Part 17: Crispy Ring (Apology Part 1)

4161 Words
P.O.V Shani Aku melihat Hp-ku. Menunggu. Apa hari ini dia cuma mau nelfonin aku lagi ya?, batinku. Aku kembali melihat layar Hp-ku lagi, password nya masih sama, pola 'setengah hati' yang dia dibuat. Aku suka banget sama pola ini. Aku suka sama semua yang dia lakuin buat aku. Kecuali waktu dia bohong. "Aku sudah tahu, kamu memang lucu Saat ku lihat kedua matamu.~" "Nyanyi apa, ci?" tanya Gracia. "Ah, gak. S-siapa yang nyanyi" balasku Kenapa aku nyanyiin lagu itu sih? Lagu yang sering dia nyanyiin buat godain aku. "Ini, ci. Minum dulu, jangan nangis terus" tawar Gracia sambil meletakkan segelas air di meja didepanku. "I-iya, Gre. Makasih ya, maaf aku udah ngerepotin kamu. Gara-gara aku nginep disini, kamu gak bisa jalan-jalan sama keluarga kamu" "Ah, gapapa. Aku juga lagi males keluar kok, capek habis kegiatan kemaren" balasnya. Sekarang aku sedang berada di rumahnya Gracia, di ruang tengahnya. Duduk di sofa. Aku numpang menginap disini. Menunggu dia menjemputku. B-bukan berarti aku pengen dia jemput aku ya. C-cuma,.. itu,... apa,... aku gak enak aja sama Gracia. Udah 2 malem aku nginep disini. "Gimana, ci? Masih,.. Eh, itu kan-" Aku langsung mengambil Hp-ku yang tadi sempat kuletakkan di atas meja dengan cepat. "K-kenapa? Kenapa, Gre?" Apa tadi Gracia sempet lihat ya? Apa Gracia lihat wallpaper Hp aku tadi? Wallpaper Hp ku 'masih' foto dia, foto yang diambil saat kami di Jogja. Wallpaper Hp-ku terpasang fotonya. Sebaliknya, wallpaper Hp-nya terpasang fotoku. Jika Hp kami ditaruh bersebelahan, akan terlihat seperti kami berdiri bersebelahan. Karena memang foto itu diambil saat kami berdiri bersebelahan. Dia tersenyum lucu di foto ini. Senyumannya itu lho, gemesin banget sih. Aku pengen liat senyuman itu lagi. "Ah, itu,.. Gimana, Ci? Masih belum mau pulang? Belum mau maafin kak Adrian?" tanya Gracia sambil tersenyum-senyum kecil. "Gak usah disebut, Gre! Aku masih sebel sama dia" kataku sebal. Aku udah ceritain semuanya ke Gracia. Dia sahabat aku, jadi gak perlu ada yang ditutup-tutupin. Meskipun ada beberapa bagian yang aku 'samarkan'. "Iya iya, ci. Maaf" kata Gracia memelas. "Jadi gimana?" tanyanya lagi. "Kan dia belum minta maaf, Gre. Lagipula kalo dia emang beneran mau minta maaf, harusnya dia susulin aku kesini dong" kataku. Sebenernya aku udah pengen pulang, tapi aku masih sebel sama dia. Dia harus minta maaf dulu. "Emang kak Adrian tau kalo ci Shani ada disini?" tanya Gracia lagi. "Jangan disebut, Gre!" kataku lagi. Sebal. "Iya, maaf. Tapi kan, ci, dia gak tau rumah aku. Kalo kak Ad.. Kalo dia tau rumah aku, nanti ci Shani marah lagi. Curiga. Disangkanya aku ada apa-apa sama kak Ad.. sama dia. Mungkin aja dia masih nyari ci Shani ditempat lain" kata Gracia. Pokoknya aku gak mau tau, aku gak mau nyebut ataupun denger nama Adrian sebelum dia minta maaf. Titik! "EHH?!" kataku Reflek. Tuh, kan malah kesebut sendiri. Iiihh. "Eh??" sahut Gracia bingung. "Ah, itu,.. apa,... Aku gamau tau, pokoknya dia harus nemuin aku disini, terus jelasin semuanya" kataku. Lagian aku udah bilang kok ke dia kalo aku bakal kesini sebelum aku pergi dari rumahnya, batinku. "Tapi kan-" TOK TOK TOK Pintu rumah Gracia ada yang mengetuk. Apa jangan-jangan,.. "Nah, lho. Kalo itu kak Adrian gimana, ci" kata Gracia menggodaku dengan tersenyum. "Ish, apa sih. Kalo itu Adrian bilang aku gak ada disini" kataku. "Ih ihh, disebut sendiri" kata Gracia menggodaku. "Kamu sih. Udah. Pokoknya kalo itu dia, bilang aja aku gak ada" kataku lagi. "Lho, gimana sih, ci?" tanya Gracia bingung. Aku pengen ketemu Adrian, tapi aku belum siap. Takutnya aku salah tingkah, soalnya apapun yang dia lakuin pasti selalu bisa buat aku seneng, kecuali saat dia bohong ya. "Udah, pokoknya bilang aja gitu" "Gak janji ya, hehe" balas Gracia kemudian tertawa. TOK TOK TOK Terdengar lagi suara ketukan pintu. Gracia lalu menuju pintu untuk menemui orang yang daritadi mengetuk pintu itu. Sedangkan aku, bersembunyi di balik sofa. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Lama,.. bikin penasaran aja. Beneran dia apa bukan ya. Pengen lihat. Tapi,.. kalo nanti aku ngintip,.. dia bisa lihat aku dong. Tapi apa emang bener dia? Duuuhh,.. Bingung. Gimana ya?, pikirku. "Ngapain, ci?" tanya Gracia tiba-tiba. "Ah, gak,.. itu,.. apa,... Siapa tadi?" tanyaku balik. "Oh, itu,.. Sales panci" jawab Gracia. "Oh,.." balasku sedikit kecewa. "Ngarepin kak Adrian yang dateng ya. Ups,.. kesebut lagi deh" kata Gracia dengan sengaja tapi seakan dia buat tidak sengaja. "GREEE!!" "Hehehe. Sorry, ci sorry" Jangan disebut terus dong,.. Kan nanti aku jadi tambah,.. Aaahh,.... Kamu kemana aja sih? Susulin aku kesini! Masa kamu cuma nelfon doang kayak kemaren-kemaren? Sini cepetan! Susulin aku, Adrian! Duh, malah kesebut lagi kan. TOK TOK TOK Terdengar lagi suara ketukan pintu. "Duh, mau apa lagi sih. Bentar lagi ya, ci" kata Gracia sambil terlihat sebal. TOK TOK TOK "Bentar ya, ci" kata Gracia sambil berjalan kearah pintu depan. Siapa ya?, pikirku. "Mau apa lagi sih!!" teriak Gracia sesaat setelah membuka pintu. Orang itu kelihatan kaget. Eh, itu kayaknya Ad... Aku langsung berjongkok dan kembali bersembunyi di balik sofa. Duh, tadi hampir kesebut lagi kan, batinku. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, yang terdengar jelas hanya suara tawa mereka. Akhirnya karena penasaran, aku mengintip siapa yang berbicara dengan Gracia. Dan ternyata itu memang Adrian. Tunggu, Gracia mau pergi kemana? Dan kenapa juga Adrian masih diem di depan pintu? Apa Gracia ngasih tau Adrian kalo aku disini? Tapi kenapa Adrian masih diam saja? Kenapa Adrian gak langsung masuk? Eh, kesebut berapa kali tadi itu? Dia liatin apa sih? Oh, aku tau. Dasar cowok. "Udah puas ngelihatin pantatnya Gracia" kataku menegurnya. "Eh, Oh. Hai, Shan" sapanya dengan tersenyum seperti tak punya dosa apapun. Aku diam saja tanpa menjawab sapaannya, lalu kembali duduk di sofa dan aku juga memasang wajah marah agar dia gugup dan sepertinya itu berhasil. "Eh, gak. Anu, itu. Siapa yang ngelihatin pantatnya Gracia. Kamu apa kabar? Kok disini?" katanya lalu masuk ke dalam. "Jadi kamu kesini gak mau nemuin aku?" tanyaku berusaha sejudes mungkin. "Siapa bilang? Aku kesini mau nyariin kamu kok. Suer" balasnya sambil tersenyum. Aku tidak menjawabnya, aku terlalu fokus pada senyumannya. Manis sekali sih. Duh, bukan waktunya buat luluh. "Aku duduk ya" katanya lalu duduk di depanku. "Pintunya tutup dulu" kataku. "Lho, ini kita cuma berduaan lho, Shan. Kalo pintunya ditutup nanti jadi fitnah. Di rumahnya orang lagi" balasnya. "Ish, apa sih. Jadi kenapa mau nemuin aku?" tanyaku. "OK. Sekarang serius, Shan" katanya sambil menarik nafas. "Aku nyariin kamu, mau jelasin semuanya sekaligus minta maaf kalo aku punya salah sama kamu" katanya dengan nada serius. Aku terdiam mendengarnya bicara seperti itu. "Kamu siap dengerinnya?" tanyanya. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaannya itu. "OK. Aku mulai" katanya. Dia lalu menceritakan semuanya, mulai dari awal pertemuannya dengan Thacil. Hubungannya dengan Thacil. Kisahnya dengan kak Shania yang bahkan aku tidak pernah menduga sebelumnya kalau hubungan mereka lebih dari sekedar teman. Dan satu lagi, nama yang tak pernah aku duga akan disebut di ceritanya. Okta. Okta juga pernah melakukan hal itu dengan Adrian. Bahkan saat melakukannya dia masih,.. Sampai yang terakhir, yaitu kejadian dua hari lalu saat aku pergi dari rumahnya. "S-stefi?" tanyaku saat aku selesai bercerita. "Stefi?" "Kamu dapet paket apa dari Stefi? Trus,.. trus apa hubungan kamu sama dia?" tanyaku lagi. Aku penasaran, ada hubungan apa diantara mereka? Karena itu yang buat aku jadi bener-bener sebel sama dia. Kenyataan kalo ada lebih dari satu gadis yang dia 'sembunyikan' selama ini. "Hey!" panggilku. "Kok ngelamun? Kamu ada hubungan apa sama Stefi?" tanyaku sekali lagi. "Ah. A-aku gak ada hubungan apa-apa sama Stefi, itu yang perlu kamu inget, Shan. Dan soal paket dari Stefi, itu cuma tiket buat HS sama dia. Aku sendiri gak tau kenapa dia ngelakuin hal itu. Tapi yang pasti,.." katanya menggantung. "Kamu mau aku jujur kan?" tanyanya. Aku kembali mengangguk. Ya, aku pengen dia jujur. Meskipun mungkin itu menyakitkan. "Aku bingung sama diri aku sendiri. Aku ngerasain sesuatu yang beda waktu kemaren HS sama Stefi" "M-maksud kamu?" tanyaku bingung. Tunggu,.. Apa itu artinya dia jatuh cinta sama Stefi? Gara-gara aku marah padanya? Terus dia HS sama stefi, Adrian jadi suka sama Stefi? Semudah itu? "Tapi, itu bukan cinta, Shan" katanya lagi seakan menjawab pertanyaan dalam pikiranku. Apa dia bisa tau apa yang aku pikirkan? Lalu,.. lalu jika bukan cinta, itu apa? "Jujur. Aku akuin, aku sayang sama Stefi. Tapi, itu cuma perasaan sayang yang ingin melindungi, bukan memiliki. Mungkin sama kayak perasaan aku sama member lain. Tapi,.. yang aku rasain kemaren itu, aku gak tau apa" katanya menjelaskan. Sekali lagi dia seperti membaca pikiranku. "Itu.. udah semuanya?" tanyaku. "Tunggu kayaknya ada yang kelewat deh" katanya sambil menggigit bibirnya. Tunggu,.. Apa?!! Masih ada lagi? Duh, jangan gigit-gigit bibir dong. "Oh iya, aku belum cerita soal aku ini mantan nya Manda ya" katanya kemudian. Aku hanya bisa terbengong mendengarnya. "Aku ceritain juga ya. Sekalian lah" katanya. Akhirnya Adrian juga menceritakan kisahnya dengan Manda, awal pertemuan mereka sampai alasan mereka putus. Denger ceritanya sama Manda aku jadi agak cemburu. Tapi sekarang aku bisa lega soalnya mereka udah gak sama-sama lagi. Tapi, tunggu! Itu gak jamin Manda gak balik lagi kan. Apalagi, dia udah bukan member yang artinya gak ada larangan golden rules yang ngiket dia lagi. Aduh, aku harus gimana ya? "Jadi,.. itu udah semuanya. Udah semua yang aku ceritain yang mungkin perlu kamu tau tentang aku, Shan" kata Adrian saat selesai bercerita. "Jadi,.. Intinya kamu sama Thacil gak pacaran?" tanyaku. "Hah? Apa? Astaga, enggak, Shan" katanya menegaskan. "Dia bilang ke kamu kalo aku pacarnya? Aku sama dia gak ada hubungan apa-apa, ya cuma hubungan,... ya,.. yang udah aku jelasin tadi" Aku tidak menjawabnya, aku hanya bisa menundukkan kepalaku memikirkan semuanya. Berusaha mencerna cerita Adrian. "Oh iya, Shan. Ini juga perlu kamu tahu" katanya lagi. "Mungkin ini cuma alasan aku aja, cuma pembelaan aku aja. Tapi, alasan kenapa aku bisa sampe kayak gitu, mungkin,.. karna waktu itu gak ada orang yang bisa nyemangati aku disaat aku merasa kehilangan. Aku gak punya orang untuk disayang ataupun orang yang sayang sama aku. Aku jauh dari orang tua. Aku kehilangan oshi. 2 kali. Aku juga gak punya pacar, maksud aku gak punya orang yang bisa diajak berbagi kasih. Waktu itu, aku terpuruk banget. Dan saat keadaan aku kayak gitu, aku ketemu Thacil. Dia ngasih aku sedikit 'hiburan' dengan menawarkan 'hubungan tanpa perasaan' itu. Tapi sekarang aku sadar, kalo itu kesalahan terbesar aku" Adrian pernah ngerasain kesedihan yang kayak gitu? Dan aku? Aku udah egois langsung ngejudge dia dan gak mau dengerin penjelasannya dulu waktu itu? Kok kesannya aku yang jahat ya. Kalo gitu, habis ini aku harus jadi orang yang berarti buat dia. "Aku emang gak pantes dapet maaf kamu, Shan. Terutama setelah kamu tau semua itu. Setelah aku pikir, gak mungkin juga kamu mau maafin aku kan. Tapi aku masih pengen ngucapin ini" katanya sambil mengulurkan tangannya di depanku. "Shan, aku minta maaf" lanjutnya. Jujur, aku emang kecewa waktu dia bohongin aku. Tapi setelah dengerin ceritanya dia barusan, ada sebuah perasaan yang muncul di dadaku. Bukan, aku gak ngerasa sesak, bukan juga rasa sakit. Tapi perasaan lega. Ya, perasaan lega. Lega soalnya dia udah berusaha nemuin aku dan udah berani ngomong jujur dengan ceritain semuanya. Aku ngangkat kepala aku yang daritadi nunduk terus ngelihat dia yang lagi senyum sambil nungguin aku nyambut uluran tangan dia. Tapi, aku gak nanggepin uluran tangannya itu. Aku tepis tangannya terus aku langsung menghambur ke arahnya untuk meluk dia. Yang aku rasa saat ini? Bahagia. Aku bener-bener bahagia. Aku gak pernah sebahagia ini. "Ngapain sih. Pake ngulurin tangan segala. Ini bukan event HS. Aku lebih nyaman kayak gini. Makasih udah jujur. Aku juga minta maaf udah ngambek kayak anak kecil tanpa ngasih kamu kesempatan buat jelasin dulu., tanpa aku tahu kalo kamu pernah ngalamin hal yang menyedihkan dimasa lalu. Pernah ngerasain kesedihan yang dalem. Aku bakal balik kerumah" kataku sambil mempererat pelukanku. "Iya, Shan iya. Udah dong, jangan kenceng-kenceng meluknya. Sesek lama-lama" katanya sambil menepuk-nepuk punggungku. "Eh, iya. Maaf ya maaf" balasku lalu melepaskan pelukanku Lalu aku duduk disebelahnya. "Tapi kamu harus janji, gak usah ngelakuin hal-hal kayak gitu lagi ya" kataku lagi. "Iya, Shan. Aku bakal segera ambil tindakan soal Thacil, kalo Okta gampang lah. Shania... mudah-mudahan bisa deh, kalo Stefi,.. kayak yang aku bilang tadi, aku masih bingung" kata Adrian. "Ya udah, gak usah buru-buru. Kalo perlu, nanti aku bantu" kata Shani sambil berpindah ke sebelahku. "Yang penting, sekarang kamu gak usah khawatir lagi. Karna kamu udah punya orang untuk berbagi kasih. Yaitu aku. Lagian, mumpung sekarang kita cuma berdua,..." kataku menggantung. Sekarang kami saling berhadapan, wajah kami begitu dekat. Aku bisa merasakan nafasnya yang hangat didekat wajahku. Aku lalu memejamkan mataku dan memajukan wajahku hingga,... "Cek cek e'hem" Suara Gracia yang baru datang membuyarkan momen romantis ini. "Kalo mau gituan jangan di rumah orang dong. Pulang dulu sana" kata Gracia. "Ish, apa sih Gre" kataku gugup. "Eh, Gracia udah balik?" tanya Adrian. "Kak Ads ya, disuruh jagain rumah malah mau ena2. Kalo mau ena2 ini pintunya ditutup dulu ish" kata Gracia. "EHH!!" kataku dan Adrian bersamaan. "Cia~, kompakan. Jodoh ya, jodoh ya" kata Gracia menggoda kami. "Ish, apa'an sih Gre" kataku. "Haha, doain aja ya" kata Adrian. "Mas, jangan bikin malu ih" kataku sambil memukul pelan pundak Adrian. "Cia~, punya panggilan kesayangan ya. Ihiw ci Shani kiw kiw" goda Gracia lagi. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku guna menyembunyikan wajahku yang sepertinya memerah. "Udah baikan ya?" tanya Gracia. "Alhamdulillah. Makasih ya Gracia. Ehm,.. Gracias. Hehe" balas Adrian. "Sama-sama kak. Ci Shani jangan lupa janjinya ya. Oh iya mau balik kapan?" tanya Gracia. "Ngusir nih?" kata Adrian. "Bukan gitu, kak Ads. Kan mendingan cepet-cepet balik trus lanjutin yang tadi, daripada kentang kan" kata Gracia. "Graciaaaa!! Iihhhh" kataku menahan malu. "Terserah Shani sih. Mau langsung balik?" tanya Adrian padaku. "Iya deh, langsung balik aja. Daripada disini, ada penggangu!" kataku menyindir Gracia dan melotot ke arahnya. "Cia~, gak sabaran nih. Ngebet banget kayaknya" kata Gracia yang masih saja menggodaku. "Udah udah. Jangan digodain terus Shani nya, muka nya udah merah banget lho dia" kata Adrian membela Shani. "Ihiw, dibelain nih ya" kata Gracia lagi. "Udah udah. Shan beres-beres dulu gih" kata Adrian padaku. "Gak usah, ci Shani udah beberes daritadi kok. Dia yakin banget kalo hari ini bakalan dijemput sama kakak" kata Gracia. "Oh ya?" tanya Adrian. "Iya kak, ci Shani juga-" "Udah-udah ayok pulang. Gre makasih ya. Aku pamit dulu" kataku memotong perkataan Gracia lalu mendorong Adrian dari belakang. "Ya udah, hati-hati ya. Awet-awet. Ditunggu undangannya" kata Gracia pada kami. Aku mendorong Adrian dari belakang untuk keluar dari rumah Gracia, tapi Gracia tiba-tiba mencolekku dan berkata,.. "Barang-barangnya mau ditinggal, ci? Kan masih ada dikamar aku" "Eh, oh. Y-ya udah, aku ambil dulu" kataku lalu berjalan menaiki tangga. "Jangan ngomong macem-macem ya, Gre" ancamku pada Gracia. . . . Horee!! Akhirnya aku bisa serumah lagi sama Adrian. Oke, sekarang cepet-cepet ambil barang terus kedepan lagi sebelum Gracia ngomong 'aneh-aneh' sama Adrian. Duh, sekarang malah aku sebut terus namanya. Tapi, perasaan aku sekarang kok tiba-tiba jadi enggak enak ya? Apa Adrian masih nyembunyiin sesuatu? Atau jangan-jangan,.. Gracia,... Aku langsung buru-buru menuruni tangga, aku lihat pemandangan yang bikin aku cemburu. Adrian dan Gracia liat-liatan Iya, cuma liat-liatan. Tapi itu aja udah bikin aku cemburu. "E'hem" . . . . . . . . POV Adrian Hey, hey, hey! Balik lagi ke sudut pandangku Adrian si jagoan kalian semua... Hahaha,... Sebelum membaca tulisan dibawah, aku peringatkan dulu kepada kalian semua karena,.. Dibawah ini adalah cerita tentang kemesraanku dengan Shani setelah kami kembali bersama. Mau pamer aja ya kan. Jangan iri ya, jangan iri ya. Tapi sebelum itu,.. Shani nya malah sempat,... Ah udah lah, langsung mulai,... . . . . . . . . Shani mendorongku dari belakang untuk keluar dari rumah Gracia, tapi dia menghentikan dorongannya setelah Gracia berkata,.. "Barang-barangnya mau ditinggal, ci? Kan masih ada dikamar aku" "Eh, oh. Y-ya udah, aku ambil dulu" kata Shani seperti salah tingkah lalu berjalan menaiki tangga. "Jangan ngomong macem-macem ya, Gre" ancam Shani pada Gracia. Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka berdua, tapi sesaat kemudian aku merasakan hal yang aneh. "Ada apa?" tanyaku yang menyadari sedang ditatap Gracia. "Gak. Gapapa" jawabnya datar lalu memandang ke arah lain. Aku bisa melihat sesuatu di sudut matanya, seperti ada yang sedang dia sembunyikan. Tak lama, Gracia kembali menatapku. Kami saling menatap satu sama lain selama beberapa saat sampai,.. "E'hem" Suara Shani menyadarkan kami. "Eh, Shan. Udah ngambil barangnya?" tanyaku basa basi. "Kamu baru beberapa menit tadi minta maaf, sekarang udah mau selingkuh lagi? Sama sahabat aku sendiri?" kata Shani sewot. "Eh, enggak, Shan. Tadi aku cuma-" "Iya, ci. Tadi aku digombalin, dirayu-rayu gitu" kata Gracia memotong perkataanku sambil memeluk tubuhnya sendiri seakan berusaha melindungi dirinya. Nih, anak kenapa sih?, pikirku. Aku melihat ke arah Shani, dia melipat tangannya kedepan dan memasang ekspresi marah yang membuatku semakin gemas. "Shan, aku gak-" "Bercanda kok, ci" potong Gracia lagi. Nih anak kayaknya hobi motong omongan orang ya, udah kayak si penulis aja. Jodoh kali ya. (AMIN) Lah, dia nyahutin lagi. "Kak Adrian barusan gak gombalin aku kok, tapi tadi waktu baru dateng. Hehehe" kata Gracia lagi sambil tertawa. . . . . . . . "H-helm nya, Shan" kataku sambil menyerahkan helm pada Shani. Shani memandangku sinis. Seperti curiga akan sesuatu. "Kamu kenapa, Shan?" tanyaku. Shani tidak menjawabku dan hanya mengambil helm di tanganku. "Masa kamu marah lagi? Gracia tadi cuma bercanda doang. Kayak kamu gak kenal dia aja" Shani masih diam. "Shan" panggilku. "Apa sebenernya yang kamu sembunyiin?" tanyanya tiba-tiba. "Hah?" "Kamu belum jujur sepenuhnya kan. Kenapa gak mau jujur aja dari awal? Kenapa kamu harus bohong? Buat ngelindungin siapa? Thacil? Stefi? Kak Shania? Okta? Manda? Atau jangan-jangan,.. diri kamu sen-" "Kamu" potongku. "Kamu alasan aku bohong. Aku ngerasa gak pantes buat kamu, Shan. Maksud aku,.. liat kamu" kataku sambil menggerakkan tanganku menunjuknya. Shani hanya terdiam. "Kamu sempurna, Shan" "Eh?!" "Sedangkan aku apa?" tanyaku. "Tapi,.." "Dan alasan terbesarnya adalah,.. aku gak mau bikin kamu kecewa, Shan" "Kamu ngelakuin itu buat aku?" "Aku gak mau bikin kamu kecewa dengan ngerusak impian kamu. Cowok idaman kamu sejak kecil, sosok 'pangeran berkuda putih' impian kamu, sebenernya cuma seorang ba-" "Stop!" potongnya. "Kamu gak kayak gitu. Kamu,.. kamu lebih baik daripada itu" tambahnya. "Shan,.." "Maaf, aku,... Aku gak langsung sadar sama hal sepele kayak gitu. Sebenarnya tadi aku gak marah sama kamu. Karna aku gak bisa. Aku gak mau. Beberapa hari terakhir ini nyiksa banget buat aku karna harus terpaksa marah sama kamu" lanjutnya. Jadi,.. sebenarnya bukan cuma aku yang merasa tersiksa dan terpuruk selama 2 hari ini. Shani juga? "Kamu tadi gak mau ngomong alasan kamu yang sebenernya karna takut buat aku jadi merasa bersalah juga kan" Aku hanya mengangguk. "Tapi cara kamu itu-" "Salah. Memang. Karna jauh dari lubuk hati aku yang terdalam, alasan sebenarnya adalah aku yang gak mau kehilangan kamu" Shani kemudian maju dan memelukku lagi. Erat. Lebih erat dari yang tadi. Tapi kali ini aku tidak ingin dia melepaskannya, kali ini aku juga ikut membalas pelukannya dengan tak kalah erat. "Cek cek e'hem" Suara ini,.. Aku dan Shani reflek langsung melepaskan pelukan kami. Disamping pagar ada Gracia yang sedang berkacak pinggang. "Mau sampe kapan mesra-mesraan di depan rumah orang?" . . . . . . . "Mas" Shani memanggil ku dari belakang saat aku membonceng nya dalam perjalanan pulang dari rumahnya Gracia dan sekarang kami sedang berhenti karna lampu lalu lintas sedang merah. Aku sengaja tidak menjawabnya dan lebih memilih untuk melihat keadaan sekitar. "Maass!" panggilnya lagi. "I-iya, Shan. Apa, Shan?" jawabku akhirnya sebelum dia benar-benar marah karena sikap 'cuek' ku tadi. "Kamu ngapain sih? Daritadi celingukan gak jelas, lagi nyari apa sih?" tanyanya. "Itu, aku cuma liat, kira-kira ada polisi gak. Aku takut ditilang soalnya" balasku. "Kenapa takut? Kita kan pake helm, trus gak ada yang salah juga di motor kamu. Atau,... Kamu gak bawa surat-surat?" "Bawa kok" "Trus? Kenapa takut?" "Aku takut soalnya, kita lagi boncengan bertiga, aku, kamu, dan cinta" jawabku. "Apa sih. Malah gombal" "Hehehe" "Ngomong-ngomong, kamu belum mandi ya" kata Shani. "Eh. I-iya. Bau ya?" tanyaku. "Gak sih cuma tadi waktu kita..." katanya menggantung. "Waktu kita?" tanyaku. "Itu,.. apa,... kayaknya jumlah parfum yang kamu pake lebih banyak dari biasanya" kata Shani. Jadi itu alasannya. "Jadi,.. kamu bukan lagi marah kan" tanyaku. "Marah? Kenapa aku harus marah? Kan kita udah baikan" tanyanya balik. "Ya,... Habisnya,.. Kamu gak mau pegangan sama aku, takutnya kamu masih marah gara-gara tadi" kataku lagi. "Enggak. Aku gak marah kok" jawabnya. "Kalo gak marah, kok gak pegangan aku?" tanyaku lagi. "Gamau, ah. Kamu belum mandi" jawabnya dengan suara lucu. "Bau!" ledeknya. "Kalo udah mandi, mau?" . . . . . . . "Mandi yuk!" kataku begitu kami masuk dalam rumah. Shani langsung memasang wajah kaget kemudian secara tiba-tiba menjewer telingaku. "Aduh duh, Shan. Maaf. Maksud aku bukan gitu, maksudnya mandinya sendiri-sendiri, Shan. Tempatnya beda, kamar mandinya beda. Waktunya aja yang barengan" kataku. "Ooohh" jawab Shani singkat. Tapi ini kok tangannya masih jewer telinga aja ya. "Iya, kamu juga belum mandi kan" kataku lagi. "Emang aku kelihatan belum mandi ya?" tanyanya sambil menjewer telingaku lebih keras lagi. "Tetep cantik kok, Shan. Sempurna" pujiku. "Kamu sempurna Shani" kataku reflek. "Ish, apa sih" balasnya lalu melepaskan jewerannya. Aku memegangi telingaku yang baru saja selesai dijewer Shani. "Ini rumah, kamu apain aja selama aku gak ada?" Hah? Maksudnya apa? "Gak aku apa-apain kok" jawabku jujur. Tiba-tiba Shani kembali menjewer ku lagi. "Gak kamu bersihin?" tanyanya. "E-engak" jawabku. Shani melepaskan jewerannya kemudian berkata,.. "Sekarang kamu bersihin. Aku mau mandi dulu" perintahnya. "Kamu jangan coba-coba buat-" "Ya udah iya. Mandi sana" kataku sambil memutar tubuhnya dan mendorongnya. "Bau!" ledekku. . . . . . . . Duh, Shani kalo mandi lama ya,.. Aku sudah menyapu rumah, sudah mandi juga. Tapi dia belum selesai juga mandinya. Ngapain aja sih di kamar mandi. (Kalo pengen tau, ya intipin sana) MATAMU! "Jadi ini kita?" tanya Shani yang tiba-tiba muncul saat sudah selesai mandi dan berganti baju. "Adriaaann!! Udah dibilangin berapa kali, jangan tiduran di sofa posisi kebalik gitu" bentak Shani yang melihat posisiku saat ini. "Jadi dong. Yuk!" balasku yang langsung berdiri dan berjalan keluar. . . . . . . . "Belanja apa aja?" tanya Shani di tengah perjalanan menuju supermarket. "Aku udah bikin daftarnya sih. Nih" jawabku dengan tanpa melihat ke arahnya dan menyerahkan Hp-ku. "Kamu periksa, kalo sekiranya ada yang kurang. Aku lupa mungkin, kamu tulis aja" lanjutku. Ya, aku dan Shani berencana untuk belanja bulanan setelah kami selesai mandi. "Eh, ini kok yang paling atas 'garem'?" tanyanya. "Ya, mau gimana lagi, Shan. Tadi waktu aku periksa tempat garem, kosong. Habis. Bersih. Gak ada sisanya sama sekali" jawabku tanpa menoleh ke arahnya. Padahal terakhir kuingat masih ada sekitar 2 sendok makan. Itu artinya, garam yang tersisa tersebut dimasukkan semuanya ke dalam mangkok ku. Aku saja sedikit bergidik ngeri membayangkan sup yang aku makan waktu itu berisi garam sebanyak itu. "Kamu habisin semua buat bikin sup ya?" tanyaku. "Tapi kamu suka kan. Buktinya kamu habisin" kata Shani. "Kan kamu suruh" jawabku polos dan tetap melihat kearah jalan. "Tapi,.. aku gak nyangka lho kamu bakal beneran habisin semua" kata Shani. "Itu artinya..." imbuh Shani menggantung. "Artinya?" tanyaku sedikit melirik ke arahnya. "Artinya kamu bohong, gak mungkin sup itu rasanya enak. Dasar pembohong!" kata Shani sambil menunjukku. "Lah kok-" "Hihi, bercanda. Tapi kamu gapapa kan? Gak sakit gara-gara makan sup itu?" tanyanya khawatir. (Duh, dikhawatirin Shani. Melayang hati ini) "Ya, kenapa-kenapa lah. Kamu pikir kenapa aku gak langsung ngejar kamu waktu kamu pergi naik gojek waktu itu? Perutku tiba-tiba sakit" kataku. "Duh, maaf ya. Sekarang masih sakit?" tanyanya lagi. "Udah enggak kok. Lagian itu bukan salah kamu, aku yang masukin sambel kebanyakan" balasku. "Ya udah, yuk! Udah sampe nih" kataku mengajaknya keluar mobil. Iya, mobil. Harus pake mobil dong. Kan nanti belanjaannya banyak. . . . . . Saat kami berjalan berdampingan, Shani berkali-kali berusaha menyenggol bahuku. Memberi kode. "Kenapa sih, Shan?" tanyaku pura-pura tidak mengerti. Shani tidak menjawabnya, hanya melirik ke arahku, lalu beralih melirik kebawah, kembali melirik ke arahku, lalu kembali melirik kebawah. Gitu aja terus, Shan. Sampe koruptor di Indonesia dihukum mati, batinku. Aku langsung menggandeng tangannya dan menyelipkan jari-jariku diantaranya jari-jarinya. "Mau gini kan" kataku sambil mengangkat tanganku yang menggandeng tangannya. Menunjukkan padanya bagaimana aku menggandengnya. Shani hanya tersenyum dan mengangguk. "Bilang dong. Jangan diem aja" kataku lagi. "Malu tau" balasnya sambil menunduk malu. "Pengen banget ya digandeng?" tanyaku. "Habisnya nanti waktu pulang kan gak bisa gandengan, kan bawa belanjaan" jawabnya sambil tersenyum. Duh, diabetes lama-lama kalo disenyumin Shani terus. . . . "Eh, kamu jangan jauh-jauh ya" kata Shani tiba-tiba saat aku sedang mendorong troli. "Kenapa?" tanyaku balik. "Nanti kamu ilang lagi. Mama Dian pernah cerita kalo dulu kamu pernah ilang di mall" jawabnya. "Eh! Itu kan waktu kecil, Shan" "Ya tapi, kamu ilangnya itu sering" Wah, gak ngerti ternyata dia, batinku. "Itu strategi, Shan" balasku. "Strategi?" tanyanya bingung. "Ya, biar dibeliin permen sama mbak-mbak bagian informasi nya. Kalo beruntung sih, kadang dibeliin coklat juga" jawabku sambil tersenyum. Itu namanya memanfaatkan 'anugrah' yang diberikan sejak kecil. Mana ada orang yang tega jika melihat anak kecil yang lugu, polos, imut, dan lucu menangis karena terpisah dari orang tuanya di mall.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD