Akhirnya, perjalanan kami malam itu dimulai. Vincent menyetir mobilnya tanpa bicara apa pun. Pria itu bahkan dia tidak melihatku lagi sampai detik ini. Aku pun tidak berusaha mengajaknya bicara. Aku tak tahu apa yang membuatnya merasa berhak untuk mengerutkan alis seperti itu setelah semua usahaku untuk berdandan cantik demi mendampinginya di pesta. Mungkin dia marah karena aku berdandan terlalu lama, tapi kalau begitu, aku juga berhak marah karena Vincentio sama sekali tidak bereaksi saat melihat penampilan terbaikku setelah aku menggunakan semua mekap dan outfit yang paling kubanggakan. Pria itu hanya sedikit membelalakkan mata saat melihatku turun dari tangga dengan balutan gaun pesta berwarna perpaduan krem dihiasi kain sutra rose gold dengan potongan melambai dari pundakku, jatuh hingga ke sekitar betis. Vincentio juga harusnya menyadari detail indah sepatuku yang menghiasi kakiku ini. Platform stiletto milik kakak perempuanku dulu. Vincentio juga pasti tidak tahu betapa pegalnya kedua tanganku menata rambutku sedemikian rupa hingga hampir setengah jam.
Aku berdandan dengan harapan aku bisa membuat rahangnya jatuh ke tanah dan mengelukan kedatanganku dengan puji-pujian. Malahan, yang kudapati adalah—lagi-lagi—wajah khawatir dan alis yang tertaut. Juga silent treatment yang menyenangkan. Luar biasa, Vincentio!
Kupikir, aku tidak perlu berlama-lama dalam situasi canggung di dalam mobil ini. Tapi ternyata, Vin menyetir cukup jauh. Aku tidak menduga ini akan menjadi perjalanan yang lebih jauh daripada yang kukira. Sudah lebih dari lima belas menit sejak keberangkatan kami dari Piacenza dan tidak ada tanda-tanda Vin akan berhenti dalam waktu dekat.
“Kita hampir sampai,” ucap Vincentio dengan tenang tiba-tiba memecah keheningan di antara kami.
Dari rambu terakhir yang k****a, kami sampai di kota kecil, Rivergaro. Kota yang sangat indah dan tentram. Aku tidak pernah tau ada perumahan mewah yang berada di pinggir kota ini, seakan perumahan ini dibuat oleh bangsa Romawi atau Celtic yang dulu pernah tinggal di sini dan diwariskan sebagai tempat peristirahatan para konglomerat untuk menjauhi bisingnya kota besar dengan kerumunan para karyawan mereka. Mulai dari tatanan taman-taman bermain hingga hiasan lampu akan membuatmu merasa memasuki area istana pangeran Adam, pangeran beast dalam Beauty and The Beast itu.
Well, bisa kita bayangkan aku adalah Belle dan ... oh! Ceritanya memiliki plot twist yang baru. Pangeran Adam sedang menyetiriku ke istana. Kumohon, Tuhan! Berhenti membuat fantasi liar di benakku. Aku sudah muak dengan isi kepalaku sendiri.
Berbeda denganku yang melongo sambil berkhayal ke mana-mana setelah memandang pemandangan indah di luar sana, Vincentio dengan sikap tetap tenang, terus menyetir, seakan sudah terbiasa dengan pemandangan ini, Vin terus mengendarai mobilnya hingga rumah-rumah—atau kita sebut istana itu, semakin jarang ditemui dan semakin banyak tanah lapang kosong di kiri-kanan kami. Tanah lapang yang sangat terawat dan jalan lurus.
“Tolong jangan katakan kalau kita baru saja melakukan perjalanan waktu ke zaman Renaissance?” kataku membuka pembicaraan setelah bosan melihat lapangan kosong di kedua sisi kami. Tentu, bayangan rumah-rumah mewah dari zaman pertengahan yang beberapa waktu lalu kami lewati sama sekali tidak bisa lepas begitu saja dari ingatanku. “Kau tidak terlihat terpukau dengan bangunan rumah-rumah itu, Vin. Kau biasanya adalah orang pertama yang akan mengomentari bangunan-bangunan. Kau adalah maniak arsitektur. Jadi, katakan apa yang sedang terjadi padamu.”
Aku ingin mendengar suaranya. Vin tertawa kecil dan menggeleng. Seakan aku baru saja menanyakan pertanyaan konyol padanya.
”Maniak arsitektur … aku tidak yakin kau sedang memujiku atau apa, Simca. Tapi percayalah, aku lebih dari menganga lebar daripada kau saat pertama kali melihat bangunan-bangunan itu. Aku berkomentar terlalu banyak. Dan aku tidak bercanda saat aku bilang terlalu banyak. Beruntung, temanku cukup sabar untuk bisa mendengarkan ocehanku,” katanya lembut tanpa kehilangan senyuman tenangnya itu. “Aku hanya sudah terbiasa. Tapi kau tahu, itu tadi memang mengagumkan,” komentar pendek lainnya dari si Maniak Arsitektur. Mata Vincentio akan bercahaya seperti anak kecil yang sedang membicarakan impiannya di masa depan. Begitu berseri-seri dan mengagumkan. Oh, Vincentio ....
Jadi … kapan adegan Belle mencium Pangeran Adam?
Hentikan, Simca! Kau tidak seharusnya menjadikan sahabat terbaikmu sebagai sasaran khayalanmu yang paling gila. Itu sangat salah!
“Vincent, apa kau berniat untuk menculikku? Rumahnya semakin habis. Kau bermaksud membawaku ke mana? Lihat, tinggal tanah-tanah kosong di mana pun mata melihat. Aku tidak yakin ada yang sedang mengadakan pesta di tanah kosong seperti ini.” Menyadari sesuatu yang penting, aku menoleh cepat pada Vincentio. “Tunggu! Jangan bilang kalau pestanya di luar ruangan?!”
“Oh, bukan begitu. Pestanya jelas di dalam ruangan, invitation only. Dan ini bukan tanah kosong, Simca. Tanah sebelah kirimu itu lapangan golf milik temanku. Kau akan bisa melihatnya dengan jelas di pagi hari bahwa itu bukan sekadar hamparan tanah yang ditumbuhi rumput liar. Sedangkan sebelah kananku ini lapangan panahan atau lapangan tembak pribadinya,” ucap Vincentio dengan santai sambil tetap tersenyum lembut, seakan yang dia katakan itu bukan hal besar. “Kau tidak perlu khawatir. Kita sudah memasuki area kediamannya. Ini sudah dekat dengan rumah utamanya.”
“Kau pasti bercanda!”
Aku tidak merasa perlu untuk menunjukkan keterkejutanku! Penjelasan itu sama sekali tidak masuk akal. Lapangan tembak, panahan, dan bahkan golf pribadi? Memangnya dia salah satu dari klan Rothschild, atau apa?! Entah sudah berapa lama aku melotot pada apa yang kulihat di luar jendela, lalu pada Vincentio saking tak percayanya. Sedangkan Vincentio hanya meluangkan sedikit waktu untuk sekadar melirikku, lalu tertawa kecil dan kembali menyetir dengan tenang.
“Aku serius. Kalau kita belok ke kanan di pertigaan di depan sana, kita akan sampai di lapangan berkuda miliknya—“
“Kau bisa berhenti menjelaskan seluruh aset milik temanmu ini, Vin. Itu mengerikan. Kau seperti sedang membawaku ke dunia yang berbeda dengan dunia kita.”
Tak seperti yang kuduga sebelumnya, Vin tidak tertawa mendengar candaanku. Sekali lagi aku melihat beberapa kerutan tipis di antara alisnya. Samar sekali. Vin bahkan menutupinya dengan senyuman.
“Simca.”
“Ya?”
“Aku sama sekali tidak keberatan kau ikut di pesta ini. Malahan, sejujurnya, aku merasa senang kau memaksa untuk ikut dan menemaniku. Tapi … bisakah kau berjanji satu hal padaku?”
“Aku tahu kau akan senang jika aku menemanimu, Sobat. Aku heran, kenapa juga kau sempat bersikeras untuk tidak mengajakku di pesta ini. Jadi, apa yang kauinginkan dariku?”
Satu, dua detik kami lewati dalam diam.
“Berjanjilah untuk tidak melibatkan diri dengan temanku yang sedang kita bicarakan ini.”
Apa … aku tidak salah dengar?
Aku tidak memiliki apa pun untuk bisa kuungkapkan, jadi aku diam, dengan sabar menunggu penjelasan darinya.
“Nanti, di pesta itu, kau tidak boleh berdekatan dengannya. Bicara seperlunya saja. Kau hanya boleh memperkenalkan dirimu sebagai Simca saja jika ada orang yang bertanya. Sama sekali tidak perlu memperkenalkan diri dengan lengkap kepada siapa pun di sana. Aku pun akan memperkenalkanmu begitu. Jika kau terpaksa harus bicara dengan temanku ini, jangan tanyakan apa-apa padanya. Kau hanya kuizinkan untuk memberikan ucapan selamat ulang tahun padanya—“
“Selamat ulang tahun?! Jadi ini adalah pesta perayaan ulang tahun?”
“Apa aku belum mengatakannya padamu sebelum ini? Maaf, mungkin aku melupakannya. Yang terpenting, kau sangat dilarang untuk mempertanyakan pekerjaannya. Dan aku tidak ingin mendengar debat darimu tentang ini. Ini sudah keputusan akhirku. Jika kau keberatan atau ingin bertanya kenapa, aku terpaksa harus memulangkanmu sekarang juga.”
Setelah sampai di sini? Bercanda pun ada batasannya. Sayangnya, aku tahu, Vincentio sama sekali tidak sedang bercanda.
“Oke. Anggap kita sudah punya kesepakatan. Aku tidak akan bertanya apa-apa lagi.”
Terlihat puas dengan jawabanku, Vincentio mengangguk mantap sementara matanya yang tajam masih menatap lurus ke depan.
“Hal paling terpenting kedua adalah apa pun yang terjadi, usahakan tetap bersamaku.”
“Ya, baiklah jika kau begitu takut kehilanganku. Aku akan tetap bersamamu,” jawabku secara refleks begitu saja tanpa perhitungan sebelumnya.
Kalimat itu jelas kuucapkan dengan nada bercanda. Kuharap Vincentio diam-diam memahami bahwa aku serius memaknai tiap perkataanku. Vincent tertawa mendengar jawabanku yang menggodanya, namun dia tidak menjawab apa pun. Hanya sedikit manggut-manggut. Setidaknya, kerutan di antara alisnya sudah hilang. Sikapnya juga menjadi lebih rileks daripada sebelumnya.
“Lihat bangunan itu! Kita sudah sampai, Simca.”
Aku tidak yakin bangunan apa yang dimaksud Vincentio. Tapi satu-satunya bangunan yang ada di depan kami adalah sebuah rumah mewah … apa itu di sebut mansion? Lebih terlihat seperti istana. Istana megah dengan bangunan seperti kuil dewa-dewa besar di Athena. Siapa manusia normal di era modern ini yang bisa tinggal di kuil mewah seperti itu? Apa mereka memiliki lubang aliran listrik untuk men-charge ponsel. Tapi sepertinya mereka punya. Lihat saja lampu-lampu yang mengitari bangunan itu tertata begitu rapi dan sempurna.
“Vin,” panggilku saat mobil kami sudah dekat sekali dengan bangunan megah di tempat terpencil ini.
“Katakan saja, Simca.”
“Satu hal saja. Aku tidak yakin ingin menanyakannya ke siapa pun di dalam gedung itu dan aku sudah berjanji untuk menjaga mulut sialanku ini. Jadi izinkan aku bertanya satu hal saja.”
“Hmmm …,” ucap Vincentio sekenanya dengan pandangan mata yang berkelana ke beberapa mobil yang antre untuk valet. “Baiklah, tapi aku tidak berjanji untuk menjawabnya.”
“Layak untuk dicoba, kalau begitu.” Aku menghela napas dan mengembuskannya cepat. Kemudian menoleh pada Vin yang juga sedang mengamatiku. “Katakan padaku, berapa umur temanmu itu.”
“Tiga puluh tahun.”
“Demi Tuhan, kita akan memenuhi undangan dari seorang pria dewasa dalam acara pesta ulang tahun yang paling mewah abad ini. Sekarang, katakan padaku, apa pekerjaannya.”
“Itu tidak menjadi satu pertanyaan, Simca. Dan aku kecewa kau meremehkanku.” Vincentio bergerak mendekat dan berbisik kecil, “Kita sudah punya kesepakatan beberapa menit lalu, dan sayangnya aku memiliki ingatan yang cukup baik untuk mengingatnya.” Vincentio menutup pembicaraan kami dengan senyum menawan dan sebuah kerlingan yang sama sekali tidak dibutuhkan.
Fokus, Simca! Kau memiliki misi dalam pesta ini. Bersenang-senang, karena kau layak untuk bersenang-senang setelah bekerja seperti b***k. Dan hanya itu. Kau tidak akan membuat masalah. Ya, kan? Aku harap begitu. Masa bodoh dengan teman Vincentio, si bapak-bapak berumur tiga puluh dan masih membuat acara perayaan untuk ulang tahunnya seperti ini, yang terpenting adalah kau dan dirimu sendiri, Simca. Bersenang-senanglah malam ini! Toh, kau membawa jimat keberuntungan paling manjur abad ini.
Bianca, tolong sihir malam ini menjadi malam yang paling berkesan dalam hidupku![]