Empat Belas

1687 Words
Semua harus berakhir malam ini. Kepedihan. Rasa sakit. Kesepian. Marah dan benci. Semua akan berakhir malam ini. Jika tidak berakhir ... Jika tidak ber-ak-hir ... Apa yang akan terjadi? Zea merapatkan tubuhnya. Rasanya dia tidak pernah merasakan kepedihan dan kesedihan sedalam ini. Semua yang terjadi dalam beberapa jam terakhir telah melemahkan sendi-sendi tubuhnya. Jika bisa, dia memilih menenggelamkan dirinya di palung terdalam agar tak perlu lagi merasakan hangatnya matahari. Matahari mengingatkannya pada Juna. Hangat peluknya, cerah senyumnya dan panasnya malam-malam yang dia berikan. Terangnya matahari bagai mimpi yang akan dirajut bersama Juna. Mimpi yang terbakar dalam sekejap dalam amarah seorang ayah. Baskoro. Zea membuka matanya. Masih jelas dalam ingatannya tatapan sinis Baskoro. Senyum busuk seperti yang pernah diceritakan Juna. Zea juga bisa merasakan kebencian Baskoro pada Juna. Kebencian yang akhirnya terhapus oleh kepergian Juna selamanya. Ditatapnya lagi tanah pekuburan yang merah dan basah. Juna pasti kedinginan di dalam sana. Zea menaruh payung hitamnya di atas kuburan Juna. Angin dingin dan hujan deras menerpa tubuhnya dengan cepat. Dia kuyup seketika. Tapi tidak kedinginan. Kemarahan telah membakar setiap rasa yang dia punya. Malam ini semuanya harus terjadi. Baskoro ... Margono ... semua harus mati. Yah, mati. Kehidupan yang telah diambil paksa, harus dibalas dengan kehidupan yang diambil dengan cara yang sama. Jika perlu, berkali lipat lebih sakit. Pagi ini, bumi boleh basah oleh hujan dan air mata. Malam nanti ... Semua akan terbakar. TERBAKAR! ~o0o~ "Bodoh kamu! Sudah kubilang jangan membuat Zea marah! Sekarang dia akan memburumu. Memburu kita!" Margono mondar-mandir di ruang besuk penjara. Sepulangnya dari pemakaman anaknya Baskoro langsung menemui Margono di penjara. "Saya tidak tahu dia punya hubungan khusus dengan Juju. Setau saya Juju itu homo. Saya yang membuatnya begitu." "Apa matamu buta? Dia memohon padamu untuk mengampuni Zea! Seharusnya kamu paham pertanda semacam itu!" "Sekarang kita harus apa?" "Kamu yang harus apa! Bukan kita! Aku aman selama tidak keluar dari penjara. Zea tidak mungkin berani mendekatiku di sini." Baskoro terpekur. Isi kepalanya berputar cepat. Segala kemungkinan bermunculan di kepalanya. Beberapa rencana. Beberapa tempat. "Jangan sedikit pun terpikirkan olehmu untuk pergi ke luar negeri." Suara Margono berat dan dalam saat mengatakan itu. Membuat Baskoro terperangah dan menatap tak mengerti ke Margono. "Zea ..., dia ..., akan mengejarmu sampai ujung jagad raya. Jika perlu, dia akan bersekutu dengan iblis untuk menemukanmu di neraka. Percayalah padaku. Karna seperti itulah kami melatihnya di organisasi." "Ada saran yang bisa kau berikan?" "Cari dan habisi dia lebih dulu." Mudah bagi Margono untuk bilang seperti itu. Dia dalam posisi paling aman di tempat yang paling tidak diinginkan oleh siapa pun. Sebaliknya, Baskoro, dia seperti tikus yang dilepas dalam labirin. Ke manapun dia mencoba mencari jalan keluar, kematian menunggunya di ujung jalan. Margono benar, jika masih ingin hidup, Zea harus terlebih dahulu di lenyapkan. Mungkin inilah saatnya dia menguji kemampuan Mandor yang sebenarnya. Baskoro keluar dari pintu utama penjara tempat Margono mendekam dengan nyaman. Pikirannya diselimuti kabut tebal dan dingin. Pada permasalahan yang biasa, dia akan menjernihkan pikirannya dengan meniduri gadis-gadis kesukaannya. Mabuk minuman keras dan menghisap sabu. Tapi pada kondisi ini, hal-hal semacam itu akan membuatnya lemah dan mudah untuk dijadikan target. Baskoro membutuhkan kewaspadaannya untuk bertahan hidup. Dadanya bergejolak. Rasa benci terhadap Arjuna yang sudah ditanamnya sejak dulu semakin membara meski Arjuna sudah jadi mayat dan dikubur. Jika bisa, dia ingin membongkar kuburan Arjuna dan mencincang mayatnya lalu dilempar ke hadapan Zea. Dengan bersungut, Baskoro memasuki Lexus putihnya. Tak menyadari tatapan sengit sepasang mata dari sesosok tubuh yang berdiri di antara pepohonan di seberang pagar penjara. Saat itu jam besuk tahanan sudah habis, tapi Zea nekat melangkahkan kaki ke pos piket dan meminta bertemu dengan Margono. Tentu saja permintaan itu ditolak dua petugas yang sedang berjaga. Dengan ketus mereka menyuruh Zea kembali keesokan harinya. Namun Zea bersikukuh dan memaksa masuk. Tanpa sungkan dia meletakkan beberapa lembar ratusan ribu di hadapan petugas yang lebih tua. "Jangan macam-macam, ya! Anda bisa dipidanakan karena berusaha menyuap aparat!" "Biasanya juga begitu, kok. Apa kurang banyak? Nih, saya tambahin!" Kembali Zea meletakkan beberapa lembar ratusan ribu di atas tumpukan ratusan ribu di atas meja. Petugas jaga yang lebih muda tersulut emosinya melihat sikap meremehkan Zea. Digebraknya meja di hadapannya, membuat uang-uang di atas meja berhamburan ke mana-mana. Bahkan ada yang jatuh ke lantai. "Kurang ajar! Anda mau kami tangkap?" "Alah sudahlah! Nggak usah jual mahal. Orang seperti kalian biasa di beli. Sebutkan saja harganya, jangan sungkan!" Perkataan Zea kali ini benar-benar menyulut emosi petugas yang lebih muda. Dia berjalan keluar dari balik meja dan berdiri di hadapan Zea. "Apa mau Anda sebenarnya? Saya minta Anda pergi sebelum benar-benar kami perkarakan!" "Saya mau ketemu Margono. Dan kamu akan membawa dia pada saya!" Zea berkata sambil menekankan telunjuknya di d**a petugas jaga. Dengan satu plintiran, petugas jaga berusaha membekuk Zea. Sayangnya Zea lebih siap. Dia menghindar dari gerakan mengunci petugas jaga dan menyarangkan satu pukulan ke rusuk petugas. Petugas jaga terhuyung ke belakang sambil memegangi perutnya. Rasa nyeri dan mual bergejolak di dalam sana. Zea melompat ke seberang meja dan melumpuhkan petugas satunya. Keributan di meja depan memancing petugas lain berdatangan dan mengeroyok Zea. Melihat banyaknya petugas berseragam yang muncul, tidak membuat Zea gentar. Dia menyunggingkan senyum puas dan mulai berlarian sambil menembakkan pistolnya. Pada satu kesempatan, Zea melemparkan bola-bola kecil yang meledak dalam tiga detik. Asap dan debu menghalangi pandangan dan menyulitkan petugas untuk mengetahui keberadaan Zea. Kesempatan ini dipergunakan Zea untuk menyusup lebih dalam ke bagian penjara dan melemparkan bola-bola kecil miliknya. Ledakan terdengar di mana-mana. Pintu jeruji terbuka dan narapidana berlarian tak tentu arah. Keadaan begitu kacau tak terkendali. Bentrok antara petugas dan narapidana pun tak terelakkan. Zea melemparkan bom asap untuk mengelabui CCTV dan menyulitkan petugas melacaknya. Dengan lincah dia menembaki pintu-pintu jeruji dan menuju sayap penjara tempat tahanan politik berada. Di depan sebuah pintu tertutup yang hanya terdapat lubang persegi untuk melihat ke dalam, Zea melekatkan bahan peledak dan menyalakan sumbunya. Ledakan cukup kuat merusak kunci pintunya. Zea melangkah masul dan membuka masker asap yang sedari tadi dikenakannya. Dia memandangi seseorang bertubuh tambun dan bertelanjang d**a yang sedang berbaring di atas spring bed super empuk. "Hai, Ayah! Apakah kamu menungguku? Sudah saatnya kita pergi ke neraka, Ayah." Dua buah peluru ditembakkan dan bersarang di d**a Margono. Tubuh Margono yang setengah bangkit, ambruk kembali dengan mata melotot dan mulut menganga. Zea tersenyum puas memandang darah yang keluar dari d**a Margono. Derap langkah kaki yang berlarian menyadarkan Zea dari rasa senangnya. Dia tidak boleh tertangkap, masih ada satu masalah lagi yang harus dibereskan. Buru-buru Zea keluar dari sel Margono dan berbaur dengan kerusuhan yang terjadi. Dia berniat melubangi tembok bagian belakang dan melarikan diri lewat sana. Zea tahu, meloloskan diri lewat jalan depan terlalu beresiko. Brigade mobil telah bersiaga untuk membantu memadamkan kerusuhan. Jika dia tetap nekat menerobos petugas berseragam yang saat ini jumlahnya berlipat-lipat, itu sama saja menyerahkan lehernya untuk digantung. Ketika petugas tiba di sel Margono, Zea sudah pergi dan menghilang. Tak lama terdengar bunyi ledakan lagi di beberapa tempat. Sebagian petugas berpencar untuk memeriksa sumber ledakan. Sebagian tinggal di sel Margono untuk mengolah tempat kejadian. "Pak, tahanannya masih bernapas. Tapi lemah." Seorang petugas yang memeriksa Margono melaporkan kondisinya kepada atasannya. "Cepat! Bawa dia ke rumah sakit. Usahakan jantungnya tetap hidup. Jika dia selamat, dia bisa memberi tahu kita identitas perusuh yang telah berbuat onar ini." ~o0o~ Kabar diterobosnya penjara tempat Margono dikurung menjadi head line di beberapa media cetak dan elektronik. Baskoro mengikuti perkembangannya setiap saat. Dia ingin tahu apakah polisi telah berhasil mengetahui identitas Zea dan melacaknya atau belum? Jika polisi telah mengetahui identitas Zea, dia akan sangat terbantu sekali. Semakin banyak orang yang memburu Zea, semakin terdesak posisinya. Peluang Zea tertangkap pun akan semakin besar. Menurut orang yang mengaku kerabatnya, Margono masih kritis. Peluangnya selamat sangat kecil. Polisi sangat berharap pada kesembuhan Margono supaya bisa dimintai keterangan. Baskoro menghela napas, tempat aman menurut Margono saja bisa ditembus Zea, apalagi dia yang saat ini tidak terlindungi. Meskipun dia sudah menugaskan Mandor untuk memburu Zea, tapi Baskoro sendiri sangsi akan keberhasilan Mandor. Sewaktu di klub, bukan kepiawaian Mandor yang membuat Zea tertangkap, tapi informasi Arjunalah yang membuat rencana penyusupan Zea bocor. Dan waktu semakin berjalan. Detik-detik kehidupannya semakin disangsikan. Margono bilang, tak ada gunanya dia lari. Maut yang bernama Zea akan mengejarnya ke manapun dia bersembunyi. Tapi berdiam diri di rumah seperti ini pun sama saja seperti mengumpan tikus dalam perangkap kepada kucing lapar. Baskoro tidak mau mati sia-sia. Lebih baik dia pergi ke suatu tempat ketimbang berada di rumah yang penuh dengan pengawal. Dengan tergesa-gesa, Baskoro mengemasi beberapa barang penting dalam tas bepergian yang tak seberapa besar. Dimasukkannya sejumlah uang tunai dan pasport ke dalam tasnya. Dia belum memastikan ke mana akan pergi, yang penting tidak berdiam diri menunggu mati. Dipanggilnya beberapa pengawal dan disuruhnya supir menyiapkan mobil. Dua buah mobil keluar dari rumah Baskoro ketika matahari berada tepat di atas kepala. Satu mobil berisi Baskoro dan dua orang pengawalnya. Di belakang, satu mobil lagi berisi empat orang pengawal bersenjata. Mobil melaju cepat menuju jalan tol ke arah bandara. Ketika mereka sedang mengantre di pintu masuk tol, sebuah sedan hitam mengambil tempat tepat di belakang mobil kedua. Sedan tersebut terus mengekor dan menjaga jarak di belakang mobil kedua hingga kilometer sepuluh. Ketika jalanan mulai sepi, sedan tersebut melajukan kecepatannya dan menyalip dari sisi kiri. Dengan kecepatan tinggi, sedan tersebut membentur sisi kiri mobil kedua hingga mobil kedua kehilangan keseimbangan dan oleng. Tidak cukup disitu, pengemudi sedan langsung menembakkan senjatanya ke arah ban mobil sehingga mobil kedua berputar-putar di tengah jalan dan membentur pagar pembatas. Tanpa menghentikan laju kendaraan, pengemudi sedan memacu mobilnya dan mensejajari mobil Baskoro. Kaca mobil sedan dibuka ketika posisi mereka telah sejajar. Raut wajah Zea tersenyum pada pengawal di samping supir. Dan sebelum pengawal tersebut menyadari dan mengambil tindakan, peluru Zea telah menembus kaca mobil dan bersarang di pelipis Baskoro. Selesai sudah tugasnya. Di arah pintu keluar tol terdekat, Zea membelokkan mobilnya dan menghilang cepat dari hadapan pengawal Baskoro. Nanti malam, dia akan berada di puncak pencakar langit dan melihat Jakarta terbakar dalam satu malam. Beberapa klub besar kepunyaan Margono dan Baskoro, akan terbakar serentak nanti malam. Terbakar. Hangus. Bersama seisinya ..., para pendosa yang enggan memohon ampun.©
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD