Di Panti Asuhan, Kala Itu ...

1060 Words
Dua puluh lima tahun sebelum kejadian “Rahmat, ini bau apa sih. Aku pengen muntah deh.” Gazilian yang sedang menemani Rahmat berjalan menuju kantornya. Mereka berjalan bersisian. Rahmat yang memang memiliki kantor di gang sempit yang sebenarnya tidak layak dijadikan kantor, tapi dia tidak punya pilihan lain. Karena kantor ini memang tidak akan menarik perhatian siapa pun, Rahmat sengaja memilih tempat yang seperti ini. “Bau sampah? Ya biasalah, tempat ini kan memang jarang banget dijamah manusia, mereka hanya lewat di depan gang sana. Petugas kebersihan pun akan datang ke sini kalo sudah tercium bau menyengat banget, itu pun mungkin hanya satu minggu sekali mereka mengangkat sampah-sampah ini. Padahal, ini bukan sampah dari kantorku, manusia-manusia tidak bertanggung jawab yang membuangnya di sini. Entah apa maksudnya, mungkin mereka tidak sanggup bayar uang kebersihan, tapi mereka mampu membeli banyak barang dan makanan seperti ini.” Gazilian yang menatap nanar ke arah tumpukan sampah yang berserakan langsung masuk ke kantor Rahmat sambil berbicara ke Rahmat, “Sebaiknya kamu pindah tempat deh. Atau mungkin lebih baik pindahkan saja kantormu ini ke lantai dasar rumahmu. Lingkungan ini sungguh sangat tidak baik untukmu.” Setelah keduanya masuk ke dalam ruangan, Rahmat menjawab ucapan Gazilian tersebut dengan suara penuh kecemasan, “Aku gak bisa memindahkan laboratorium ini ke rumah, terlalu riskan. Aku khawatir, terjadi sesuatu jika satu saat nanti aku melakukan penelitian yang berbahaya. Keluarga besarku yang akan menjadi taruhannya.” Ujar Rahmat sambil melihat beberapa penelitian yang dia kerjakan dan menghidupkan komputer di mejanya, sementara Gazilian mengambil tempat duduk di sofa yang sederhana sekali, tempat satu-satunya di ruangan itu, dan menyahuti ucapan Rahmat dengan menawarkan ruang bawah tanah di rumahnya untuk dipakai oleh Rahmat, “Atau kamu bisa pindahkan semua ini, penelitianmu, barang-barangmu ke ruangan bawah tanah yang ada di rumahku. Kebetulan, ruangan itu aku gunakan untuk menyendiri dan menulis. Kita bisa berbagi ruangan di sana. Nanti, sepulang dari sini, kita bisa mampir ke sana. Karena jelas-jelas saja, aku tidak akan mau lagi kembali ke sini, lingkungan yang tidak bersih, udara yang pengap seperti ini akan membuat sirkulasi udara tidak jalan, dan tentu saja kesehatanmu terancam.” Rahmat yang mengerti bahwa temannya, bukan, sahabatnya ini bermaksud baik. Tapi cara menyampaikannya yang memang terkesan cerewet, membuat Rahmat hanya menganggukkan kepala, “Iya-iya. Oke deh, nanti sepulang dari sini, kita mampir ke rumahmu. Sekarang, kamu duduk saja di situ, diam. Menulis saja, ciptakan karya hebat dan masterpiece, jadi nanti aku bisa ikut kamu keliling dunia untuk memenuhi undangan semua universitas di seluruh dunia, semua toko buku di seluruh dunia, untuk membahas dan membedah bukumu.” Gazilian tertawa, “Siap. Kamu adalah orang pertama yang pasti aku ajak, jika aku terkenal.” Begitulah, Gazilian, si penyair dan penulis puisi yang meniti mimpinya menjadi terkenal, bertolak belakang dengan sahabatnya, Rahmat yang memilih jalur menekuni bidang penelitian. Dua pribadi yang bertolak belakang, Rahmat, si pendiam, pengamat, dan pengambil keputusan. Bertolak belakang dengan Gazilian, yang grasak-grusuk, tidak sabaran, penyebar rasa menyenangkan, dan selalu membuat siapa saja akan tertawa mendengar celoteh-celoteh ajaibnya. Gazilian dan Rahmat adalah dua manusia yang dipertemukan di panti asuhan. Keduanya merupakan penghuni panti asuhan yang penuh dengan anak-anak bandel dan nakal. Gazilian yang masuk ke panti asuhan itu karena sejak lahir memang tidak ada orang tua, ditangkap oleh dinas sosial kota karena kedapatan menjual buku bajakan. Sementara Rahmat, seorang anak lelaki pendiam dan penyendiri, lebih sering diejek dan dihina karena dibuang oleh orang tuanya, dibuang oleh sang ibu lebih tepatnya, karena Rahmat adalah anak hasil hamil di luar nikah. Hal tersebut menjadi bahan ejekan oleh teman-temannya. Tepat ketika Gazilian datang di saat itu Rahmat sedang diganggu oleh anak-anak yang lebih dewasa dari mereka, “Hei, kalian gak malu, gangguin anak yang badannya lebih kecil dari kalian dan lebih muda, hah?” begitu Gazilian menghentikan anak-anak yang mengganggu Rahmat. Rahmat awalnya tidak menyukai kehadiran Gazilian, karena Gazilian memang berisik, selalu bicara, selalu mengajak Rahmat bicara, padahal Rahmat tipe anak yang tidak suka bicara, memilih untuk memperhatikan keadaan sekitar, mengobservasi saja. Hingga suatu ketika, Rahmat membentak Gazilian karena membaca catatan yang ada di buku harian Rahmat, “Kamu, ya. Saya gak pernah mengusik hidupmu, saya juga gak pernah mengganggumu atau memintamu untuk membantuku. Saya tidak suka kamu menyentuh barang-barang saya. Mulai saat ini, GAK USAH LAGI IKUTIN SAYA, PAHAM?” bentak Rahmat ke Gazilian sambil menarik paksa bukunya yang sedang dipegang Gazilian. Sejak saat itu, Gazilian tidak lagi terlihat membuntuti Rahmat, saat makan siang pun, Gazilian sudah tidak lagi duduk di sebelah Rahmat. Hingga suatu hari, Rahmat dipukul habis-habisan sama anak-anak yang selama ini menjahati Rahmat dan sudah lama tidak mengganggunya sejak Gazilian di sebelah Rahmat. Tapi begitu mereka tau Rahmat sekarang tidak dekat lagi dengan Gazilian, mereka mulai menggila lagi. Rahmat hampir kehabisan napas karena setelah dipukul dia dimasukkan ke dalam kamar mandi dan dikunci dari luar. Gazilian mendengar suara Rahmat yang sudah mulai lemah dan hampir pingsan, “Tolong, siapa pun, tolong bukain pintunya. Tolong.” Gazilian yang memang mencari Rahmat, karena sejak sore tadi, tidak terlihat. Begitu pintu kamar mandi dibuka, Rahmat pingsan dan dibawa oleh Gazilian ke kantor kepala panti. “Bu Zelda, ini Gazi, Bu, tolong buka pintunya, Rahmat pingsan, Bu.” Gazilian menggedor pintu ruangan Bu Zelda sambil sebelah tangannya menggendong Rahmat. Setelah Rahmat dibawa ke ruang kesehatan panti, Bu Zelda bertanya ke Gazilian bagaimana ceritanya sampai dia bisa membawa Rahmat dalam keadaan tidak baik seperti itu, Gazi menceritakan dengan detail dan rinci cerita sebenarnya, “Sejak tadi sore saya terakhir melihat Rahmat digangguin sama kelompoknya Gian, saya tidak melihat lagi Rahmat. Begitu mau tidur, saya lihat ke tempat tidurnya, Rahmat tidak ada, lalu saya berkeliling ke ruang baca, ruang makan, dan mendengar ada orang yang meminta tolong dari arah kamar mandi, dan saya mengenali suara tersebut. itu suara Rahmat. Saya langsung membuka pintu kamar mandi yang sudah diganjal pake sapu, kursi ditumpuk, dan lemari bekas yang mungkin Gian ambil dari gudang asrama.” Bu Zelda mendengarkan dengan seksama. Setelah Rahmat mendapatkan pertolongan dari suster asrama, Rahmat pun sudah terlihat lebih baik, dia mengucapkan terima kasih ke Gazi, “Terima kasih, Gazi. Kalo gak ada kamu, mungkin sekarang aku sudah mati. Maafkan sikapku selama ini.” Gazi tersenyum dan menyahuti ucapan Rahmat, “Kan aku sudah bilang, kamu tuh gak bisa sendirian, kamu butuh aku sebagai pelindungmu.” Rahmat setuju akan hal ini. Jadi, sejak saat itulah mereka selalu bersama, ke mana-mana selalu berdua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD