"Tidak, Sayang, aku tidak mau foto tanpa busana seperti ini! Apa kamu sudah tidak waras? Aku istrimu, Mas! Hanya lelaki tidak punya akal panjang yang meminta istrinya foto tanpa busana. Untuk apa? Mau diberikan pada siapa? Ada apa sebenarnya dengan kamu, Mas?" Luisa berteriak histeris sambil mencoba membungkus tubuhnya yang polos dengan seprei. Ya, mau tidak mau, ia harus gerak cepat untuk mencabut karet sudut seprei agar terlepas dan lain berwarna putih itu bisa menutupi tubuhnya.
"Luisa, sedikit saja! Ayolah, aku mohon sekali padamu, Sayang! Sini, berikan kain ini, aku janji nanti akan aku blur bagian penting." Edmun menarik ujung kain yang tersisa.
"Tidak! Jangan, Mas! Aku gak mau!" Luisa menahan seprei yang berhasil ia kenakan sembarangan di tubuhnya. Ponsel Edmun masih mengarah padanya. Tarik-menarik terus terjadi dengan is akan ketakutan Luisa. Sadar ini bukan saat yang tepat, Edmun pun mengalah. Pria itu terduduk di pinggir tempat tidur dengan kepala menunduk.
"Maafkan aku, Luisa! Kamu mandilah!" Titah Edmun dengan suara lemah tanpa menoleh ke arah istrinya yang masih sesegukan di belakangnya.
"Mas, kita akan cari jalan keluar bersama-sama, tetapi tidak begini. Tolong jangan melakukan hal mengerikan seperti tadi." Wanita itu menyentuh bahu suaminya. Lalu ia turun untuk masuk ke kamar mandi.
Edmun meremas rambutnya kasar. Satu sisi ia menyesal karena telah berbuat hal senekat ini pada wanita yang ia cintai, tetapi di sisi lain, ia harus melakukannya. Jika tidak, maka ia pun bisa dipenjara. Utang dua milyar dan belum bunganya yang hampir menyentuh angka tujuh ratus juta yang membuatnya tercekik seperti ini.
Kring! Kring!
Edmun menelan ludah saat melihat nama kontak pria yang menghubunginya. Lekas berjalan keluar kamar untuk mengangkat panggilan itu. Ia tidak mau Luisa salah paham dengan apa yang ia bicarakan di telepon.
"Halo, Pak."
"Halo, Edmun. Bagaimana? Apa sudah dapat foto istri kamu?"
"Mm ... Maaf, Pak, Luisa masih menolak dengan tegas. Tapi Bapak gak perlu khawatir karena saya akan mencobanya lagi. Saya mohon beri saya waktu dua hari, Pak. Saya yakin akan bisa mendapatkan foto yang Bapak inginkan."
"Oke, dua hari lagi saya tunggu ya. Ingat, dua pose hanya untuk membayar bunganya saja. Pinjaman inti belum terhitung."
"Pak, bagaiamana kalau pinjaman inti sekalian? Apa yang harus saya lakukan terhadap istri saya," tanya Edmun sembari berbisik. Ia menelepon di pinggir kolam renang, karena tidak mau ada siapapun yang mendengar percakapannya dengan pria dewasa yang biasa ia panggil Pak Dipta.
Suara tawa pria di seberang telepon sama membuat Edmun cemas. Ia khawatir akan ada hal lebih nekat lagi yang diminta lelaki itu padanya.
"Luisa tidur denganku satu kali, utang kamu tuntas lima ratus juta. Luisa tidur denganku dua kali, utang kamu tuntas satu milyar. Luisa tidur denganku empat kali, utang kamu benar-benar lunas semuanya. Oh, iya, jangan lupa! Foto naked Luisa untuk bayar bunga pinjaman."
***
Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, tetapi Edmun belum juga bisa tidur. Ia bergerak gelisah di samping sang Istri yang sudah terlelap. Pakaian yang dikenakan Luisa pun malam ini tertutup. Piyama berlengan panjang dan juga celana panjang. Sepertinya Luisa sudah mawas diri dari suaminya sendiri.
Tidak biasanya ia tidur dengan piyama panjang, karena ia suka tidur dengan pakaian seksi sambil dipeluk suaminya. Namun, malam ini Luisa tidur memunggungi Edmun, karena wanita itu masih kesal bercampur takut.
Ting!
Sebuah pesan dari bos besar, ia buka dengan hati was-was.
'Jika secara langsung kamu tidak bisa mendapatkan foto Luisa, kamu bisa menggunakan obat tidur. Ia akan sangat lelap untuk beberapa jam. Itu lebih mudah tanpa ia ketahui. Aku tunggu paling lambat besok malam. '
'Baik, Pak, segera saya lakukan seperti arahan Bapak.'
Send
Setelah mendapatkan saran ide dari bosnya, barulah Edmun bisa tidur. Ya, ia tidak mungkin mengambil foto naked istrinya secara terang-terangan, harus diam-diam. Jika tidak cepat, maka bunga utangnya pada pria dewasa itu semakin bertambah banyak.
Keesokan paginya, Luisa bangun terlambat dan ia tidak menemukan di mana suaminya. Di kamar mandi dan di semua ruangan yang ada di rumah, Luisa tidak menemukan suaminya. Ponsel Edmun pun tidak bisa ia hubungi.
"Nyonya sudah bangun," sapa Bik Noni yang baru kembali dari halaman belakang, sambil membawa keranjang cucian.
"Bik, suami saya ke mana ya? Apa Bibik lihat kapan suami saya pergi?" tanya Luisa sembari meneguk air putih dingin langsung dari botol yang ada di dalam kulkas.
"Jam delapan tadi, Nyonya. Ini sudah jam sepuluh, apa Nyonya mau sarapan?"
"Oh, sudah pergi sejak pagi. Ya sudah, saya mau mandi dulu saja, nanti baru makan. Kamu masak apa?"
"Baru ada nasi goreng, Nyonya. Saya belum belanja karena stok bahan makanan sudah habis semua." Bik Noni menunjukkan freezer yang kosong. Begitu juga dengan tempat penyimpanan sayur pada Luisa.
"Oh, ya sudah, saya sarapan nasi goreng saja sama buatkan s**u coklat. Saya ambil uang di kamar untuk Bik Noni belanja." Luisa berjalan masuk ke kamar. Ia membuka tas untuk mengambil beberapa lembar uang merah. Memang sudah menjadi rutinitas Bik Noni berbelanja kebutuhan memasak seminggu sekali di pasar.
"Eh, kenapa tinggal satu lembar?" Luisa mendadak pucat. Ke mana uang lima juta yang baru ia tarik dari ATM yang ada di bandara kemarin. Ia sangat jelas mengingat besaran uang itu belum sama sekali ia pakai karena saat membayar taksi menggunakan saldo aplikasinya.
Pasti Mas Edmun yang mengambil uangnya dari dalam dompet. Batin Luisa kesal. Ia berjalan mengambil ponsel yang ada di atas meja rias. Ia mencoba menghubungi suaminya, tetapi tidak juga tersambung.
Kring! Kring!
Ponselnya berdering keras, tetapi bukan Edmun yang meneleponnya, melainkan ibu mertua.
"Halo, Ma."
"Halo, Luisa. Kenapa ponsel Edmun tidak bisa dihubungi sejak subuh. Mama ada perlu sekali."
"Gak tahu, Ma. Mas Edmun pergi dari pagi kata Bik Noni. Saya bangun, Mas Edmun sudah tidak ada di kamar."
"Ya ampun, kamu baru bangun jam segini?"
"Eh, iya, Ma. Maaf, semalaman saya gak bisa tidur. Jadinya kesiangan."
"Alasan terus deh kamu, Luisa. Sudah, pokoknya kalau Edmun memberi kabar, segera suruh telepon Mama. Penting sekali ini. Mm... atau kamu punya lima puluh juta gak? Mama pinjam dulu untuk nalangin arisan ibu-ibu yang sudah dapat arisan, tapi kabur."
"Hah? Lima puluh juta, gak ada, Ma. Mas Edmun juga lagi sepi kerjaan kayaknya, tapi nanti saya sampaikan ya, Ma."
Tanpa basa-basi lagi panggilan itu terputus begitu saja. Luisa terduduk sambil menghela napas. Kenapa dua hari ini sangat aneh sekali?
Luisa keluar dari kamar setelah ia selesai mandi. Uang merah yang tersisa satu lembar itu ia berikan pada Bik Noni. Tentu saja ART-nya bingung dengan uang yang sekarang ada di tangannya.
"Nyonya, mau beli apa dengan uang segini? Ini untuk belanja berapa hari?" tanya Bik Noni.
"Untuk hari ini saja, Bik. Saya sedang ingin makan ikan. Masak ikan gurame asam manis saja." Bik Noni pun mengangguk paham.
"Uang saya dipakai Mas Edmun dan saya belum sempat ambil uang lagi," kata Luisa beralasan.
"Baik, Nyonya, gak papa, tapi hari ini saya jadi gajian kan? Kemarin kata Nyonya, menunggu Nyonya pulang dari Singapura," ujar Bik Noni dengan senyum semringah. Luisa memijat keningnya. Uang lima juta yang ia tarik dari rekeningnya kemarin sebesar empat juta untuk membayar gaji Bik Noni, tetapi uangnya sudah tidak ada di dompet.