Merancang Masa Depan

1115 Words
Sesampainya mereka bertiga orang dewasa dan satu bayi yang baru berumur tiga bulan ke Pulau Alamandra, setelah perjalanan yang cukup panjang, Danur, Rahmat, dan Gazi memutuskan untuk langsung masuk ke dalam rumah yang sudah mereka sewa untuk seminggu ini, mereka akan beristirahat di rumah ini, “Ini rumah peninggalan pamanku, adiknya Bapak, begitu informasi yang aku dapatkan dari ibu panti asuhan tempat kami, aku dan Rahmat pernah tinggal. Awalnya aku merasa kesal sekali, kenapa paman mewarisiku rumah di negeri antah barantah ini, jauh dari peradaban, lihat saja rumah ini berada seperti di tengah-tengah hutan, jauh dari mana-mana. Tapi, ketika mengetahui aku mengidap penyakit aneh dan langka, hal ini justru membuatku berterima kasih kepada beliau, aku memiliki rumah tempat untuk bersembunyi.” Gazi bercerita tentang rumah ini kepada Danur dan Rahmat. Rahmat cukup terkejut dengan apa yang diucapkan Gazi, “Kamu gak pernah ngomong ke aku mengenai hal ini, Gazi.” Gazi terdiam sebentar, lalu melanjutkan ucapannya, “Jujur. Awalnya aku tidak pernah mau lagi ada hubungan dengan keluargaku, jangankan mengenal mereka, mendengar hembusan napasnya atau nama mereka disebut saja, aku kesal. Tapi, ibu panti asuhan memaksaku untuk menerima sertifikat dan kunci rumah ini, tiga hari lalu, ketika aku mengantarkan sembako bulanan untuk jatah mereka di sana.” Gazi menunduk lemah. Dari wajahnya tampak sekali dia memendam marah, kesal, atau apa, Rahmat dan Danur sulit mengartikannya. Melihat situasi yang seperti ini, Danur berinisiatif untuk mencoba mencairkan suasana, “Aku justru pengen banget, loh, tinggal di sini. Mengingat kondisiku dan Radolf yang seperti ini, jika kami kambuh, tempat ini adalah tempat sempurna yang bisa dijadikan rumah untuk bersembunyi dari dunia luar, ya, kan, Pak?” tanya Danur kepada Rahmat untuk mendapatkan dukungan. Rahmat mengangguk cepat, “Aku malah ingin menjadikan rumah ini tempat Radolf tinggal ketika dia sudah besar nanti, ya, at least ketika dia sudah cukup umur. Aku punya rencana untuk menjadikan rumah ini tempat kita membesarkan Radolf, aku ingin membuat tanaman hidroponik di lahan ini, pelan-pelan nanti kita susun rencana, kita buat rumah kaca, agar Radolf tidak perlu pergi jauh untuk memenuhi kebutuhannya.” Gazi menatap Rahmat, “Kenapa aku gak terpikir seperti itu, ya? bagus sekali, kita bisa memulai semuanya dari sini.” Dan kini binar mata Gazi kembali. Walaupun sejujurnya tadi, sebelum, Danur mengutarakan hal yang luar biasa ini, ide yang brilian itu, Rahmat juga tidak terpikirkan sama sekali, tapi kemudian dia justru semangat untuk mewujudkan ide yang baru saja terlintas, sekarang dia sudah berpikir bahwa dia harus giat bekerja dan menabung, dia berpikir, mungkin Radolf akan dia sekolahkan di rumah saja, mengingat kondisi istimewa yang dialami Radolf, Rahmat tidak mau anaknya jadi bahan olok-olokan teman-temannya jika dia harus pergi ke sekolah umum. Memang, ini masih lama dan dia masih harus berdiskusi dengan Danur dan juga Gazi, tapi sementara, rencana ini yang sekarang paling masuk akal untuk Radolf. Sedikit membuat Rahmat lega, hanya dengan memikirkan hal ini. Jaminan bahwa kelak Radolf bisa hidup bebas tanpa harus menyembunyikan identitasnya, tanpa harus takut ketahuan oleh orang asing yang akan menganggap apa yang dideritanya aneh, membuat harapan Rahmat akan Radolf, muncul, membuncah. Satu minggu ini mereka berempat habiskan hanya untuk sekedar tidur siang, makan, dan juga membereskan setiap sudut rumah, satu hari satu ruangan yang akan mereka bersihkan, “Kita buat rumah ini layak untuk ditinggali oleh manusia, bukan binatang pengerat seperti kamu, tikus jahat!” teriak Danur ketika menemukan tikus yang sedang tidur berada di tumpukan kain lap kotor di dapur. Rahmat mendengar Danur berteriak di dapur, segera menghampirinya, “Ada apa, Bu? Kamu ngomong sama siapa?” Danur tertawa, “Ngomong sama binatang pengerat yang bau busuk dan mengganggu, tuh.” Tunjuk Danur ke pojok ruang, tempat tikus tadi meregang nyawa. Rahmat tertawa, “Aku kaget, aku kira ada orang lain di sini. Jangan bikin aku khawatir, ya.” Rahmat menghampiri Danur dan membelai rambutnya, Danur merasakan ketenangan yang luar biasa jika Rahmat melakukan ini. Tidak berapa lama Gazi muncul, “Aduh, mataku sakit.” Ucap Gazi sembari mengucek matanya, Rahmat yang melihat Gazi seperti itu, langsung menghampirinya, “Kenapa matamu, coba sini aku lihat.” Gazi menepis tangan Rahmat, kemudian tertawa, “Mataku sakit, hatiku cemburu, melihat apa yang baru saja kalian lakukan.” Rahmat meninju lengan Gazi, “Kamu bikin aku khawatir aja.” Danur yang melihat ini tertawa, “Tenang saja. Cintanya untukmu besar, aku saja kadang cemburu kalo kalian sedang ngobrol seperti sepasang kekasih.” Rahmat lebih bingung lagi, “Ya Tuhan, bantu aku. Jangan biarkan aku berpaling atau lebih condong kepada salah satu dari mereka. Oiya, jangan juga buat aku bingung harus memilih siapa, aku cinta kepada mereka, Tuhan.” Dan mereka bertiga tertawa terbahak-bahak, yang pasti tawa ini sukses membuat Radolf yang sedang tidur siang, merengek nangis. Mendengar hal itu Danur bergegas ke kamar, “Well … permisi, bapak-bapak yang budiman, ada bayi yang harus diselamatkan dari kehausan.” Ketika Danur baru beranjak beberapa langkah, dia melihat Gazi dan Rahmat membuntutinya, “Permisi, siapa yang bilang kalian boleh pergi dari sini? Silakan teruskan pekerjaan yang tadi sudah saya mulai, oke.” Rahmat dan Gazi terlihat ingin protes, “Protes berarti tidak ada makan malam, bagaimana?” ucap Danur. Demi meredakan amarah satu-satunya ratu di rumah ini, Rahmat dan Gazi bali badan, dan mengambil peralatan kebersihan yang ada, “Oke-oke.” Setelah memastikan kedua pria ini bekerja seperti yang dia inginkan, Danur meninggalkan mereka berdua di dapur untuk meneruskan pekerjaannya, sambil tersenyum puas. Setelah selesai di bagian dapur, Rahmat memutuskan untuk mengajak Gazi ke halaman belakang, “Kita ukur, yuk, berapa luas tanah yang akan kita jadikan rumah kaca untuk menanam semua keperluan yang kita inginkan. Rencanaku, aku mau menanam sayuran, buah-buahan, jika memungkinkan aku juga mau beternak ayam dan membuat kolam ikan.” Gazi terbelalak dengan usulan Rahmat, “Hei, Pak. Radolf anakmu itu baru umur beberapa bulan, kamu sudah menambahkan beban berat di pundaknya. Kamu yakin, dia bisa menjalankan ini sendiri?” Rahmat tertawa, “Aku yang akan menemaninya. Aku ingin tinggal di sini saja sama Radolf dan Danur, kamu, hei kamu, bujang yang tampan, lekaslah cari istri untuk mendampingimu. Agar aku bisa meninggalkanmu di kota dengan tenang karena ada orang yang bisa mengurusmu.” Gazi menarik daun telinga Rahmat, “Belom apa-apa, kamu sudah berencana untuk meninggalkanku, hah?” dan keduanya bergumul, bertengkar seperti kucing dan anjing, setelah beberapa saat, keduanya lelah, lalu menyerah, dan berguling di lantai, sambil tertawa. Tingkah mereka tidak ubahnya bocah umur belasan tahun yang masih suka bertengkar sebentar lalu berbaikan. “Pernah, gak, kamu berpikir, jika hidup membawa kita sampai pada tahap ini? Aku, jujur saja tidak.” Gazi bertanya ke Rahmat, “Aku juga, tidak. Tapi ini adalah fase hidup yang harus kita lalui dan kita rayakan.” Ucap Rahmat. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD