Bab 6

1862 Words
Happy reading *** "Aku sudah bercerai, lebih tepatnya sudah satu tahun berlalu, sejak kamu memutuskan hubungan itu," Mince hanya diam memandang iris mata Arnold, ia tidak menyangka bahwa dia memberitahu status barunya. Ia bingung akan berbuat apa selain menahan debaran jantungnya. Pupil mata itu membesar seolah menginginkan sesuatu. Arnold merogoh dompet di saku celana, dan ia mengambil kartu nama. Ia menyelipkan kartu itu pada jemari lentik itu Mince. "Bisakah kita duduk berdua di cafe, sambil menikmati secangkir kopi hitamku dan teh hangatmu," gumam Arnold. "Hanya sekedar bercerita," Mince manarik nafas, ia mengalihkan pandangannya ke arah Igar yang masih menunggunya di sana. Ia menelan ludah, ia yakin Igar bertanya-tanya apa yang telah ia bicarakan kepada Arnold. Ia tidak ingin berlama-lama di sini, terlebih di area kerja. "Iya," Mince memasukan kartu nama itu di saku jas. Ia lalu melangkah menjauhi Arnold, meninggalkan dia begitu saja. Sedangkan Arnold, hanya memandang Mince dari kejauhan dan dia pun menjauh.  Igar memicingkan mata menatap Mince, ini merupakan hal yang tidak biasa seorang GM berbicara kepada seorang admin seperti Mince. Ia yakin GM itu dan Mince memiliki hubungan lebih dari sekedar rekan kerja. Pembicaraan apa yang mereka bicarakan ? Toh GM itu bisa berbicara kepada pak Hilman selaku HRM di sini. Tatapan mereka seperti memiliki hubungan yang bukan sekedar tidak biasa. "Boleh tau ? ada hubungan apa kamu dengan pak Arnold?," tanya Igar penasaran. "Enggak ada apa-apa kok, cuma nanyain kerjaan," Mince duduk di kursinya kembali, memandang secangkir kopi yang sudah tersedia di meja. "Aku pikir kalian memiliki hubungan yang cukup serius," "Sok tau kamu," "Aku hanya menduga, terlihat jelas dari dia memandang kamu," Mince hanya diam, tidak menanggapi ucapan Igar yang mulai ingin tahu masalah hubungannya dengan Arnold. Ia berusaha setenang mungkin menyesap kopi itu secara perlahan. "Katanya wedding besok anak pejabat?," Mince mengalihkan pembicaraan. "Iya," "Dekornya pasti keren," "Pastinya," Igar terkekeh, ia menyesap kopi pesananya. *** "Aku sudah bercerai, lebih tepatnya sudah satu tahun berlalu, sejak kamu memutuskan hubungan itu," Kata-kata itu masih terngiang-ngiang dikepalanya, pernyataan itu membuatnya gelisah tidak menentu. Status duda yang di sandang Arnold membuatnya kembali berpikir. Untuk apa dia memberitahu bahwa sudah bercerai dengan istrinya terdahulu?. Toh, ia tidak memiliki hubungan apa-apa. Apa dia mencoba memamerkan status duda itu kepadanya?. Ah, ia semakin penasaran, kenapa mereka bercerai secepat itu. Apa tidak ada jalan keluar untuk menyelesaikan hubungan mereka?. Ia bingung akan berbuat apa selain memandang kartu nama yang di selipkan Arnold pada tangannya tadi sore. Ia menggigit bibir bawah, segudang pertanyaan yang ingin ia ketahui pada laki-laki itu. Ia hanya ingin tahu kenapa laki-laki itu memilih bercerai, padahal sudah memiliki istri dan anak yang begitu menyayanginya. Mince menatap ke arah layar ponsel, ia memandang cukup lama pada deretan huruf yang ada pada layar ponsel. Jarinya mulai mengetik secara perlahan. "Di cafe Aroma, jam 21.00. Ada hal yang ingin aku tanyakan kepadamu," Ia lalu mengirim pesan singkat itu ke nomor yang tertera pada kartu nama. Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan debaran jantungnya, entahlah ia hanya ingin mengajukan pertanyaan yang masih terngiang-ngiang di kepalanya. Agar tidak ada lagi yang mengganjal di hati. Mince beranjak dari tempat tidur, ia membuka lemari mencari pakaian yang pantas untuk bertemu Arnold. Ia memilih kaos berwarna putih dan celana jins, ia akan terlihat biasa-biasa saja. Ia di sini tidak ingin menarik perhatian Arnold. Ia melihat ke arah layar ponsel, ada notifikasi masuk, ternyata dari nomor yang sama. "Iya," Mince mengambil jas hitam yang menggantung di lemari, ia menatap penampilannya di cermin. Ia biarkan rambutnya terurai, dan keluar dari kamar. Mince memesan taxi online pada layanan ponsel. Ia memandang Sinem sedang asyik menonton, tidak menyadari kehadirannya. "Bi ...," "Eh non," Sinem menoleh memandang Mince yang telah rapi. "Mau kemana non?," "Aku keluar bentar, ada urusan, kalau bibi ngantuk tidur aja. Aku bawa kunci kok," "Iya non, non pakek apa perginya?," "Grab " "Non hati-hati di jalan ya," "Iya," *** Satu jam kemudian, ia sudah tiba di cafe aroma. Mince mengedarkan pandangannya kesegala area, suasana cafe seperti biasa tenang. Ada beberapa pengunjung mengisi kursi kosong, ia melihat laki-laki mengenakan baju kaos hitam sambil menatap ke arah estalase kaca. Dia terlihat tampan seperti itu, dari pada jas yang di kenakannya tadi sore.  Senyum simpul itu ia perlihatkan, lihatlah inilah cafe menjadi saksi, ia pernah memutuskan hubungan dengan Arnold. Masih teringat jalas kata-kata yang pernah ia ucapkan secara gambalang kepada Arnold. Oh Tuhan, kenapa ingatan itu begitu kuat, hingga memorie itu sulit di lepas. "Hai," Arnold tersenyum kepada Mince, ia tadi membaca pesan singkat Mince. Wanita itu ternyata mengajaknya bertemu di sini lagi. Ia memperhatikan Mince, lihatlah dia terlihat cantik dengan kaos putih berbahan lembut itu. Dulu pertama kali ia melihat Mince di studio, seperti ini lah penampilannya. Hanya saja di sini dia tidak mengenakan sepatu sneaker melainkan high heels. "Hai juga," Mince berusaha setenang mungkin. "Duduk lah," Mince mendaratkan pantatnya di kursi, ia melirik jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 21.23 menit. Ternyata ia telat 23 menit dari yang telah di janjikan. "Maaf tadi macet di jalan," "Tidak apa-apa," "Aku sudah pesankan secangkir kopi s**u dan roti bakar coklat keju, sebentar lagi datang," "Terima kasih," Ia memandang waiters menyajikan pesanannya, ia melirik Arnold menyesap kopi hitam itu secara perlahan. "Bagaimana keadaan kamu?," tanya Mince. "Baik," Arnold tersenyum simpul, meletakan cangkir itu di meja. Saling terdiam satu sama lain, karena masih ada pikiran yang mengganjal di hati. Mince mencoba mengaduk kopi yang di atasnya tertulis Coffee Aroma. "Pertanyaan apa yang ingin kamu tanyakan kepadaku?," Arnold mencoba mencairkan suasana. Sebenarnya ia lebih senang rileks seperti ini, bersama wanitanya. Ia yakin pertanyaan ini seputar tentang status yang ia ucapkan tadi sore. Mince kembali memandang Arnold, ia menarik nafas panjang. Karena pertanyaan yang sudah pikirkan secara matang, semoga aja pertanyaan ini tidak menyinggung Arnold. Ia hanya ingin tahu saja, tidak lebih, "Kenapa cerai, kan sudah punya anak?," itu lah pertanyaan yang telah ia siapkan sepanjang jalan. Arnold sudah menduga bahwa Mince pasti bertanya seperti ini, ia hanya bisa tersenyum, "Apakah aku tidak boleh bercerai, kalau sebuah hubungan yang tidak bisa dipertahankan lagi," "Enggak sayang anak, kenapa cerai?," "Kamu mungkin enggak tau bagaimana mempertahankan rumah tangga yang cekcok setiap harinya, akan berdampak buruk bagi perkembangan psikologi anak. Kamu juga enggak bakalan tau bahwa mewariskan rumah tangga yang hancur dipertahankan, akan ditiru oleh anak demi gengsi semata," Mince menggangguk paham atas pemikiran Arnold, "Apa tidak menyesal memilih bercerai?," Arnold mengerutkan dahi, ia menatap iris mata Mince, "Buat apa menyesal, setelah mengambil keputusan secara matang. Justru sebaliknya kelegaan hati mampu mengambil keputusan yang sulit," "Kenapa enggak rujuk aja," Oke, ini mungkin pertanyaan yang bodoh ia lontarkan. Tiba-tiba otaknya blank begitu saja menatap iris mata elang Arnol. Mince mengusap tengkuknya yang tidak gatal, menghilangkan rasa geroginya. Arnold tertawa renyah, ia meraih cangkir menyesap kopi hitam itu secara perlahan sambil melirik Mince. Ah, dia masih tetap manis seperti yang dulu. Ingin sekali mengecup bibir tipis itu lagi. "Kalau rujuk, buat apa datang ke pengadilan agama untuk mencatat perceraian. Untuk apa aku menyewa pengacara, mengikuti sidang. Yang menjalani rumah tangga dan mengalami pahitnya kehidupan kan kami. Apa kamu mau menanggung jawab apa yang terjadi, jika kami rujuk kembali?," "Ih, siapa yang mau !," "Situ yang nyaranin," "Sering ketemu anak nggak?," "Kalau anak ikut aku, maka aku enggak perlu menjawab. Anak ikut ibunya, jadi kesempatan bertemu terbatas. Kita tergantung kesepakatan sih, kalau ingin bertemu anak, ya aku datang," "Kalau anak minta kalian rujuk gimana?," "Kita sepakat, bahwa carai bukan karena dipaksa orang tua, anak, atau siapapun," "Apa kamu nggak takut pamor kamu menurun ketika bercerai?," tanya Mince penasaran, sambil mengetuk meja dengan jemarinya. "Kita nikah bukan cari pamor, tepi cari pendamping hidup yang selaras dan bisa diajak kerja sama," Mince menatap Arnold dengan berani, lihatlah dia terlihat lebih berkharisma dari satu tahun yang lalu. Dia tampak lebih dewasa dan tenang. "Kamu, tidak malu gagal dalam rumah tangga?," "Kenapa mesti malu? Rumah tangga hanya salah satu sisi kehidupan. Lebih malu mana? Rumah tangga utuh tapi selingkuh dan pura-pura bahagia padahal di dalamnya penuh derita, ini soal penyatuan dua insan seumur hidup, tapi tidak adanya kebahagiaan di dalamnya, ya percuma saja," Entahlah, jawaban-jawaban Arnold membuatnya masuk akal dan logis. Ia menyesap kopi susunya kembali, ada perasaan lega mendengar pengakuan Arnold seperti ini. "Katanya duda suka cari istri baru yang lebih dari istri sebelumnya," Arnold kembali tertawa melirik Mince, "Apa salahnya sih, cari yang lebih baik," "Katanya duda lebih cepat cari pengganti istri dari pada mantan istri," Tawa Arnold lalu pecah, ia menatap mince yang tersenyum kikuk, "Ya ampun, kamu ini nanyanya lucu sekali. Itu tidak ada aturan dalam koordinasi sebuah hubungan, bisa jadi dia lebih cepat dari aku," "Ya kan kata orang," "Siapa orangnya ? aku pengen beradu argumen sama dia. Bawa dia kehadapan aku," "Ih...," "Jangan-jangan kamu orangnya," "Ya enggak lah," "Trus, kamu sering ketemu mantan istri?," "Beberapa kali sih, hanya ketemu anak. Habisnya aku kangen sama anak. Ini bukan berarti aku mau rujuk loh ya, aku hanya sekedar bertemu membahas perkembangan anak," "Enak mana? Duda atau bujangan?," "Ya bujangan dong, kalau duda kan bekas bujangan," "Kalau duda seperti kamu, lebih suka cari gadis, janda, atau janda beranak satu?," sebenarnya ia ingin tertawa mendangar pertanyaan itu. "Ya suka gadis seperti kamu lah, aku males kalau janda, nanti malah banding-bandingin dengan mantan suaminya. Aku enggak mau itu menjadi konflik dalam rumah tanggaku nanti," "Bagaimana kalau kamu enggak mau nikah lagi?," "Siapa bilang aku enggak mau nikah lagi? Ya aku mau lah, gila aja hidup sendiri seumur hidup. Ini aja lagi semangat-semangatnya cari istri," "Ih kok gitu," "Lah, siapa yang mau hidup sendiri," "Iya sih," Arnold tersenyum dan lalu tertawa, ia menggigit bibir bawa ia mengusap puncak kepala Mince, "Kamu itu enggak berubah ya, sama kayak dulu, gemesin," "Apaan sih," "Kamu ke sini sama siapa?," "Sama grab," "Nanti aku antar ya," "Enggak usah," "Aku antar, ini udah malam juga. Aku takut kamu kenapa-napa di jalan," Arnold melirik jam melingkar ditangannya menunjukkan pukul 22.30 menit. "Hemmm...," "Oiya, gimana ceritanya kamu bisa kerja di hotel?," tanya Arnold penasaran. Kopi hitamnya kini sudah habis tak tersisa. "Rekomended sama Ibas," "Owh ibas, EHK itu," "Iya," "Masih di Swiss hotel kan dia?," "Ya masih lah, aku enggak tau sih kabar dia selanjutnya. Habisnya enggak pernah berhubungan lagi," "Kirain kalian deket," "Ya enggak lah, cuma temen biasa," Percakapan seperti ini berubah menjadi lebih santai, mereka seperti teman lama yang tidak bertemu. "Kamu sekarang masih tinggal di apartemen?," "Enggak," "Terus di mana?," "Aku tinggal di hotel, kamar 7010," "Enak dong dapat fasilitas hotel," "Biasa aja sih," Mince lalu berdiri, begitu juga Arnold menyeimbangi langkah Mince. Mereka keluar dari cafe dengan perasaan sejuta kelegaan. Ia melirik mobil berwarna silver bertulisan Zuri Hotel, ia melirik Arnold. "Kamu pakek mobil kantor?," tanya Mince. "Iya," "Enak ya jadi GM, dapat fasilitasnya mewah, kamar hotel, mobil inventaris, gaji selangit," "Dan target pun selangit pula," timpal Arnold lalu tertawa. Ia membuka mobil untuk Mince. Mince hanya bisa tertawa, ia mendaratkan pantatnya di kursi begitu juga Arnold. Semenit kemudian mobil meninggalkan area cafe dengan perasaan campur aduk. Ada perasaan yang sulit mereka artikan, seperti ada rasa ketertarikan ketika bersama lagi seperti ini. Ini bukan lah kisah mereka yang dulu. Lebih mengarah ke rasa kekaguman di antara keduanya. Benih-benih itu muncul tanpa mereka sadari dan seolah semesta tersenyum melihat kebersamaan mereka. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD