Bab 3

1409 Words
Fokus Nayaka teralihkan dari dokumen yang sedang ia tinjau ketika melihat layar ponselnya menyala. Segera ia mengambil ponselnya itu lalu mengecek pesan yang baru saja masuk. Nayaka membuka pesan berisi sebuah foto dari kontak Anjana. Nayaka sempat mengernyitkan dahi, menatap foto di layar ponselnya dengan bingung karena merasa tidak mengenali perempuan yang berada di layar ponselnya itu. Lalu, ingatan akan kejadian semalam mulai merasuki otaknya. Itu adalah foto Alinka, perempuan yang ia cium semalam. Kayaknya lo nggak punya foto semalam. Mau gue bagi yang lain? -Anjana- Nayaka diam sejenak. Ia tengah berpikir apakah dirinya perlu foto-foto semalam? Namun, untuk berjaga-jaga, akhirnya ia membalas pesan dari Anjana itu. Yes, please. Thank you. Kirim. Tak lama kemudian Nayaka menerima foto-foto yang Anjana ambil semalam. Nayaka hanya melihat sekilas foto-foto itu tanpa minat. Hingga tiba-tiba saja Anjana kembali mengirim pesan kepadanya. Anjana: Boleh gue bagi foto ini ke keluarga kita yang lain buat nunjukin kalau lo emang benar-benar punya cewek? Nayaka: Jangan. Nggak perlu. Anjana: Oke, deh. Karena Nayaka dan Rosalia menjalani hubungan jarak jauh, hampir semua kerabat Nayaka meragukan jika Nayaka memang sudah memiliki kekasih. Bukan hanya itu, Nayaka pun hampir tidak pernah menunjukkan foto Rosalia kepada siapa pun kecuali beberapa orang terdekat Nayaka. Salah satu alasan Nayaka agak menyembunyikan Rosalia dari banyak orang adalah karena ia tidak suka kehidupan pribadinya jadi konsumsi umum. Namun, sepertinya hubungannya dan Rosalia sudah benar-benar kandas. Sampai saat ini, ia masih belum menerima kabar apa-apa dari kekasihnya itu. Pintu ruangan Nayaka diketuk. Segera ia mempersilakan orang yang berada di luar untuk masuk. Sosok Farhan, sekretarisnya berjalan memasuki ruangan Nayaka sambil membawa beberapa map. “Selamat siang, Pak,” sapa Farhan. “Ini ada dokumen yang perlu Pak Nayaka tandatangani,” lanjutnya mendekat ke arah meja Nayaka. Nayaka mengangguk seraya menerima dokumen yang diberikan oleh Farhan. “Nanti jam dua Bapak ada rapat dengan bagian pemasaran. Setelah itu Bapak ada jadwal bertemu dengan Pak Dzaky dan Bu Maudy guna membahas pemilihan BA untuk produk kita. Kemudian Bapak diminta untuk menghadiri acara amal yang diadakan oleh Yayasan milik orang tua Pak Gaufari yang akan diadakan malam ini.” Nayaka menghela napas dalam mendengar Farhan menjabarkan sisa kegiatannya hari ini. “Baik,” katanya. “Terima kasih,” lanjutnya seraya menyerahkan dokumen yang baru saja ia tandatangani kepada Farhan. “Iya, Pak, sama-sama. Kalau begitu saya permisi dulu,” ucap Farhan undur diri. “Tunggu, Farhan,” kata Nayaka yang membuat Farhan berbalik untuk menatap bosnya itu. “Iya, Pak?” “Apa kamu bisa mencari informasi mengenai jadwal Rosalia hari ini? Sepertinya dia masih berada di Indonesia.” “Baik, Pak. Akan saya cari jadwal Nona Rosalia.” Nayaka menganggukkan kepala. Ekspresinya masih tampak berpikir yang membuat Farhan belum beranjak dari tempatnya. “Dan bisa tolong cari informasi mengenai perempuan ini,” ucap Nayaka menunjukkan foto seorang perempuan bergaun putih gading lengan pendek yang berada di ponselnya. Rambut hitamnya panjangnya membingkai wajah bulatnya. Perempuan itu memang tampak lebih muda dari Nayaka, seperti yang dikatakan Gaufari semalam. “Kalau boleh tahu, itu foto siapa, Pak?” “Alinka,” kata Nayaka. “Akan saya kirim fotonya ke nomor kamu. Tolong cari informasi tentang perempuan ini segera.” “Baik, Pak,” jawab Farhan. “Ada lagi yang bisa saya bantu?” “Itu saja. Kamu boleh pergi.” “Baik. Saya permisi dulu.” Setelah itu Farhan berjalan pergi meninggalkan ruangan Nayaka. Sambil menunggu informasi mengenai jadwal Rosalia dan informasi mengenai Alinka, Nayaka kembali menyibukkan diri meninjau dokumen yang tadi sempat ia tinggalkan. Jika hubungan Nayaka dan Rosalia benar-benar hancur, Nayaka merasa harus mencari rencana cadangan. Dan tampaknya Alinka adalah jalan keluarnya. *** Nayaka berjalan keluar dari lift. Ia baru saja selesai menghadiri rapat dengan bagian pemasaran. “Bapak masih ada waktu sekitar tiga puluh menit sebelum bertemu dengan Pak Dzaky dan Bu Maudy. Mungkin Bapak ingin makan siang terlebih dahulu?” kata Farhan yang berjalan mengikuti Nayaka di belakangnya. Nayaka menganggukkan kepala. “Baik. Bisa tolong pesankan saya sushi? Sekalian pesan juga untuk kamu kalau kamu mau.” “Baik, Pak. Terima kasih. Akan segera saya pesankan.” “Oh ya, bagaimana dengan Rosalia dan Alinka? Sudah ada info mengenai mereka berdua?” Farhan menunduk membaca tulisan di layar tablet yang dibawanya. “Nona Rosalia saat ini sedang berada di Bali, menemani Pak Rafa bermain golf bersama beberapa partner kerjanya.” Nayaka mendenguskan tawa tak percaya mendengar penuturan Farhan. Perempuan itu benar-benar keterlaluan. Bisa-bisanya dia pergi ke Bali bersama bosnya dan mengabaikan Nayaka begitu saja. Padahal kan saat ini mereka sedang berada di negara yang sama. Bukankah seharusnya Rosalia meluangkan waktu barang sebentar saja untuk bertemu dengan Nayaka? Atau paling tidak Rosalia bisa menjelaskan ketidakhadirannya semalam. Namun, Rosalia malah memilih mengabaikan Nayaka. Dia seolah menganggap Nayaka bukan siapa-siapanya. Baiklah. Jika memang itu yang Rosalia inginkan, Nayaka akan mengabulkannya. “Bagaimana dengan Alinka? Kamu sudah mendapat informasi mengenai dia?” tanya Nayaka mencoba mengabaikan perasaan kecewanya terhadap Rosalia. “Tentang Nona Alinka,” kata Farhan kembali menatap layar tablet. “Sejauh yang saya tahu, Nona Alinka masih berkuliah di salah satu universitas swasta di Jakarta. Dia sedang dalam tahap skripsi. Selain itu, dia pun bekerja part time di sebuah kafe yang tak jauh dari kampusnya.” “Dia kerja part-time?” tanya Nayaka. “Benar. Selain bekerja part-time di kafe, dia juga pernah bekerja sebagai model pakaian brand local milik salah satu temannya. Saat ini pun tampaknya dia masih membantu temannya itu berjualan online. Dia dulu juga sempat cuti kuliah. Sepertinya dia pernah mengalami masalah keuangan.” “Pernah?” Nayaka mendengus. “Sepertinya dia masih mengalami masalah keuangan. Dia masih bekerja di saat seharusnya dia fokus mengerjakan skripsinya.” “Ah, iya. Sepertinya begitu.” “Lalu, bagaimana dengan latar belakang keluarganya? Atau apa dia sudah punya kekasih? Atau malah jangan-jangan dia sudah menikah?” “Ayahnya sudah meninggal tepat setelah dia lulus SMA. Sedangkan Ibunya kini berada di kampung halamannya, di daerah Jawa Tengah, bekerja sebagai juru masak di salah satu warung makan di sana,” jelas Farhan menggeser layar tabletnya. “Untuk kekasih, tampaknya dia tidak punya, Pak. Dia tidak pernah memposting foto bersama dengan cowok di akun instagramnya.” “Sepertinya dia memang sangat kesulitan dalam hal keuangan.” “Itu…, Pak…, kalau saya tidak salah info, dan ini masih belum pasti, sepertinya Nona Alinka ini adalah anak pemilik rumah makan Evans Resto. Mungkin Bapak pernah mendengar restoran tersebut.” “Evans Resto?” “Benar. Dulu banyak sekali cabang restoran tersebut. Namun, sekitar tujuh atau delapan tahun yang lalu restoran tersebut mengalami kebangkrutan karena isu tumbal dan pesugihan.” Nayaka sontak berhenti lalu menatap Farhan dengan kernyitan di dahinya. “Apa kamu bilang?” tanyanya tidak percaya dengan informasi tersebut. “Bangkrut karena isu pesugihan? Hal seperti itu memangnya ada? Konyol sekali.” “Saya pun tidak tahu, Pak. Isu itu beredar setelah ada seorang koki yang meninggal karena kecelakaan kerja. Lalu, seminggu kemudian ada pelanggan yang mengalami serangan jantung dan meninggal di restoran tersebut. Kejadian itu di dua cabang yang berbeda. Lama kelamaan orang-orang semakin takut untuk makan di sana. Hingga akhirnya satu per satu restoran tutup kemudian mereka bangkrut. Itu yang saya temukan di internet,” kata Farhan menjabarkan informasi yang dia temukan. “Tapi, saya masih belum tahu apakah Nona Alinka Gilian Evans yang Bapak maksud itu sama dengan Nona Alinka anak pemilik restoran itu.” “Baiklah. Terima kasih untuk informasinya,” kata Nayaka seraya berjalan memasuki ruangannya. Nayaka berdiri di depan jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota Jakarta. Gedung-gedung tinggi pencakar langit tampak bertebaran di kota ini. Nayaka tidak terlalu menyukai pemandangan dari ruangan kerjanya ini. Rasanya begitu sepi meskipun dunia di bawah sana tampak ramai dan padat. “Rosalia,” gumam Nayaka seraya menatap jalanan di bawah sana. “Apa yang harus aku lakukan denganmu?” Nayaka berbalik lalu berjalan keluar dari ruangannya. “Farhan,” panggil Nayaka yang membuat sekretarisnya itu menoleh ke arah bosnya. “Pindahkan jadwal pertemuan dengan Pak Dzaky dan Bu Maudy besok pagi. Lalu, kirim alamat tempat Alinka bekerja, saya mau ke sana sekarang.” “Baik, Pak. Kemudian bagaimana dengan sushi pesanan Anda? Apa perlu saya cancel?” Nayaka menatap Farhan dengan tatapan lelah. Seolah itu adalah pertanyaan paling konyol yang ia dengar hari ini. “Baik, Pak, sushinya buat saya semua,” ucap Farhan. “Terima kasih.” “Good,” balas Nayaka seraya berjalan meninggalkan Farhan. Ya, Nayaka berniat untuk menemui Alinka. Nayaka mempunyai tawaran bagus untuk perempuan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD