4. Malam yang Dinantikan

743 Words
Luisa sudah di rumah sejak pukul tujuh malam. Gaji Bik Noni sudah ia berikan dan Bik Noni ijin pulang kampung untuk dua hari. Memang sudah menjadi kebiasaannya, setelah menerima gaji, makan akan ijin selama dua hari untuk melihat anaknya di kampung yang masih berusia enam tahun. Sekarang hanya dirinya saja yang berada di rumah besar, duduk di ranjang sambil menyalakan TV. Ia sama sekali tidak berani keluar kamar jika tidak ada Bik Noni di rumah ataupun suaminya. Acara yang ia lihat juga acara discovery Channel tentang hewan. Jika menonton drama Korea, ia akan mudah baper, kalau nonton horor, ia akan semakin mati ketakutan di rumah, jika nonton kartun, maka rasa pesimis nya kembali datang. Kenapa? Karena sekian tahun menikah, ia belum juga mendapatkan keturunan dari Edmun. Suara motor berhenti di depan rumahnya. Luisa turun dari tempat tidur, kemudian berjalan ke arah jendela untuk melihat apakah benar motor itu berhenti di depan rumahnya. Rasa was-was itu pasti ada, apalagi ia sendirian saja di rumah. "Huft, akhirnya pulang juga." Luisa menghela napas. Ia keluar kamar dan menuruni anak tangga satu per satu dengan hati-hati. Pintu pagar memang tadi tidak ia kunci, sehingga suaminya bisa masuk, tetapi ia mengunci pintu utama rumah. Tok! Tok! "Iya, Mas, sebentar!" Seru Luisa dengan langkah lebarnya. Anak kunci itu ia putar dua kali. Edmun tersenyum sangat manis pada istrinya, tentu saja sambil membawakan bungkusan makanan. "Darimana saja, Mas? Udah malam banget baru pulang," tanya Luisa sembari memberikan kunci pagar pada Edmun. Pria itu hanya tersenyum, lalu pergi ke depan untuk mengunci pagar. Luisa membaui aroma bungkusan yang dibawa suaminya. "Makanan kesukaan kamu." Edmun masuk ke dalam rumah dan langsung menuju dapur. "Terima kasih, Mas." Luisa tersenyum senang. Ia menyusul suaminya ke dapur untuk mengambil air dan menyalin martabak ke dalam piring. Namun, Edmun sudah lebih dulu meneguk dua gelas air putih dingin sambil berdiri. "Sayang, aku lelah sekali hari ini. Habis mandi, pijat ya. Nanti gantian, aku yang pijat kamu. Jangan lupa bawakan teko air ke atas biar kita gak bolak-balik turun. Bik Noni pulang kampungkan?" Edmun sudah membuka bajunya, lalu ia masukkan ke dalam keranjang cucian. "Iya, Mas, naik duluan deh. Biar saya matikan lampu." "Naik sama-sama saja. Nanti kalau kamu bawa air naik ke atas dalam keadaan gelap-gelapan, malah kesandung. Sini, biar aku yang bawa tekonya deh, kamu bawa gelas dan martabaknya, sekalian matikan lampu." Luisa mengangguk paham. Ia tersenyum melihat suaminya yang hari ini sudah baik-baik saja. Apakah urusannya di luaran sana sudah selesai? Luisa menunggu suaminya sampai selesai mandi, barulah ia menyantap martabak yang sudah sangat menggoda lidahnya itu. "Urusan kamu sudah beres, Mas?" tanya Luisa begitu suaminya duduk di depannya sambil mengambil sepotong martabak keju coklat itu. "Belum, tetapi ada orang yang bisa bantu suamimu ini, jadi sedikit lebih tenang." Edmun tersenyum tipis. "Papa ya? Papa pinjamkan uang seratus lima puluh sama kamu. Kamu bilangnya untuk urusan bisnis dan uang belanja aku. Sekarang mana uangnya? Aku gak punya uang nih. Paling gak, gantiin uang gajian Bik Noni." Luisa merengek sambil memperlihatkan wajah memelasnya. "Ada, uang dari dompet kamu nanti Mas gantiin. Doakan saja perlahan urusan kita beres, sehingga mobil, brangkas dan isinya bisa kembali pada kita. Ah, ya ampun, tolong ambilkan dulu ponselku yang tertinggal di kamar mandi!" Pinta Edmun. Luisa mengangguk, menuruti perintah suaminya dan disaat itulah Edmun membuka dua kapsul obat tidur dan langsung ia masukkan ke dalam gelas Luisa. Tepat di saat yang bersamaan, Luisa keluar dari kamar mandi sambil menenteng ponsel suaminya yang setengah basah. "Ponsel kamu nanti rusak loh, Mas. Kebiasaan banget ke kamar mandi bawa HP." Luisa kembali mengambil potongan demi potongan martabak tadi hingga ia merasa perutnya kenyang. Tanpa rasa curiga sama sekali, ia minum air putih dari gelasnya. Tentu saja Edmun menghela napas lega, tinggal menunggu beberapa menit lagi agar efek obat itu bekerja. Luisa menguap. "Mas, kayaknya saya gak bisa pijitin kamu, Mas, udah ngantuk banget." Luisa bangun dari duduknya untuk berjalan ke tempat tidur. Wanita itu menghempaskan tubuhnya karena matanya sudah sangat mengantuk. Edmun membiarkan Luisa benar-benar pulas terlebih dahulu, baru ia ambil foto naked sang Istri. Luisa sudah tidak memakai pakaian apapun. Pose telentang dan pose miring di atas ranjang sudah dipotret oleh Edmun. Bagian d**a dan juga area intim sempat di-zoom oleh Edmun, barulah ia menekan tombol kamera. Lekas ia mengirimkan empat foto tersebut pada bosnya. Kerja bagus, Edmun. Bunga utang kamu lunas. Tersisa utang pokok saja. Kamu harus bisa bikin Luisa tidur denganku, kalau tidak, foto ini akan tersebar ke penjuru negeri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD