang perjalanan tadi, Dylan benar-benar dibuat tertarik oleh tempat ini, karena tidak hanya udara saja yang segar, tapi setiap bangunan di sini memiliki warna-warna cerah yang membuat suasana terasa begitu ceria.
Setelah berjalan lebih dari lima menit, Dylan dan Gianna kini tiba di depan sebuah rumah dengan cat berwarna biru cerah. Rumah yang tidak begitu besar, tapi terlihat cukup nyaman di mata Dylan. Dylan masuk ke rumah bersama Gianna, kemudian seorang wanita lanjut usia dengan rambut yang telah memutih menyambut kedatangan mereka dengan senyuman yang terlihat begitu hangat.
"Aku merindukan Nenek." Gianna memeluk neneknya dengan erat sampai meneteskan air mata, sebab terakhir kali ia pulang sudah lebih dari empat bulan yang lalu.
"Nenek juga merindukanmu. Apa kau makan dengan baik selama di sana?" Gain mengelus punggung cucunya dengan begitu lembut.
Gianna melepaskan pelukannya. Ia menatap sang nenek sembari mengangguk pelan. "Aku makan dengan baik. Bagaimana dengan kesehatan Nenek?" tanya Gianna.
"Nenek baik-baik saja. Siapa pria ini?" Perhatian Gain kini beralih pada Dylan yang sejak tadi hanya diam saja.
"Ini temanku, Dylan." Gianna memperkenalkan Dylan seperti yang sudah disepakati sebelumnya.
"Nama yang indah, sama seperti orangnya," puji Gain. "Ini pertama kalinya Gianna membawa temannya pulang," ucapnya.
"Jika aku tidak memaksa untuk ikut, maka Gianna tidak akan membiarkanku ikut. Padahal aku ingin bertemu dengan Nenek juga."
"Apa kau mencoba mengadu pada Nenekku?" kesal Gianna setelah mendengar ucapan Dylan.
"Sudah, jangan bertengkar! Ayo masuk! Kalian harus beristirahat dulu," ujar Gain untuk mencegah perdebatan yang lebih besar.
Saat Gianna sedang mengobrol dengan neneknya, Dylan terlihat berkeliling untuk melihat beberapa foto yang terpajang. Sejak tadi, Dylan hanya melihat foto Gianna bersama nenek serta mendiang saudara kembar laki-lakinya, juga ada satu foto bersama bibinya yang katanya saat ini entah sedang bekerja atau bersenang-senang bersama teman-temannya. Dylan belum melihat foto orang tua Gianna. Sejak tadi, Gianna tidak pernah menyinggung tentang orang tuanya ketika memperkenalkan keluarganya lewat foto-foto itu.
Dylan pikir, kedua orang tua Gianna mungkin sudah meninggal, tapi seharusnya tetap ada foto mereka di sini, seperti mendiang saudara laki-laki Gianna. Apa terjadi sesuatu? Dylan ingin tahu, tapi rasanya tidak pantas mempertanyakan sesuatu yang tidak Gianna ceritakan padanya.
"Apa Bibi membeli obat Nenek tepat waktu?" tanya Gianna pada neneknya yang saat ini sedang merajut syal untuknya.
"Walau bibimu tidak begitu baik padamu, tapi dia baik pada nenek. Jadi, jangan khawatir. Nenek adalah ibunya, dia tidak akan berani macam-macam. Kau fokus saja pada pekerjaanmu." Gain bicara dengan begitu lembut pada Gianna.
"Aku senang mendengarnya."
"Bagaimana dengan pekerjaanmu? Kau tidak perlu membawa banyak barang. Simpan saja uangnya untuk dirimu sendiri," ucap Gain lagi.
Gianna sempat terdiam sejenak karena selalu sulit baginya untuk berbohong. Selama ini, Gianna mengaku pada nenek dan bibinya kalau ia bekerja di sebuah toko furniture yang cukup cukup besar dan terkenal. Namun, itu bukanlah sepenuhnya kebohongan karena pada awalnya, Gianna memang bekerja di sana. Gianna bekerja di sana setidaknya selama dua tahun lamanya, tapi akhirnya dipecat karena ada rumor palsu bahwa ia berselingkuh dengan suami bosnya.
Sejak dipecat, Gianna mencoba mencari pekerjaan lain dengan menjadi seorang pelayan di sebuah restoran, sampai menjadi kurir pengantar barang sampai pengantar makanan. Namun, pekerjaan itu tidak menutupi semua kebutuhannya. Di saat bersamaan, neneknya kembali masuk rumah dan membutuhkan obat tambahan. Gianna membutuhkan sumber pemasukan lain dan itu adalah awal ia terjerumus ke dalam dunia malam.
"Pekerjaanku baik-baik saja. Aku menjual banyak furniture bulan ini, karena itulah aku diberikan bonus." Gianna kembali berbohong pada neneknya, walau itu sulit untuk ia lakukan.
Dylan yang mendengar kebohongan Gianna sempat menoleh padanya. Mendengar kebohongan Gianna membuat Dylan semakin ingin tahu seperti apa kehidupan Gianna yang sebenarnya. Gianna terlihat seperti sedang berjuang sendirian untuk membuat semuanya baik-baik saja. Neneknya adalah orang paling penting dan berharga dalam hidup Gianna. Jadi, Gianna akan melakukan apa saja untuk neneknya.
"Semua ini pasti sangat berat untukmu. Nenek seharusnya menjagamu, bukan menjadi bebanmu." Gain sangat berharap Gianna bisa pergi ke tempat yang lebih baik dan hidup bahagia di sana. Gain tidak masalah jika ia dilupakan karena yang terpenting adalah Gianna bisa hidup dengan bahagia, tapi pada akhirnya, ia malah menjadi beban bagi Gianna karena penyakitnya.
"Apa yang Nenek katakan? Nenek sudah cukup menjagaku dan sekarang aku yang akan menjaga Nenek. Selama Nenek baik-baik saja, maka aku juga akan baik-baik saja." Gianna menatap neneknya dengan mata yang penuh dengan air mata.
"Nenek pasti akan baik-baik saja." Gain tersenyum dan mengusap kepala Gianna dengan begitu lembut.
Dylan yang masih melihat kehangatan di antara Gianna dan neneknya tiba-tiba merasa iri, sebab ia tidak lagi memiliki seseorang yang akan memberikan perhatian sehangat itu padanya. Semua orang meninggalkannya sendirian, kecuali Gianna.
***
"Kau punya teman yang sempurna. Jangan hanya jadikan dia teman, tapi nikahi dia juga."
Gianna sempat terdiam sesaat setelah mendengar ucapan Yuna–bibinya, sebelum akhirnya kembali memotong sayuran untuk makan malam.
"Jika kau menikah dengannya, setidaknya kau akan mendapatkan sebagian kekayaannya. Ibuku menghabiskan sebagian hidupnya untuk membesarkanmu dan juga saudaramu setelah ibu kalian memilih pergi. Keluarga kami bahkan sampai kehilangan restoran karena masalah yang dibuat oleh saudaramu sebelum dia bunuh diri." Yuna kembali bicara dan kalimatnya kali ini membuat Gianna tampak marah.
Gianna memotong sayuran dengan brutal sampai memunculkan suara yang membuat Yuna kaget. Gianna kini meraih tasnya, kemudian mengambil sejumlah yang langsung diletakan di depan bibinya. Jumlahnya cukup banyak, sebab Dylan memang sering memberinya uang.
"Aku akan menggantinya secara perlahan. Jadi, berhentilah bicara seolah Daniel adalah orang yang buruk! Daniel hanya membela dirinya sendiri dan tidak ada yang salah dengan hal itu!" tegas Gianna, kemudian pergi dari dapur. Sedangkan Yuna tampak tersenyum senang karena mendapatkan uang yang bisa ia gunakan untuk bersenang-senang.
"Jadi, kau punya banyak uang sekarang? Dasar p*****r murahan! Kau bersikap seolah dirimu adalah wanita terhormat, tapi kau tidak lebih dari seorang p*****r," gumam Yuna sembari mencium aroma dari uang yang Gianna berikan padanya. Yuna tahu seperti apa pekerjaan Gianna, karena ia diberitahu oleh salah satu kenalannya yang saat ini tinggal di Seoul.