Chapter 02

1649 Words
     "Ya, menangislah Simca sayang, kau barusan telah membunuh kakak perempuanmu."     "Tidak. Aku tidak melakukan hal yang buruk pada wanita itu."     "Kau benar, kau tidak melakukan sesuatu yang buruk, tapi kata-katamu yang membunuhnya."     "TIDAK!!"     Seperti terpental dari rebahanku, aku terbangun dari tidurku. Perasaan buruk campur aduk dalam kepalaku. Aku bisa merasakan napasku tersengal-sengal dan dadaku terasa begitu sesak. Keringat dingin memenuhi sekujur tubuhku hingga membasahi sprei di bawahku. Ingatan buruk itu datang lagi. Apa aku tidak meminum obat penenangku tadi sore? Semakin lama, semakin sulit bagiku untuk menghentikan tremor di jemariku. Aku mengepalkannya erat, menyimpannya di dadaku dan menunduk, menekan dadaku kuat-kuat. Berhenti berdebar-debar. Kumohon, rasanya sesak sekali.      'Apa kau merasakan sakit lagi, Simca?'     Ya. Tolong aku, kumohon.     'Baiklah, mari tutup matamu. Aku akan menggunakan sihirku untuk meringankan rasa sakitnya. Kau tidak boleh membuka mata, oke?'     Aku sangat merindukanmu. Sangat amat.     "Bianca ... Bianca ...."      Aku tahu, dengan hanya memanggil namanya berulang-ulang seperti itu, tidak akan membawanya kembali. Dia memang suka pergi ke sana kemari. Tapi ia sudah pergi terlalu  jauh. Ke tempat yang sama sekali tidak bisa kuraih. Air mataku sudah jatuh bercucuran tanpa bisa kutahan lagi. Padahal aku segera menyekanya begitu mereka turun dari pelupuk mata, tapi air mata sialan yang keras kepala itu terus turun. Menyerah saja, aku menangis sejadi-jadinya. Apa salahnya memang menangis? Yang salah adalah jika aku menangis terlalu keras dan membuat kedua orang tuaku tahu apa yang sedang kulakukan. Itu akan jadi masalah yang berkelanjutan.      Oke, kau sudah besar, Simca. Jangan biarkan emosi menguasai dirimu lagi seperti yang sudah-sudah. Dengan teratur menarik dan menghela napas dalam posisi meringkuk seperti ini juga tidak efektif. Tapi aku belum ingin menunjukkan wajahku pada kaca di meja rias sialan yang menghadapku. Seseorang di pantulan kaca itu akan menertawakanku karena lagi-lagi menangis seperti ini. Baiklah, setelah ini aku akan minum obat penenang dan tidur. Lalu semuanya akan baik-baik saja. Kutundukkan kepalaku dan kutekuk kakiku hingga keduanya bertemu di depan d**a. Aku ingin menggali lubang besar dan meringkuk bersembunyi di dalam sana sampai besok pagi. Ide yang sangat bagus. Jika memang reinkarnasi itu ada, aku ingin menjadi tikus tanah. Terbaik.     Tunggu. Rasanya ada yang kulewatkan.     Tiba-tiba pintuku terbuka dengan santai, tanpa diketuk. Aku sudah bermaksud untuk menyembunyikan diriku di bawah selimut sampai aku melihat siapa yang datang.     Vincentio yang Agung.     Oh, tidak. Aku sama sekali lupa aku sudah memaksanya untuk datang. Dia akan benar-benar membunuhku jika aku bilang padanya untuk pulang saja malam ini.     "Demi Tuhan, Simca ... apa yang terjadi padamu?" tanyanya sambil berjalan dengan cepat ke arahku. Ia meletakkan nampan berisi s**u dan cemilan di meja tak jauh dari ranjangku, kemudian dengan wajah khawatir dan kerutan dahi yang dalam khasnya, Vincentio duduk di depanku dan mengusap air mataku cepat. "Beberapa menit lalu, kau tertidur seperti bayi yang sedang kekenyangan. Sekarang lihatlah dirimu. Padahal aku hanya pergi sebentar untuk mengambil susu."     "Setelah ini aku akan minum obat, aku tidak akan minum susu."     "Obat? Oh, tentu. Anti-depresan itu. Di mana kau menyimpannya? Aku akan ambilkan."     "Aku bilang setelah ini."     Vincentio mengamati mataku yang aku tahu, pasti terlihat seperti kue bolu yang baru saja matang. Kedua mata hitam legamnya itu tidak membiarkan aku melihat apa yang sedang dipikirkannya seperti biasa, tapi ia kelihatan khawatir. Aku ... cukup senang dengan perasaan itu. Meski itu hanya karena aku adalah sahabatnya saja.     "Jadi," ucap Vincentio sambil membetulkan posisi duduknya menghadapku, lalu meneruskan kalimatnya, "kau bisa membicarakannya denganku. Tentu, kau juga bisa mengusirku pulang."     "Tahukah kau, saat aku melihatmu masuk tadi, aku benar-benar bermaksud untuk mengusirmu?"     Pria itu tertawa dan menggeleng, lalu mengangguk lemah tanpa kehilangan senyum yang memukau miliknya yang berharga. "Aku tahu."     "Tapi kau tetap di sini dengan penuh percaya diri. Dan jika pun aku mengusirmu. Kau tidak akan pulang, bukan?"     Mencebik kecil gerakan mengangkat bahu, begitu santai. Vin terlihat seperti sedang mengejekku dengan gerakan bibir yang tidak bisa kusentuh itu. "Pestanya akan dimulai satu jam lagi." Pria itu menatap kedua mataku bergantian. "Kau memang cantik, Simca. Tapi itu tidak berarti kau berhak menangis tepat sebelum pesta. Matamu itu akan membuat seluruh undangan bertanya-tanya apa yang sudah kulakukan padamu."     "Oh, bagus. Terima kasih atas peringatannya. Aku akan mulai mengarang cerita dengan skenario yang paling buruk untuk mencemarkan nama baikmu."     Lalu kami tertawa. Lucky charm, mungkin ... Ibu benar. Vin adalah jimat keberuntungan yang manjur. Dan aku cukup beruntung untuk berada di sekitarnya, meski tidak bisa memiliki senyum indah itu.     "Baiklah." VIncentio berdiri, membetulkan jasnya dan tersenyum. "Aku akan menunggu di luar sementara kau bersiap-siap."     "Apa? Tunggu!"     Tanpa kusadari, sebelah tanganku meraihnya. Aku menatap tanganku yang sudah mengcengkram ujung potongan jas Vincentio. Dasar tangan tidak tahu diri! Harusnya kau bisa koordinasi dulu denganku! Bukannya bertingkah sesukamu sendiri seperti itu. Tapi ... baiklah, terima kasih padamu. Aku tidak kehilangan Vin.     "Bukankah ...." Apa aku benar-benar akan merengek? Tapi aku tidak tahu apa lagi yang harus kukatakan untuk membuatnya tinggal. "Bukankah katamu kau akan mendengarkanku?"     Seakan Vincentio sudah menduga apa yang sedang kulakukan, Vin segera saja kembali duduk. Ia sama sekali tidak terlihat terbebani. Dengan sentuhan hangat dan lembut, pria itu mengusap kepalaku dan diam. Menungguku bicara. Oh, tidak. Aku sensitif dengan kebaikan hati seseorang yang sampai seperti ini. Karena tidak semua orang akan memberiku begitu banyak perhatian setelah tahu apa yang sudah terjadi padaku. Mereka biasanya akan menjauh dan memandangku dengan aneh. Tidak seperti Vincentio. Tidak pernah ada yang seperti Vincentio.     "Vincent ... aku melihat ... Bianca ... tadi. Di mimpiku."      Vincentio terlihat terkejut dengan apa yang kukatakan. Permasalahan ini sudah lama sekali tidak kubicarakan padanya. Kupikir aku sudah baik-baik saja. Tapi nyata, kematian Bianca masih menghantuiku.     "Apa itu adalah mimpi yang indah?"     "Kuharap aku pernah memimpikan sesuatu yang indah bersama Bianca."     Kemudian keheningan menggantung di udara. Dari sudut mataku, kulihat Vincentio beberapa kali membuka bibirnya hanya untuk menutupnya lagi. Dia menghentikan apa pun yang coba ia katakan.     "Simca."     "Ya?"     "Kau tahu, aku tahu. Bianca menyayangimu, lebih dari apa pun di muka bumi ini."     Aku tersenyum kecut. Kupikir juga begitu dulu, sampai aku tahu bahwa Bianca merelakan nyawanya untuk sesuatu yang lain.     "Aku sudah berjanji pada Bianca untuk selalu melindungimu, apa pun yang terjadi. Itu bukan berarti aku akan selalu bisa memecahkan segala permasalahanmu." Tapi kau selalu membantuku memecahkan segala permasalahanku. "Tapi aku akan selalu ada di sini, Simca. Aku akan selalu berada di pihakmu. Jangan menoleh ke belakang dan menangis seperti ini. Seperti kau sedang sendirian. Seperti kau tidak menganggapku ada."     "Oh, Vincentio."     Pelukan lain. Pelukan yang hangat dan bersahabat. Sebuah batas dari kontak fisik dalam persahabatan antara pria dan wanita. Aku melepaskannya. Akulah yang selalu melepaskan terlebih dahulu. Karena jika tidak, aku akan menarik Vincentio dalam dekapanku yang melewati batas persahabatan. Dan aku tidak akan sanggup menerima risikonya.     "Terima kasih, Vincentio."     Vincentio tersenyum, bahkan terkekeh kecil lalu mengataiku seperti anak lima tahun yang suka menangis dan tertawa semaunya sendiri. Biarlah dia menganggapku begitu. Toh, aku suka menangis dan tertawa tanpa alasan     "Apa kau ingin istirahat saja? Jarang-jarang kau bisa mendapatkan banyak waktu untuk istirahat begini, kan?" katanya sembari memberiku sebuah tonjokan kecil di pundakku. Dia pikir aku ini bro-nya, apa?! Melihat ekspresi tidak sukaku, dengan kikuk Vincent mengangkat tangannya untuk-sekali lagi- mengusap kepalaku seperti menenangkan anak umur lima tahun yang kehilangan mainan favoritnya. Ayolah, Good Boy. Memperlakukan aku dengan cara yang lebih romantis bukankah hal yang tidak sulit?     "Hei, Vin. Kau sudah datang sejak kapan, sekali lagi?" tanyaku sembari menata kembali ekspresi wajahku.     "Entah ... begitu aku datang, Ayah dan ibumu tidak membiarkanku melihat jam dan mengajakku ngobrol banyak. Begitu aku dipersilakan untuk memasuki ruanganmu, kau malah sedang tidur, seperti sama sekali melupakan perdebatan kita tadi."     "Koreksi. Aku membuatmu khawatir, Tuan. Bukan membuatmu jengkel."     Menyerah dengan perdebatan tidak berguna ini, Vincentio mengangkat bahunya sekali. "Baiklah ... Terserah saja apa pun itu. Apa kau sudah merasa lebih baik sekarang?" tanyanya dengan menggerakkan tangannya yang besar ke punggungku. Aku tahu dia sedang mengecek bajuku yang berkeringat, karena wajahnya langsung khawatir setelah memastikan warna kaosku memang menjadi lebih tua gara-gara basah oleh keringat.     "Baiklah, kau akan beristirahat sekarang. Hari ini kau tidak akan ke mana-mana, Tuan Putri." katanya dengan mengarahkan mata hitamnya yang indah dan menyejukkan itu tepat kedalam mataku. Sepertinya dia ingin membuatku lebih berkeringat?     "Vincent, aku ingin pergi ke pesta itu. Aku ingin bersenang-senang. Dan aku tidak akan bisa berpesta tanpa kamu kawal. Kamu tahu orang tuaku kan?"     "Iya, tapi kau--"     "Aku tidak apa-apa! Sungguh! Aku ingin pergi bersenang-senang. Ke pesta. Pesta sungguhan, bukan 'perayaan kecil-kecilan di rumah teman' atau 'tidak sampai mabuk di bar' seperti yang biasanya. Ayolah, temanmu itu tidak berpesta setiap hari, bukan? Aku ingin mencoba ortugo[1] atau malvasia[2] sambil berpesta seperti di negeri dongeng. Ini kesempatanku. Aku akan tetap pergi ... meski kau akan melarangku dengan perkataan bapak-bapak apa pun yang tidak berguna."  Aku menunjuk bibir Vincentio yang terbuka memesona, menganga, seperti tidak paham apa yang terjadi dalam kepalaku yang luar biasa ini. Gerakan jemariku yang berputar-putar di sekitar bibirnya dengan gerakan nakal, memmbuatnya bungkam seketika. Seperti biasa, aku yang menang. Vincentio akan selalu mengalah dan memanjakanku seperti biasa. Akhirnya, Vincentio melakukan selebarasi kekalahannya. Dia mengembuskan napas panjang, menurunkan bahu lebarnya yang tegang dan tersenyum lembut. "Waktumu untuk bersiap-siap hampir sama sekali tidak tersisa. Lihat, jam beker tuamu itu. Acaranya akan dimulai setengah jam lagi, kalau kau tidak mau terlambat." Setelah aku melihat jam bekerku, seketika itu juga aku beranjak dari ranjangku secara harfiah melompat dari sana. Vincent bukanlah tipe pria yang suka ingkar janji. Aku yakin dia sudah tiba di rumahku sejak sekitar satu jam lalu, dan berarti dia sudah menungguku selama itu. Dia bahkan tidak ngomel apa-apa tentang itu. Aku tahu ini memang tidak waktunya untuk memuja-muji kesempurnaan Vin, tapi bisakah dia berhenti menjadi sesempurna itu?! "Lima belas menit lagi aku akan siap." “Baiklah. Aku akan menunggumu di luar.” Pesta bersama Vincentio adalah sesuatu. Tunggu, lagi-lagi sepertinya ada hal penting yang kulewatkan. Pesta itu … pesta apa, tadi katanya?[] ***   [1] variasi wine putih yang anggurnya banyak tumbuh di Piacenza, Italia. [2] dessert wine yang terbuat dari anggur Malvasia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD