Sarapan pagi ini terasa begitu nikmat. Romi terlihat begitu menikmati sarapan yang sudah disiapkan Mbok. Mbok adalah panggilan untuk asisten rumah tangga Danu.
“Lo lapar apa doyan?” Pelan-pelan, masih banyak persediaan!” Ucap Danu meledek Romi.
“Aku teh lapar pisan, dari semalam belum makan.” Jawab Romi sembari terus melahap sarapan pagi dengan nikmat.
“Baru semalam, dah kayak 3 hari gak makan aja ckk.. ckk...!” Danu geleng-geleng kepala melihat cara makan Romi yang begitu lahap.
Romi hanya tersenyum mendengar ucapan Danu. Bagi Romi yang penting perut kosongnya terisi agar cacing-cacing di dalam perutnya berhenti menagih jatahnya.
Usai sarapan, Danu mengajak Romi bersantai di gazebo. Gazebo yang terletak di belakang rumah tepat di sebelah kolam renang ini, memang menjadi tempat favorit Danu saat dirinya sedang berada di rumah. Di tempat ini, kita bisa menghirup udara bebas dengan suguhan pemandangan taman belakang yang dipenuhi berbagai tanaman hijau. Membuat mata yang memandang terasa sejuk dan adem. Pikiran pun kembali dingin.
“Punten Danu, orang tua kamu teh pada ke mana? Dari semalam aku datang teh sepi, cuma ketemu mbok sama security di depan.” Tanya Romi pada Danu. Romi heran rumah sebesar ini, hanya Danu dan kedua pegawainya yang tempati.
“Orang tua gua dah lama pisah, dari gua masih kecil. Gua aja lupa seperti apa nyokap gua. Dan sekarang gua juga gak ingin ketemu lagi dengan nyokap. Nyokap yang tidak pernah ingat dengan anaknya. Bahkan hingga berpuluh-puluh tahun lamanya.” Danu sedikit menjelaskan.
“Oh maaf ya? Terus, kalau boleh tahu Papa kamu di mana?” Romi masih ingin tahu.
“Bokap gua sekarang lagi di Kalimantan, mengurus usaha tambangnya di sana. Dua minggu sekali, bokap pulang. Di Jakarta paling 3 hari, bokap gua kembali ke Kalimantan. Gua dah biasa hidup sendiri.” Danu terlihat tegar. Dari wajahnya sama sekali tak terlihat kesedihan.
“Jadi, dari kecil teh kamu tinggal sama Mbok?” Romi penasaran.
“Gak, sama bokap. Jadi gini, dulu ekonomi keuangan bokap gua pas-pasan. Kata orang-orang sih nyokap gua cantik banyak yang suka. Orang tua gua pisah, karena nyokap lebih tertarik dengan laki-laki kaya. Dan entah sekarang mereka di mana, gua juga gak mau tahu! Sejak ditinggal nyokap, bokap gua bertekad akan berusaha keras agar bisa sukses dan tidak disakiti perempuan lagi karena keterbatasan ekonomi. Bokap gua dulu banting tulang demi gua. Kata bokap, gua gak boleh seperti beliau dulu. Gua harus bisa sukses agar perempuan tak memandang sebelah mata. Bokap mengajarkan gua untuk bisa bekerja keras demi masa depan yang cerah.” Danu menjelaskan.
“Terus sampai sekarang papa kamu teh gak nikah lagi?” Romi terus bertanya.
“Bokap gua dah gak memikirkan perempuan lagi. Bagi bokap, kebahagiaan gua yang utama. Bokap gak pernah memikirkan kebahagiaannya. Karena gua yang meminta bokap untuk tidak menikah lagi. Gua dan bokap sudah sangat bahagia meski hidup tanpa nyokap.” Danu terdiam, kedua mata mulai berkaca saat Romi mengingatkan kembali masa lalunya. Masa lalu yang selama ini Danu pendam dalam-dalam akhirnya kembali terbongkar.
“Maaf ya, aku teh jadi buat kamu sedih? Jadi buat kamu teh ingat masa lalu kamu? Selama ini kamu teh terlihat bahagia, kamu teh hebat bisa menutupi semua masalah kamu. Padahal masalah kamu teh lebih berat. Dari kecil kamu sudah gak punya orang tua lengkap. Aku teh masih beruntung. Harusnya aku banyak belajar sama kamu. Aku teh malu sama kamu.” Romi tertunduk, ada penyesalan di hatinya. Harusnya Romi bisa seperti Danu, meskipun banyak masalah yang dihadapi namun senyum ceria terus tersungging dari kedua bibirnya.
“Gak papa Rom, gua senang bisa berbagi sama lo. Dan gua gak sehebat seperti yang lo bilang tadi. Gua juga rapuh, gua dulu juga sempat terpuruk. Namun teman-teman gua tak berhenti menghibur, hingga gua bisa seperti sekarang ini. Bagi gua semua masalah itu pasti ada jalan keluarnya, tergantung bagaimana kita menghadapinya.” Danu senang bisa berbagi cerita dengan Romi.
“Teman-teman? Terus kenapa mereka gak pada ke sini? Memang teman-teman kamu teh gak tahu kalau kamu teh sudah berada di Jakarta?” Romi tak berhenti bertanya.
“Gua sengaja gak kabari mereka, besok aja kita kenalan sama teman-teman gua! Lo itu kaya wartawan aja, banyak banget pertanyaan buat gua!”
“Katanya besok teh kamu mau melihat usaha kamu? Iya, aku teh belum percaya. Kamu yang humoris begini ternyata banyak menyimpan masalah dalam hidupmu.” Lagi-lagi Romi bertanya.
“Sudah, lo tenang aja! Gua bakalan ajak lo senang-senang di Jakarta! Gua jamin lo bakal betah kenal sama teman-teman gua! Dan gua jamin juga lo pasti bisa melupakan masalah lo.” Danu menepuk pundak Romi.
“Iya, tapi teh kenapa semalam aku gak tega lihat mama nangis gitu?” Rasanya teh sedih pisan!” Romi seperti ingin menangis.
“Namanya juga anak mama! Ya gak bisa jauh dari mama, dikit-dikit mewek! Malu dong sama penampilan lo yang keren gini! Tinggi, berbadan tegap masa iya mewek!” Danu tertawa menggoda Romi.
“Aku teh manusia biasa Danu! Sekarang tertawa nanti menangis, wajar!” Romi sedikit kesal.
“Tapi lo kan laki-laki, masa iya kaya perempuan mewek!” Danu terus saja meledek Romi.
Danu memang sengaja terus meledek Romi. Danu berharap Romi bisa mengerti apa maksud dari yang dia ucapkan. Tujuan Danu hanya satu, ingin mengubah pikiran Romi tentang rasa bersalahnya.
***
Sore ini, Danu mengajak Romi berkeliling kota Jakarta. Danu sengaja tak menggunakan mobil mewahnya untuk menghindari imbas kemacetan. Danu lebih memilih motor matic warna hitam untuk memudahkan perjalanan mereka sore itu.
“Lo siap-siap kita jalan sore yuk!” Danu mengisi sore ini dengan keliling kota Jakarta.
“Ke mana?” Tanya Romi balik.
“Sudah lo siap-siap saja! Nanti juga bakalan tahu!” Danu enggan menjelaskan.
Danu menjalankan motornya pelan melewati jalan yang penuh kendaraan. Maklum saja, sore hari adalah jamnya orang sibuk. Jamnya orang-orang pulang kerja.
Suara klakson kendaraan terdengar memenuhi jalanan sore itu. Lampu-lampu kecil berwarna merah terlihat memenuhi jalanan sore itu. Danu melajukan motornya sangat pelan. Sementara Romi yang duduk di belakang Danu, kedua matanya tak berhenti berputar ke sana ke mari.
Tiba-tiba Danu menghentikan motornya di pinggir jalan.
“Kenapa berhenti?” Tangan kanan Romi menepuk punggung Danu.
“Kali aja lo belum pernah lihat! Ini namanya Monas, ikonnya Jakarta! Kalau lo di Jakarta harus tahu Monas! Gua kan baik, jadi anterin lo ke sini!” Tangan kanan Danu menunjuk monumen yang menjulang tinggi.
“Enak aja kamu ini, aku teh sudah sering lewat sini! Aku teh dah pernah masuk Monas juga! Dah ayuk kita teh jalan lagi!” Romi menepuk punggung Danu pelan.
Danu kembali melanjutkan perjalanannya mengelilingi kota Jakarta.
“Sekarang, mumpung gua lagi baik lo mau gua antar ke mana? Taman Mini, Ragunan, atau ke mana? Ayo gua jabanin! Pokoknya hari ini, khusus hari pertama lo di Jakarta gua turuti permintaan lo! Gua kurang baik apa coba sama lo?” Danu terkekeh.
“Naon, Taman Mini, Ragunan? Memangnya aku teh bocah! Masa ya diajak ke tempat begituan?” Romi mencubit pinggang Danu.
“Aw... sakit tahu! Memang lo bocah kan? Kalau lo bukan bocah, kenapa semalam nangis?” Danu terus saja meledek Romi.
“Terserah maneh!” Romi sedikit kesal.
( Terserah kamu )
Meski ledekan sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Romi. Namun Romi justru merasa terhibur. Candaan Danu selalu membuat Romi tertawa dan lupa akan masalah yang tengah dia lewati.
Danu kembali melajukan motornya melewati jalan raya. Sepanjang perjalanan mata memandang, dari kanan kiri jalan tampak sederet bangunan dan gedung bertingkat yang berjejer memenuhi kota Jakarta.
Di hari pertama Romi tinggal di Jakarta, Danu ingin menjamu Romi dengan puasnya menikmati macetnya kota Jakarta. Kota Metropolitan, pusatnya orang mengadu nasib dari berbagai suku yang ada di Indonesia.
Setelah lelah berkeliling, Danu dan Romi berhenti sejenak di taman pinggir jalan. Kebetulan di sekitar taman ada warung yang terkenal dengan minuman khas Betawinya.
“Sebelum pulang, kita istirahat sebentar di sini!” Danu memarkirkan motornya, lalu menarik tangan kanan Romi.
“Bang, bir pletok 2 ya!” Ucap Danu pada penjual.
“Danu, kamu mah yang benar wae! Masa sore-sore begini kamu teh pesan bir, gak enak atuh dilihat banyak orang di sini mah!” Romi terlonjak kaget saat mendengar Danu memesan bir.
“Tenang saja, bir yang satu ini gak bikin kita mabuk. Bir yang ini justru sangat menyehatkan karena terbuat dari rempah-rempah. Nanti lo coba deh, dijamin tidur lo bakalan pules sampai pagi.” Danu menjelaskan.
Tak lama abang penjual mengantar pesanan Danu, 2 gelas bir pletok telah siap disajikan di atas meja.
“Ini teh bir? Bir naon tadi? Kok warnanya teh merah gini?” Romi mengangkat gelas lalu mencium aroma minuman yang baru dia jumpai.
“Bir Pletok. Iya, warna merahnya menggunakan ramuan secang. Dan lo tahu gak, minuman ini adalah salah satu minuman tradisional Betawi.
Romi menyesap minuman yang berwarna merah itu pelan-pelan.
“Segar ya? Aroma rempah-rempahnya teh terasa pisan.”
Danu dan Romi menikmati minuman merah ditemani udara sore kota Jakarta. Udara yang tak sesegar dulu. Udara yang dipenuhi asap kendaraan yang lalu lalang melintas jalan raya.
Di saat menikmati segarnya minuman khas rempah, ponsel Danu berdering cukup lama. Satu panggilan masuk dari Anwar. Melihat nama Anwar yang muncul di layar ponsel, dengan cepat Danu menjawabnya.
“Halo, Pi!”
“Kamu ngapain? Papi sudah di bandara, dan sebentar lagi sampai rumah. Kamu di rumah kan?” Tanya Anwar pada Danu.
“Iya Pi, Danu lagi di jalan sama teman. Sebentar lagi Danu pulang.” Danu terlihat gugup.
Danu menyesap sisa minuman yang dia pesan tadi. Lalu bergegas meninggalkan warung.
“Kita pulang sekarang! Bahaya, bokap gua pulang, dan sekarang sudah on the way.” Danu masih gugup.
“Iya, kamu teh kenapa gugup gitu? Harusnya mah kamu seneng ketemu papa kamu.” Romi heran dengan Danu.
“Masalahnya bokap gua galak! Kalau bokap pulang dan gua gak di rumah bisa marah besar nanti.” Danu terlihat serius.
Mendengar ucapan Danu tentang papanya, Romi ikut gugup. Bagaimana Romi akan memulai kata-katanya saat bertemu nanti. Apa papa Danu mengizinkan Romi tinggal di rumahnya.
Sepanjang perjalanan Romi terus memikirkan papa Danu yang katanya galak. Baru mendengar saja, Romi sudah cemas. Gimana kalu bertemu nanti.
Romi tak berhenti memikirkan ucapan Danu tentang papanya. Entah mengapa ucapan Danu tak bisa hilang dari pikirannya.