Part 17: Crispy Ring (Apology Part 2)

3117 Words
"Hahaha. Ada-ada aja kamu" kata Shani sambil tertawa. Duh, tawanya itu, lho. Bikin bahagia. "Kamu kenapa? Kok hentak-hentakin kaki ke lantai?" tanyanya heran saat melihatku sedang menghentak-hentakkan kaki ke lantai. "Ya,.. Mastiin aja, Shan" jawabku. "Mastiin apa?" tanyanya. "Mastiin aja kalo aku masih mijak tanah, takutnya aku melayang habis liat kamu ketawa" kataku menggodanya. "Duh, bisa aja sih" "Kamu yang bisa aja, pake nyuruh aku biar gak jauh-jauh lagi. Bilang aja kalo kamu gak mau jauh dari aku" kataku sambil memajukan wajahku ke arahnya. "Emang iya" balasnya sambil ikut memajukan wajahnya juga. Tunggu,.. Ada yang berubah dari Shani, dia sekarang sudah tidak malu-malu lagi menanggapi 'rayuanku'. Shani jadi sedikit lebih agresif. "Oh iya, ngomong-ngomong kamu gak kuliah?" tanyanya lagi. "Lagi minggu tenang, minggu depan baru UAS" balasku. "Yah,.. Berarti gak bisa ikut circus nya tim K3 dong" katanya dengan nada kecewa. "Iya" jawabku singkat. "Kamu jangan macem-macem ya kalo aku tinggal" kata Shani memperingatkanku. "Palingan cuma semacem, Shan" jawabku. "Aku serius!" kata Shani sambil berusaha mencubit ku tapi bisa kuhindari. "Ya,.. Aku bercanda.. Hehehe" balasku sambil tertawa. "Iya iya. Aku usahain deh" gumamku pelan di kalimat terakhir. Shani membalasnya dengan tatapan sinis. Kemudian aku melihat sekeliling dan ternyata supermarket ini cukup sepi. Mungkin karena ini weekdays, jadi masih sedikit yang belanja bulanan. Melihat keadaan itu aku lalu naik ke troli yang tadi ku dorong dan aku tiduran di dalam troli dengan hanya menyisakan kedua kakiku yang terjuntai di depan troli dan kepala yang masih tegak lurus bisa melihat ke depan karena memang troli nya masih kosong, jadi aku cuek saja melakukannya. Melihat aku melakukan hal itu, Shani langsung menegurku. "Ngapain sih, mas. Kayak anak kecil aja" tegurnya. "Gapapa lah, Shan. Main-main dulu, sepi ini juga" balasku. Mendengarku mengatakan itu, Shani melihat sekeliling sebentar. "Ya udah" kata Shani sambil berlari kecil ke arahku dan mulai mendorong troliku. "Eh, eh, Shan. Jangan ditinggal dong" kataku yang sedikit panik karena setelah Shani mendorong troli ku, dia kemudian melepaskannya. Dia hanya menanggapinya dengan tertawa. . . . Akhirnya kami melanjutkan bermain troli ini dan berkeliling ke seluruh penjuru supermarket, beberapa pengunjung lain ada yang heran dan juga ada beberapa pegawai yang menahan tawa melihat tingkah kami. Tapi kami tak perduli, kami merasa seluruh supermarket ini adalah milik kami berdua. Ingat! Bukan seluruh dunia ya, kami mulai dari hal kecil dulu. Toh, tidak ada yang menegur kami juga kan. Bahkan, kami mengadakan balapan dengan 2 anak kecil yang kami temui, sepertinya mereka adik kakak. Kami bermain dengan mereka, sampai-sampai mereka berdua terpisah dari ibunya. Tapi begitu kami bertemu ibunya, ibunya malah berterima kasih pada kami karena sudah menjaga kedua anaknya. Ada-ada saja. "Kok kamu kelihatan seneng banget sih main sama 2 anak kecil tadi?" tanya Shani saat kami mulai belanja. "Masa? Emang iya gitu?" tanyaku balik. Shani hanya mengangguk. "Gak tau, ya. Mungkin karna aku anak tunggal. Makanya kalo ada kesempatan main sama anak kecil, aku seneng banget. Berasa punya adek" balasku. . . . Ada sedikit perdebatan yang mewarnai sesi belanja kami. Seperti, "Beras ini lebih murah" "Beras itu kualitasnya lebih bagus" "Gula yang ini lebih manis" Tapi segera kubantah dengan mengatakan,.. "Gak ada yang bisa ngalahin kemanisan kamu, Shan" "Gak usah pake ngerayu-rayu segala ya. Gak mempan" balasnya seakan rayuanku tadi tidak berpengaruh padanya, tetapi wajahnya tampak memerah. "Siapa yang ngerayu, aku ngomong apa adanya kok. Kamu itu hal yang paling manis di seluuruuuuh... situ" lanjutku sambil menunjuk area yang dia pijak. Dan dibalas dengan wajah cemberut menggemaskan ala Shani. . . . "Ayolah, Shan. Dikit aja, ya" pintaku memelas. "Sekali enggak tetep enggak" balasnya. Aku memasang wajah memelas didepannya, berharap keinginanku dikabulkan olehnya. "Gak usah sok melas gitu ish" katanya. "Aku gulung-gulung nih" kataku mengancamnya. "Gulung-gulung aja kalo berani" tantangnya. "Eh, beneran?" tanyaku ragu karena sebenarnya aku tidak mungkin juga gulung-gulung di supermarket. Shani tidak menjawab dan memberikan ekspresi yang seperti mengatakan, 'Coba aja kalo berani'. "Please, Shan" kali ini aku memohon sambil merapatkan kedua telapak tanganku di depan wajahku dan sedikit menutup mata. Huft~ Aku mendengar Shani sedikit menghela nafas. "Ya udah, tapi ada syaratnya" katanya. "Apa? Apa syaratnya?" tanyaku bersemangat. "Nyanyiin dulu lagu yang biasanya" "Dari awal? Atau langsung reff-nya?" tanyaku. "Gak usah dari awal, tapi jangan langsung reff" jawabnya. Ok. Aku,... Bingung. Aku sedikit berfikir apa yang dimaksud Shani. "Oohh,... itu maksudnya" gumamku saat menyadari apa yang dimaksud Shani. "Ayo, jadi apa gak?" tanyanya. Akhirnya aku mulai bernyanyi. "Engkau sangatlah sempurna Dan tidak ada duanya Ku ingin hidup denganmu untuk selama-lamanya Hawanya trasa aneh untukku Kenapa waktu seperti membeku? Mungkin kau bukan manusia, kaulah My Aphrodite yeah~" Aku sudah tahu, kamu memang lucu.." "..ku ingin cubit kedua pipimu~" Shani menyanyikan sambungan lagu tersebut dengan sedikit mengubah liriknya. Lucunya, dia bernyanyi sambil mengepalkan tangannya dan menggerakkan kedua lengannya seperti menepuk-nepuk paha sampingnya. "Kok diganti liriknya, Shan" Shani tidak menjawab dan malah mencubit pipiku. "Aduh duh, Shan" "Duuuhh,... Aku nahan gemes tau daritadi. Lanjutin liriknya" katanya seraya menghentikan cubitannya. Aku tidak begitu mengerti, tapi akhirnya aku tetap melanjutkan liriknya. "Jangan cepat berlalu, waktu bersamamu. Oh ooh,...." "Dan jangan ada yang ganggu~" Lirik terakhir Shani ikut bernyanyi seakan setuju agar tidak ada mengganggu kebersamaan kami. "Kalo kamu mohon terus kayak tadi, mana bisa aku nolak sih" kata Shani sambil kembali mencubit pipiku. "Udah sana, jangan banyak-banyak ya" tambahnya mengingatkan. "Berapa?" tanyaku. "Dua" "Ya, masa cuma dua Shan" kataku sedikit protes. "Emang kamu maunya berapa?" Aku menjawabnya dengan menunjukkan kedua telapak tanganku atau lebih tepatnya menunjukkan seluruh jari tanganku di depan wajahnya. "Sepuluh?" tanyanya memastikan. Aku langsung mengangguk cepat. "Gak. Gak boleh banyak-banyak, aku udah dikasih amanah sama mama Dian biar kamu gak kebanyakan makan cheetos" Ya, daritadi aku memohon pada Shani agar aku bisa beli snack. Kalian mikir apa? Jangan negatif thinking dulu dong. Kalau sama penulisnya, silahkan kalian negatif thinking. Hehehe. "Delapan deh, Shan" tawarku. "Empat. Atau enggak sama sekali" balasnya. "Ya udah iya" kataku akhirnya. . . . "Hey! Aku ngijinin ambil empat itu, empat bungkus ya, bukan empat macem" tegur Shani saat aku sedang mengambil beberapa snack. Yah, ketahuan, batinku. "Trus kenapa kamu juga ngambil snack lain selain cheetos?" "Hehehe" aku sedikit tertawa setelah terpergok Shani kemudian tersenyum ke arahnya. "Balikin semua itu, ambil empat bungkus aja" katanya tegas. "Eh, Shan" panggilku tiba-tiba. "Apa? Mau ngerayu lagi?" tanyanya. "Aku ada hadiah buat kamu" "Hmm,.." Shani tidak menjawab dan hanya ber-hmm ria. Mungkin dia mengira ini hanyalah salah satu rayuanku agar boleh membeli snack lebih banyak. "Cincin" kataku kemudian. Shani sepertinya terkejut dengan ucapanku barusan. "Nih" kataku sambil menunjuk salah satu bungkus snack yang ada di rak. "Ada banyak cincin di dalemnya" tambahku. Shani tidak menjawab lalu mengambil satu bungkus snack itu dan menaruhnya di troli, dia melakukan hal tersebut dengan ekspresi datar seakan sedang marah. Kemudian mendekat kearah ku dan sedikit berjinjit. "Hari ini, gapapa cuma snack doang. Tapi, aku tetep nunggu cincin asli pemberian dari kamu" bisiknya di dekat telingaku. . . . . . "Oh iya, aku lupa. Aku mau beli bahan buat beli cake" kata Shani saat kami akan menuju kasir. "Gara-gara kamu sih, minta beli cheetos mulu" lanjutnya sambil memukul pelan pundakku. "Mau bikin cake?" tanyaku. Dia hanya menganggukan kepalanya. "Dalam rangka apa?" tanyaku lagi. "Dalam rangka kita udah baikan" balasnya sambil tersenyum. "Ya udah, mau bikin cake apa?" tanyaku lagi. "Gak tau, aku belum pernah bikin cake sebelumnya. Ada saran?" tanyanya balik. "Aku juga belum pernah bikin cake sih" jawabku. "Bisa gak, gak usah sambil gigit-gigit bibir segala" kata Shani tiba-tiba saat aku sedang berfikir. Ternyata benar, saat aku sedang berfikir. Secara tidak sadar, aku menggigit hiburku sendiri. Dan itu, memberikanku sedikit ide. Aku kemudian menggigit bibir bagian bawahku dengan sengaja. "Iiiihhh,... Udah, ah. Gemes tau" kata Shani. "Hehehe" aku sedikit tertawa dengan reaksinya itu. "Brownis aja, Shan" kataku akhirnya. "Kenapa? Kamu suka brownis?" tanya Shani. "Semua yang kamu masak aku suka, buktinya waktu itu meskipun asin aku habisin kan" balasku sambil memeletkan lidahku sedikit. "Udah, ah. Jangan dibahas yang itu, sekarang temenin aku ambil bahan buat bikin brownies" ajak Shani sambil menarik lenganku. "Jangan diambil, Shan. Dibeli" balasku. Yang langsung ditanggapi Shani dengan cubitan gemas di pipi kiriku. . . . . . Aku memperhatikan Shani yang sedang bingung memilih bahan yang akan dipilihnya, aku tidak diperbolehkannya memberikan pendapatku, takutnya kami berdebat lagi dan akan jadi lama. "Shan, boleh aku kasih saran" kataku. "Kan udah dibilang, gak usah. Nanti lama" jawabnya. "Bukan itu,..." Aku melihat sekitar memastikan tak ada pegawai supermarket di dekat kami. "Aku kasih saran aja. Kalo milih barang di supermarket, apapun itu. Ambil yang ada di bagian belakang" kataku melanjutkan. "Eh, kenapa emang?" tanya Shani. "Soalnya, kalo pegawainya mau nambahin barang yang udah sisa dikit, barang lama yang tersisa itu ditarik kedepan terus barang yang baru itu ditaruh dibelakang. Tujuannya sih mungkin supaya barang lama habis duluan. Tapi itu tadi cuma saran, biar dapet barang yang lebih bagus aja" jelasku. "Oh, pantes daritadi kamu ngambil yang dibelakang" kata Shani. "Eh, cie. Merhatiin aku ya" godaku. "Ish, apa sih" kata Shani malu. "Tapi kok bisa tau soal penempatan barang di supermarket gitu?" tanya Shani. "Dulu pernah liat. Dan setelah aku perhatiin barang yang di depan emang lebih cepet kadaluarsa dibanding barang yang ada dibelakang" kataku. "Oh..." balas Shani. "Udah belum?" tanyaku kemudian. "Udah semua kayaknya. Yuk ke kasir" kata Shani. . . . . . . . Setelah memastikan semua barang belanjaan kami masuk ke dalam mobil, aku sedikit memperhatikan area parkir yang sedang sepi. Otak jahil ku pun bekerja. Aku memandang Shani sambil tersenyum seperti tanpa dosa, dan Shani,.. seperti dia bingung dengan arti senyumanku itu. . . . "Ah,.. Adriaan.. Stop! Stop! Aaahh,....." teriak Shani diselingi sedikit jeritan. "Bentar, Shan.... Sabar. Dikit lagi nyampe..." balasku sambil mempercepat gerakanku. "Pelan-pelan! Aaaahhh...." . . . "Udah, nih. Udah nyampe. Ayo turun" kataku padanya yang masih meringkuk gemetaran dia atas troli. Shani sedikit membuka matanya. Mengintip. Kemudian dia berdiri dan merentangkan kedua tangannya kearah ku. "Gendong" pintanya. Huft~ Aku sedikit menghela nafas. Kemudian aku berjongkok untuk memasang penahan roda troli agar tidak bergerak saat aku menurunkan Shani nanti. Kenapa? Kalian memikirkan apa tadi? Itu tadi hanya adegan Shani yang berteriak ketakutan karena aku mendorong troli yang dinaikinya dengan sedikit kencang. Biar seru aja mengembalikan troli ke tempatnya dengan cara seperti itu. Gantian dong, kan tadi saat di supermarket aku terus yang naik. "Sampe mobil" kata Shani tiba-tiba. "Hah?" tanyaku memastikan pendengaranku. "Gendong! Sampe mobil!" katanya lagi menegaskan. Setelah memasang penahan roda troli, aku kembali berdiri. Lalu aku meraih pinggang Shani kearah pundakku dan mengangkat tubuhnya perlahan. "EH! Kok gini? Emang aku karung" kata Shani memprotes caraku menggendongnya. Tak lama, aku kembali menurunkan Shani. "Kok gak sampe mobil?" protesnya lagi. Aku tidak menjawabnya dan lebih memilih mengembalikan troli ke barisannya setelah sebelumnya aku sudah melepas penahan rodanya. Saat aku menengok kearah Shani, dia memasang wajah cemberutnya lagi. Itu membuatku sedikit kaget. Tapi aku langsung mendekat ke arahnya kemudian satu lenganku mengelilingi punggungnya dan lengan lainnya di belakang lututnya. Secara refleks, Shani melingkarkan lengannya di bahuku. "Maunya digendong gini kan" kataku saat sudah sukses menggendongnya. "Digendong kayak princess-princess gini kan" lanjutku. Shani tidak menjawab, hanya memberi anggukan kecil dengan wajah memerah. . . . Sialan! Kenapa perasaan cepet banget sih, udah sampe deket mobil aja, pikirku saat aku sudah tinggal beberapa langkah lagi dari mobilku. Aku masih ingin menggendong Shani. Saat aku ingin menurunkan Shani dari gendonganku, Shani mencegahku. "Masukin dulu" katanya. Oke, itu,... sedikit ambigu. "Masukin aku kedalem mobil dulu" katanya lagi. "Aku harus ambil kunci dulu, Shan" balasku. "Ya udah, aku turun dulu, kamu ambil kunci, buka pintu mobil, trus gendong aku lagi, masukin ke dalem mobil" pintanya. Akhirnya aku menuruti kata-katanya dan melakukan persis seperti yang dia katakan tadi. Saat aku sudah memasukkannya dalam mobil ditambah sudah ku pastikan posisi duduknya nyaman. Aku menyadari satu hal, wajah kami sekarang begitu dekat. Apa,.. Apa aku harus menciumnya? Disini? Sekarang juga? Saat pikiranku dipenuhi pertanyaan, Shani tiba-tiba mengangguk seperti mengetahui apa yang sedang kupikirkan dan mengiyakannya. Kemudian dia memejamkan matanya. Aku pun ikut memejamkan mataku dan perlahan mendekatkan wajahku ke arahnya. Sampai akhirnya,.. TIIINNN!! Suara klakson mobil yang seperti baru mau parkir mengagetkanku. Akhirnya aku mengurungkan niatku dan menutup pintu mobil. Lalu aku berjalan menuju pintu supir mobilku sambil garuk-garuk kepala. Susah banget kayaknya, batinku. . . . . . . . Kruyuuuk... "Ehm, mas. Kamu laper gak?" tanya Shani saat di mobil dalam perjalanan pulang. "Lho, aku kira itu tadi suara perutku. Hahaha, emang kamu udah laper?" tanyaku karena ini memang belum jam nya makan siang. "Udah, tadi waktu di rumah Gracia. Tapi aku makannya cuma dikit. Kamu juga udah laper kan" katanya. "Iya. Tadi aku sarapan cuma pake roti, tapi kayaknya gak nolong deh" kataku. "Sesekali makan diluar yuk" ajak Shani. "Boleh, mau makan dimana?" tanyaku. "Ikutin arahan aku ya" kara Shani. "OK, nyonya Adrian" kataku yang langsung mendapat balasan berupa cubitan dari Shani. . . . . . . . "Disini?" tanyaku memastikan begitu kami sudah duduk di kursi meja makan sebuah restoran jepang. "Iya. Kenapa?" tanya Shani. "Aku belum pernah makan sushi" kataku jujur. "Ya udah, ini pertama kali" kata Shani. Shani memesankan sushi untuk kami berdua. Begitu pesanan kami tiba, dia langsung menyantapnya dengan lahap. Sedangkan aku masih ragu untuk memakan sushi-ku ini, maksudku,.. yah,... ikannya masih mentah kan. "Kok gak dimakan?" tanya Shani yang melihatku hanya memandangi sushi-ku. "I-iya bentar, Shan" balasku. "Ini, aku yang pesenin lho" kata Shani. Benar-benar ancaman yang halus. Lep... (Sosis kali, ah) Aku memasukkan sushi tersebut kedalam mulutku dan mulai mengunyahnya. Rasanya? Ekh,... Entahlah, agak aneh di mulut ku. Mungkin lidah ku tidak terbiasa. Jadi, aku tidak bisa menelannya. Aku tidak mau. "Kenapa? Gak suka ya?" tanya Shani dengan senyuman meledekku. Aku hanya mengangguk dengan mulut masih dipenuhi sushi. "Ya udah. Nih. Lepehin aja" perintah Shani sambil memberiku beberapa lembar tissu. Aku langsung menyambar tissu itu dan mengeluarkan sushi yang ada di mulut ku. Hah, akhirnya. Lega rasanya. "Gimana sih rasanya di mulut kamu?" tanya Shani. "Yah, bukannya gak enak sih. Tapi, mungkin karena lidahku gak cocok aja sama ikan mentah. Jadinya agak mual" balasku. "Hmm... Dasar lidah sok Eropa" kata Shani menyindirku. "Eh, kok bawa-bawa itu sih" balasku. "Lah, kamu tadi bilang sendiri, sarapan sama roti" jawabnya. "Eh, itu kan" "Kalo gitu, pilih!" potongnya. "Gudeg atau Hutspot ?" tanyanya kemudian. "Ya,.." aku sedikit ragu untuk menjawabnya. "Kamu orang Jogja tapi gak doyan gudeg, aneh banget" kata Shani. "Ya, bukan gitu, Shan. Tapi masalahnya,.." Shani tiba-tiba berdiri. Tunggu. Apa dia marah? Lagi? Ayolah, Shan. Baru beberapa jam yang lalu kita berbaikan. Eh, ternyata aku salah. Dia hanya ingin pindah tempat duduk, sekarang dia duduk disebelahku. "Kalo aku yang nyuapin, masih berani kamu muntahin?" tanya Shani dengan tangan memegang sumpit. Aku menggeleng cepat. Hey, kenapa kau menggeleng Adrian? Entahlah. Saat bersama dengan Shani, aku seperti tidak bisa membantahnya. Aku tidak mau. Akhirnya Shani menyuapi ku. Dan entah kenapa aku bisa menelannya sekarang. Apa karena faktor Shani? Ah,... bukan. Ini karena faktor lain. Faktor lapar. Hehe. . . . . . "Kau adalah tipeku. Kaulah tipeku. Tidak perlu berbuat apapun, kau sudah mencuri hatiku~" "Seneng banget kayaknya. Pake nyanyi-nyanyi, buat siapa sih lagunya" tanya Shani padaku yang sedang bernyanyi mengikuti lagu yang diputar oleh radio di mobil ku. Aku tidak menjawabnya dan meneruskan bernyanyi karena beberapa lirik berikut sedikit menggambarkan perasaanku padanya. Aku harap dia menyadarinya. "Sepatu di kaki kecilmu, sangat cocok dengan celana ketatmu. Di bawah kerah baju yang besar, rambut panjang dan lurus indah terurai. Senyum mata yang malu, raut wajah saat termenung. Engkau terlihat cantik, hatiku bergetar. Bisakah ku mendapatkanmu? Kau lah tipeku. Oh, Ooh,.. Manisnya senyumanmu... Dan tatapan matamu... Tak ada kekurangan, denganmu ku takkan pernah bosan. PERFECT!! Oh, Ooh,.. Suaramu yang lucu... Membuatku tersenyum... Mengapa kau tidak sadar? Jika ku bernyanyi untuk dirimu" Oke, untuk dua kalimat terakhir aku improvisasi sendiri karena Shani hanya diam saja daritadi. Mungkin dia lelah. "Hoamm" Tuh kan, benar kan. Dia lelah. Shani baru saja menguap. Kebetulan sekali, lirik berikutnya kalau tidak salah.. "Aku.. sungguh.. suka.. pada.. dirimu.. Meski.. saat kau menguap, itu gayaku. Kita semakin dekat, hatiku kewalahan. Tiap kau panggil namaku, ku tak pernah berhenti tersenyum" Setelah menyanyikan lirik tadi, aku melihat ke arah Shani dan, kulihat senyuman di sudut bibirnya. Artinya? Artinya tadi bukan kebetulan, dia sengaja menguap untuk memancingku menyanyikan lirik tersebut. "Kenapa harus selalu pake nyanyi sih" celetuknya saat lagu sudah habis. Aku tidak menanggapinya, aku kini hanya memfokuskan diri menyetir sampai rumah dengan selamat. . . . . . . . "Aku bantu ya" kataku saat Shani akan membuat brownies. "Emang kamu bisa?" tanya Shani. "Gak sih. Tapi kamu tau gak, kenapa aku nyaranin brownies?" tanyaku. Shani hanya menggeleng lucu. "Sejarah brownies itu asalnya dari adonan kue yang gagal ngembang. Nah, karna itu daripada kita bikin cake lain tapi nanti pas bikin adonannya gagal ngembang, sekalian aja bikin cake yang adonannya gak perlu ngembang kan" kataku panjang lebar. Shani hanya melihatku dengan mulut terbuka seperti sedang bengong. "Pusing ya dengerinnya" kataku. Dia hanya mengangguk-angguk pelan tetap dengan mulut terbuka. "Ya udah, langsung buat aja" kataku lagi. . . . "Katanya mau bantuin, kok malah makan snack sih" tegur Shani saat aku hendak membuka salah satu bungkus snack yang tadi kubeli. Aku tidak menjawabnya. Aku berjalan ke arahnya, lalu setelah berada di dekatnya aku meraih tangan kirinya dan berlutut di depannya. "Aku tahu, waktu itu kamu belum jawab. Tapi, aku orangnya sedikit keras kepala, jadi akan aku coba lagi" kataku. Shani menutup mulutnya seakan tidak percaya dengan apa yang ku lakukan dan dari sudut matanya sedikit mengalir air mata yang berusaha untuk dia tahan sekuat tenaga. "Shani Indira Natio, maukah kamu menjadi ibu dari anak-anakmu sendiri ke-" "Jangan bercanda" potongnya sambil memukul pundakku pelan. "Maaf maaf. Aku ulangi ya" Huft~ Aku sedikit menghela nafas. "Shani Indira Natio, maukah kamu menjadi ibu dari anak-anak kita kelak?" Shani mengangguk tanpa ragu. Aku kemudian mengambil salah satu snack dari bungkusnya yang bertuliskan 'SMAX RING' dan memasangkannya ke jari manis kiri Shani. CTAK! Snack nya patah saat aku ingin melingkarkannya ke jari Shani. "Tenang. Aku masih punya banyak kok, Shan" kataku seraya mengambil satu snack lagi. Kemudian aku mencoba memasangkan snack itu ke jari manis kiri milik Shani sekali lagi dan,.. "Kayaknya gak bisa, Shan. Lubangnya kekecilan" kataku saat menyadari hanya setengah jari Shani yang bisa masuk. "Gapapa. Anggep aja ini latihan, yang penting kamu udah tau jawaban aku kan" kata Shani dengan nafas tersengal karena dia sudah tidak bisa membendung air matanya lagi. Dan,.. sekali lagi, dengan kedua mataku sendiri, aku melihat Shani meneteskan air matanya. Tapi kali ini berbeda, itu adalah air mata kebahagiaan. Tangis bahagia dari seorang Shani. Aku lalu berdiri dan memakan snack yang ada di jari manis Shani yang membuatnya sedikit tertawa. Kemudian aku menempelkan keningku ke keningnya seraya berkata,.. "I Love You, My Aphrodite"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD