Bab 7

1390 Words
Happy reading *** "Sinem gimana kabarnya?," tanya Arnold, ia meninggalkan area cafe Aroma. "Baik," "Masih di rumah kamu?," "Masih," Arnold membuka musik audio, lagu Tulus mengalun lembut di sepanjang perjalanan. Mince melirik Arnold yang fokus dengan kemudi setir. "Ayah kamu gimana kabarnya?," "Baik, sekarang lagi di Padang, ngumpul sama keluarga di sana. Kalau di sini ayah susah move on, ingat bunda terus," "Iya sih, lebih baik seperti itu," Mince menyadarkan punggungnya sambil memandang Arnold yang nampak tenang. "Kamu sudah ngantuk?," tanya Arnold melirik Mince. "Enggak, kenapa?," Arnold tersenyum, ia melirik Mince, "Aku masih mau ngajak kamu muter-muter," "Kemana ?," tanya Mince penasaran. "Pasar baru," Alis Mince terangkat, ia menyungging senyum, "Mau kulineran?," "Makan bakmi," Arnold terkekeh, ia kembali fokus dengan setir. "Oke," Arnold tersenyum penuh arti setelah mendengar jawaban Mince. Ia menatap ke arah depan, ia di sini akan menghabiskan malam yang panjang dengan sang mantan kekasih. Tidak terlintas dipikirannya untuk mengajak Mince ke Pasar Baru. Seharusnya ia mengajak Mince ke tempat yang lebih romantis ke rooftop sebuah hotel. Tapi ia ingin membuat hal yang berbeda, berkesan dan lebih sederhana. Adakalanya kesederhanaan justru membuat lebih bahagia, mengharapkan segala sesuatu serba mewah justru membuat gila harta. Ia mencuma menghargai waktu bersama walaupun sebentar. Beberapa menit kemudian, Arnold telah tiba di Pasar baru yang berlokasi di kecamatan Sawah Besar Jakarta Pusat. Pasar baru merupakan salah satu pusat perdagangan tertua di Jakarta. Pasar di bangun pada masa VOC (Verenigde Oost Indsch Company) yang berkuasa pada tahun 1820. Didepan pintu masuk bertulisan Pasar Baroe, dulu pasar ini tempat pusat perbelanjaan elit warga ekspatriat. Karena lokasinya dekat dengan kawasan hunian elit Jakarta. Dia depan toko terdapat banyak para pedagang berjajar menjual aneka aksesories, dan makanan. Makanan pada gerobak tersebut, lebih banyak menjual makanan tradisional, bakwan malang, bakso, tahu gejrot, pisang coklat es potong, combro dan aneka makanan lainnya yang mampu mengalihkan dunia. Arnold melirik Mince yang masih berada di sampingnya, "Kamu mau jajan?," Mince terseyum, ia mengangguk, "Aku mau kue ponco tapi yang panas," Arnold tersenyum, ia senang Mince sudah bisa berinteraksi dengan baik kepadanya, "Yaudah kita beli," Arnold menghentikan langkahnya ke salah satu gerobak yang menjual kue Ponco dengan beraneka rasa toping. Ia memesan kue itu kepada penjual dan sambil menunggu kue itu matang. "Aku udah lama enggak ke sini," ucap Arnold ia menarik tangan Mince lebih mendekat karena ada sepeda motor yang mendekat. Jantung Mince berdesir, ketika tangan kasar itu menyentuh kulitnya. Ada perasaa berdesir ketika bersentuhan seperti ini. Ia menatap Arnold yang masih tampak tenang, dia melakukan itu hanya untuk menyelamatkan darinya sepeda motor yang mendekat. "Apalagi aku, lupa deh terakhir kapan," Mince terkekeh. "Katanya mau makan bakmi, di mana?," "Di sana, enggak jauh kok dari sini," Beberapa menit kemudian kue Ponco sudah selesai, ia membayar kue itu kepada penjual. Mereka meneruskan perjalanannya menuju salah satu ruko yang masih terbuka lebar dan pembelinya terlihat masih ramai di sana. Papan depan ruko itu tertulis Bakmie ayam. Ada beberapa orang mengisi bangku kosong di sana, ternyata tambah malam, orangpun semakin ramai berkunjung. Arnold dan Mince duduk di salah satu kursi kosong yang baru saja di tinggal para pengunjungnya. "Kamu sering ke sini?," tanya Mince penasaran. "Ya enggak lah, mana sempat akunya kulineran di sini. Dulu sih udah lama banget, waktu masih bujangan," Arnold terkekeh, ia melihat Mince mulai mengibaskan rambutnya. Wanita itu mengeluarkan karet di saku jasnya, menandakan akan mengikat rambut. Wajar sih panas, karena uap dari rebusan air yang bergumul dari arah depan. Kipas angin ala kadarnya sebagai penyejuk di ruangan ini. Sebenarnya ia lebih suka melihat rambut Mince tergerai Indah, dari pada tergulung ke atas seperti itu. Ada alasan kenapa lebih suka melihat rambut Mince terurai, karena leher jenjang terlalu menggoda untuk dirinya. Masih teringat jelas bahwa ia pernah mencium leher itu dengan penuh nafsu. "Gimana ceritanya kamu bisa jadi GM?," "Ya apply lah, awalnya ya coba-coba cari tantangan baru. Enggak nyangka juga di terima," "Di hotel mana?," "Sebelumnya di JW Marriott Medan," "Keren," Arnold tersenyum ia lalu tertawa, "Makasih," Mince lalu menoleh menatap Arnold, laki-laki itu tersenyum, "Maksud aku, bukan kamunya yang keren, tapi kerjaan kamu yang keren," Mince mencoba menjelaskan agar tidak salah paham. "Kirain kamu bilang aku keren," Mince lalu tertawa, bohong sekali jika ada orang mengatakan Arnold tidak keren, "Ya kamu emang keren sih, tapi di antara pak Hilman, dan chef aja," Tawa Arnold lalu pecah, karena dua orang itu sudah senior, tidak sepadan rasanya di samakan dengan beliau. Jika dia membandingkan dengan Igar ia bisa memaklumi. "Dasar kamu ya," Mereka menatap waiters menyajjkan bakmi di atas meja. Bakmi itu sugguh mengguggah untuk di cicipi dari pada membahas Arnold yang semakin keren. Arnold menatap iris mata bening itu, ia ingin bertanya cukup serius dengan wanitanya. "Apa yang kamu pikirkan dengan mantan ingin mendekatimu lagi?," "Hah !," "Hemmm," "Mantan?," "Iya, aku kan mantan kamu," Mince mengusap tengkuknya yang tidak gatal, rasa groginya kembali meningkat ketika sepasang iris mata tajam itu memandangnya cukup serius. Mantan memang bagian besar dari masa lalu, tidak enak rasanya jika kisah itu di ungkit-ungkit kembali. Lagian tadi ia sudah melalukan introgasi kepada Arnold, dan jawabannya juga masuk akal. Jika seorang mantan ingin melakukan rujuk kembali secara terang-terangan seperti ini. Ia semakin bingung akan bertindak seperti apa. Selama ini belum ada seorang laki-laki pun yang menggantikan posisi Arnold di hatinya. Keakraban dan zona nyaman seperti ini mampu membuatnya kembali kepangkuan mantan. Ah, ini menjadi dilema baru untuknya. Terlebih dulu ia menjadi tidak berdaya ketika putus dengan sang kekasih. Hanya bisa merenung menatap nasib. Mince menelan ludah, ia menggigit bibir bawah. Ia membalas pandangan Arnold dengan berani,  "Apa yang membuatmu ingin kembali kepada mantan?," Arnold menyungging senyum, "Karena kesempatan kedua akan jauh lebih harmonis," "Alasannya?," "Ketika seseorang yang telah putus dan ingin kembali, itu adalah tanda kalau kamu menerimanya tanpa syarat apapun. Alasan paling tentu saja ingin menjalin hubungan yang lebih perspektif lebih besar dari sebelumnya," "Kembali adalah sebuah kenyamanan emosional," Mince terpana mendengar jawaban cerdas Arnold, dia benar-benar piawai merangkai kata-kata. Ini bukanlah Arnold yang dulu selalu puitis, tapi di sini dia lebih mengandalkan logika. "Aku ingin menjalin hubungan denganmu lagi," Suasan mendadak gerah, Mince semakin tidak berdaya mendengar pernyataan Arnold. Oh Tuhan, kenapa semuanya bisa secepat ini. Ini bahkan pertemuan pertama mereka. "Kamu ingin balikan, atau karena kesepian?," tanya Mince. "Apa kesepian bisa jadi alasan cukup rasional untuk balikan?," Arnold malah berbalik bertanya. "Hemmm," "Bukankah hubungan kita dulu baru di mulai, dan kita juga tidak di hantui rasa insecure dalam kehidupan. Pertanyaanmu sama saja seperti, masih sayang atau malas menjalin hubungan dengan orang lain ?," Mince nyaris menganga mendengar ucapan Arnold yang cerdas, ya dia sekelas GM pantas saja dia pintar membolak-balikan pertanyaan. Ia sudah seperti wanita bodoh jika seperti ini. Oh Tidak, ia harus lebih banyak membaca buku psikologi jika berbicara kepada Arnold. "Hemmm," "Hemmm apa?," "Aku bingung mau jawab apa," Arnold lalu tertawa, ia mengelus puncak kepala Mince, "Yaudah jawabnya nanti aja, kita makan dulu," Ada perasaan senang ketika Arnold mengusap puncak kepalanya, ada perasaan tenang menyelimuti hati, "Iya,"  *** Sepanjang perjalanan pulang ia hanya diam. Ia tidak kuasa beradu argument kepada Arnold. Toh, selama ia mengenal Arnold selalu gagal berpendapat. Tepat jam 11.30 Arnold mengantarnya pulang. Ia memandang rumah tampak keadaan gelap. "Minara ...," "Ya," Mince membuka sabuk pengaman. "Terima kasih untuk hari, aku senang bisa berdua sama kamu lagi," "Iya sama-sama, kamu hati-hati di jalan," Mince membuka hendel pintu, tapi tangan kasar itu menahannya. Otomatis lampu dasbor menyala, ia bisa melihat jelas wajah tampan Arnold dari jarak dekat seperti ini. "Ada apa?," tanya Mince bingung. "Aku ingin berkunjung ke rumahmu lagi," "Iya," "Terima kasih," "Minara ...," "Ya," "Aku ingin menciummu lagi," Mince mengerutkan dahi, ia bahkan belum sempat berpikir, bibir Arnold sudah mendarat di keningnya. Perasaan tenang menyelimuti hati, ia tidak menolak Arnold melakukan itu kepadanya. Kecupan hangat dan menenangkan. "Tidurlah, semoga mimpi Indah," "Iya," Mince bergegas keluar dari mobil, ia takut hal-hal yang tidak terjadi. Ia mengatur debaran jantungnya, menatap kaca jendela seketika terbuka. Ia memandang Arnold yang masih menatapnya. "Kita bertemu lagi besok di office," Mince tersenyum dan mengangguk, "Iya," "Masuk lah," Mince menjauhi mobil lalu menghilang dari balik pintu, sedangkan Arnold bersandar di kursi. Sambil menatap ke arah langit malam tanpa bintang. Ada kelegaan hati saat ingin menjalin hubungan kembali. Ia berharap dia merasakan hal yang sama. Ia sudah bertahan sejauh ini, tanpa sedikitpun ingin melapas. Biarkan malam, secangkir kopi dan bait lagu menjadi penggantimu saat ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD