Danur yang Meracau

1140 Words
"Udah siap semua, sayang?” Rahmat memeriksa semua kebutuhan dan peralatan, baju, sampai ke s**u, dan bekal makanan untuk Danur dan Radolf di Pulau Alamandra, karena seperti kesepakatan mereka kemarin, bahwa untuk sementara waktu Radolf dan Danur akan tinggal di Pulau Alamandra, sampai Radolf besar atau minimal bisa mengendalikan amarahnya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti kemarin. “Sedikit lagi. Aku hanya tinggal memasukkan baju-baju Radolf ke tas. Tolong dibawa tas biru itu, koper coklat dan putih itu, juga di dapur, kompor serta peralatan memasak yang kemarin aku sudah beli ke mobil, ya. Biar nanti ketika mau berangkat, aku bisa memeriksa dan memastikan lagi agar tidak ada yang tertinggal.” Rahmat yang mendengar perkataan istrinya, bergegas untuk memasukkan semua tas dan koper yang tadi sudah ditunjuk dan diberitahu Danur kepadanya. Sementara Radolf dijaga oleh Gazi di depan, sambil menjaga toko. Ketika Rahmat sedang membawa tas, koper, dan semua peralatan keperluan Danur dan Radolf selama di Pulau Alamandra, Gazi bertanya ke Rahmat, “Berapa lama, sih, mereka harus tinggal berdua aja di sana? ini karena tetangga-tetangga rese itu, deh, yang bikin Danur dan Radolf harus ngungsi dulu, sana.” Rahmat yang mendengar ucapan Gazi menempelkan jari telunjuknya ke mulut, “Sstt … nanti kalo didengar tetangga malah jadi masalah lagi, udah lah. Radolf sama Danur di pulau itu hanya sampai Radolf bisa mengendalikan amarahnya. Minimal dia tidak berbuat kerusuhan seperti kemarin.” Gazi yang mendengar ucapan Rahmat menggeleng keras, “Kemarin itu bukan salah Radolf. Emang dasar manusianya aja pada suka bikin onar.” Rahmat menggelengkan kepala, “Udah, ah. Jangan begitu, malah mincing keributan. Lebih baik kita berpisah dulu sama Danur dan Radolf untuk sementara waktu demi keselamatan mereka. Kasian juga Danur dan Radolf jika setiap hari harus berhadapan dan ribut dengan para tetangga. Kamu juga, Gazi, hati-hati bicara. Bagaimana pun, kita butuh mereka, para tetangga agar toko ini ada pemasukan. Jangan sampai karena masalah ini, kita justru kehilangan mata pencarian dan pemasukan.” Setelah sekitar dua jam setengah, Danur dan Rahmat mempersiapkan semuanya, dibantu Gazi yang memegang dan mengawasi Radolf, akhirnya persiapan mereka selesai. “Kita pergi setelah pukul dua belas siang, ya. Jadi sampe di sana bisa langsung istirahat. Aku sama Gazi nginep satu malam di sana, besok pagi-pagi baru kita kembali ke sini.” Gazi dan Danur hanya menganggukkan kepala. “Semalam, aku mencoba mengotak-atik formula yang pertama yang sempat aku berikan ke Gazi di awal. Nanti, kalo Radolf kambuh, coba untuk dikasih kapsul ini, ya, sayang. Tolong observasi keadaan Radolf sebelum, saat diminumkan, dan setelahnya, bagaimana reaksinya.” Danur menganggukkan kepala. Dia tau, suaminya ini sudah berusaha, ratusan mungkin bahkan ribuan kali untuk menemukan formula yang tepat bagi kapsul penyelamat yang akan diminumkan ke Gazi atau Radolf ketika mereka sedang kambuh. Karena memang, ketika mereka berdua kambuh, mereka bisa tidak makan bahkan minum berhari-hari, kemungkinan dehidrasi dan kekurangan gizi juga nutrisi sangat memungkinkan. Hal ini sudah dibuktikan oleh Gazi dan Danur ketika dia sedang kambuh, bisa satu minggu lebih dia mengamuk dan tidak makan juga minum, hal ini membuat tubuhnya melemah, karena energi yang terkuras perkara amukannya. Beruntung, Radolf tidak selama itu jika sedang kambuh. Dan Danur harus berkorban untuk menerima amukan dari Radolf. Untung saja, Radolf masih kecil, jadi tenaganya meskipun lebih kuat dari anak seusianya tapi tidak lebih kuat dari manusia dewasa, jadi Danur atau Gazi masih bisa menenangkannya dan melawan Radolf ketika dia sedang kambuh. “Sampai kapan kita harus menghadapi keadaan ini?” Rahmat bisa mendengar Danur sedang berbicara dengan dirinya sendiri tapi terdengar olehnya. “Sabar, ya, sayang. Semua ini pasti ada kebaikan di dalamnya. Kita harus bersabar dan menerima keadaa ini. Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengusahakan jalan keluar yang terbaik untuk Radolf, Gazi, dan kamu sendiri.” Rahmat memeluk dan mengusap lembut pundak Danur. Dan saat waktunya tiba, semua barang sudah siap di mobil, ketiga orang dewasa ditambah satu anak balita ini masuk ke mobil, dan memulai perjalanan yang akan mereka tempuh lebih dari lima jam menuju Pulau Alamandra. Sepanjang perjalanan tidak banyak kata dan kalimat yang terucap. Hanya sesekali Gazi yang bermain dan bercanda dengan Radolf. Danur lebih banyak diam, sementara Rahmat fokus menyetir. Setelah hampir setengah perjalanan, perjalanan mereka dikejutkan dengan Danur yang tiba-tiba menangis kencang. “Kenapa Tuhan membuatku seperti ini? Menempatkanku dalam keadaan yang sesulit ini? Kenapa bukan mereka aja, orang-orang jahat yang hidupnya justru lebih merugikan orang lain, mereka yang jahat kepada sesamanya, kenapa harus aku?” Danur berteriak sembari memaki Tuhan. Aku yang mendengar ucapan Danur, mencari tempat yang bisa dipakai untuk parkir agar mobil yang mereka kendarai bisa menepi. Rahmat harus menenangkan Danur dan menjaga emosinya juga agar tidak tersulut. Dia gak mau terbawa suasana dengan ikut berteriak menyahuti ucapan Danur. Karena jika keduanya sama-sama berada dalam kondisi panas, maka bukan solusi yang mereka temui justru keduanya akan terlibat dalam keributan. Setelah berjalan lagi sekitar dua ratus meter, Rahmat menemukan parkiran yang cukup lapang dan tidak terlalu banyak orang. Setelah memarkirkan mobilnya di sana, Gazi berinisiatif untuk keluar membawa Radolf, sekedar cari angina dan meninggalkan Rahmat dengan Danur untuk menyelesaikan permasalahan mereka. “Kenapa kamu begini, sayang?” dia mencoba menenangkan istirnya yang histeris. “Kenapa? Kenapa tanyamu? Kamu gak lihat, gak tau, atau memang pura-pura menutup mata atas semua ini? Lihat Radolf, dia ketularan aku. Kamu sekarang pasti menyesal karena sudah memilihku sebagai istri pendamping hidupmu dan perempuan ibu dari anakmu. Sekarang kamu pasti berharap memiliki anak dan istri yang normal, bukan monster seperti aku dan Radolf, iya, kan?” Danur masih berteriak, sementara Rahmat berusaha sekuat tenaga untuk merengkuh Danur ke dalam pelukannya. “Kenapa ngomong begini? Aku sudah memilihmu sebagai istriku, tidak ada dan tidak akan pernah aku menyesal melakukannya. Kalo mengenai Radolf dan kamu yang seperti ini, dari awal aku sudah tau, kan? Aku sudah bersedia untuk menerimamu dan menanggung semua ini bersama. Kita berjanji, kan, akan melewati ini bersama, saling menguatkan. Aku tau, tidak mudah memiliki anak istimewa seperti Radolf …” Danur menyerobot ucapan Rahmat, “Anak monster, maksudmu?” Rahmat menggeleng dengan keras, “Jangan ulangi ucapan tersebut. Jangan panggil anak kita dengan sebutan mengerikan itu. Radolf anak baik, dia anak penyayang. Hanya saja kondisinya yang istimewa dan tidak sama dengan anak-anak lain, bukan berarti dia tidak berharga.” Setelah berhasil merengkuh Danur ke dalam pelukannya, Danur melepaskan semua tangisnya, semua laranya di pelukan Rahmat. “Aku berjanji, akan secepatnya menemukan formula untuk menenangkan Radolf ketika dia kambuh dan mencoba untuk membuatnya sebisa mungkin, selama mungkin untuk tidak kambuh. Kamu tenang, ya. Kamu percaya, kan, sama aku?” setelah sekitar sepuluh menit mereka berdua saling menguatkan, tangisan Danur berangsur berhenti. Tidak lama, Gazi kembali dengan Radolf yang sudah tertidur pulas sejak tadi ada di gendongannya, “Yuk, kita terusin perjalanannya. Khawatir sampe ke Alamandra terlalu larut.” Lalu mereka meneruskan perjalanan mereka masih dalam keadaan saling diam. Tidak bicara satu sama lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD