Bab 2

1471 Words
“Nayaka,” panggil seorang perempuan berambut panjang melebihi bahu ketika melihat seorang pria memasuki ruangan di mana beberapa orang berkumpul. “Ke mana dia?” “Pergi,” jawab Nayaka. “Kok udah pergi aja? Jadi gimana? Dia terima lamaran lo?” tanya perempuan lain bernama Anjana, sepupu Nayaka. Nayaka memegang saku jas yang dipakainya. Ia dapat merasakan kotak persegi empat yang tersimpan di sana. “Belum sempat,” jawabnya. “Dia sedang buru-buru,” tambahnya. “Berarti kejutan yang lo beri ini gagal dong?” tanya Anjana tampak terkejut. Nayaka mengangkat kedua bahunya. “Yang sabar deh, kalau gitu. Padahal kan lo udah nyiapin semuanya sejak berhari-hari yang lalu. Selain itu, lo juga jarang banget ketemu sama dia kan? Ini aja kali pertama gue ketemu sama pujaan hati lo. By the way, cewek lo cantik banget! Masih imut-imut,” kata Anjana. “Gue pikir dia seumuran lo, Ka,” timpal Gaufari, teman Nayaka. “Tapi, kayaknya dia jauh lebih muda dari lo.” “Nayaka sih, punya cewek diumpetin terus. Sekalinya ngasih lihat beneran bentar doang. Mana nggak sempet ngobrol tadi,” sahut Anggun, kekasih Gaufari. “Maklum lah, cewek dia kan tinggalnya di luar negeri. Nayaka aja yang pacarnya belum tentu setahun sekali ketemu,” gurau Gaufari yang membuat orang-orang tertawa. Nayaka hanya tersenyum tipis menanggapi candaan temannya itu. “Gue permisi dulu. Kalian silakan tinggal dan pesan makanan sesuka kalian. Terima kasih udah datang buat gue,” ucap Nayaka sebelum pergi meninggalkan ruangan yang berisi lebih dari lima orang itu. Sambil berjalan menyusuri lorong, Nayaka mengambil ponsel dari dalam saku jasnya. Segera ia menghubungi nomor Rosalia, kekasihnya. Namun, kekasihnya itu tidak kunjung mengangkat panggilan darinya. Nayaka pun mengulang menghubungi nomor Rosalia beberapa kali. Dan hasilnya pun sama, Rosalia tidak mengangkat panggilan darinya. Nayaka menatap layar ponselnya yang saat ini menampilkan chat antara dirinya dan Rosalia minggu lalu. Nayaka: Where are you? Nayaka: I miss you, Rosalia. Haruskah aku yang ke sana? Rosalia: Sorry, I’m busy. Nayaka: Apa kamu mencintaiku? Nayaka: Kamu tidak membalas pesanku. Rosalia: I told you. I’m busy. Nayaka: Datang ke Indonesia minggu depan. Aku akan memberimu kejutan. Rosalia: Kejutan apa? Nayaka: Pulanglah. Kamu akan tahu. Nanti aku kirim alamatnya. I love you. Hingga akhir pesan, Rosalia masih tidak membalas pernyataan cinta Nayaka. Apa memang Rosalia tidak pernah mencintai Nayaka? Tidak. Nayaka yakin jika perasaannya kepada Rosalia terbalas. Kekasihnya itu memang mencintai Nayaka. Namun, Nayaka tidak tahu alasan ketidakhadiran Rosalia malam ini. Padahal kemarin Nayaka sempat menghungi Rosalia, mengingatkan tentang pertemuan mereka malam ini. Rosalia pun mengiayakan akan datang karena kemarin malam Rosalia sudah berada di Jakarta. Akan tetapi, malam ini yang muncul di hadapan Nayaka bukanlah Rosalia, melainkan Alinka. Itu pun karena perempuan tersebut salah masuk ruangan. Kalau boleh jujur, Alinka menyelamatkan Nayaka dari rasa hancur dan malu di depan teman-temannya. Ia tidak tahu apa jadinya jika tidak ada seorang pun yang muncul di acara kejutan yang Nayaka siapkan tadi. Nayaka menghela napas dalam. Ia kembali menatap layar ponselnya. Lalu, ia mengetikkan sesuatu di layar tersebut. Kamu di mana? Kenapa nggak datang? Apa kamu baik-baik saja? Kirim. Setelah mengirim pesan kepada Rosalia, ponsel Nayaka tiba-tiba berbunyi. Panggilan dari kontak nama Farhan membuatnya mengernyitkan dahi. Farhan adalah sekretarisnya. Sangat jarang sekali pria itu menghubunginya di luar jam kerja kecuali memang ada hal yang sangat mendesak. “Ya?” kata Nayaka setelah mengangkat panggilan dari Farhan. “Maaf, Pak, apa mungkin rencana Bapak memberi kejutan untuk Nona Rosalia batal?” “Kenapa kamu menanyakan hal itu?” tanya Nayaka bingung. “Karena saat ini saya sedang melihat Nona Rosalia dengan atasannya,” jawab Farhan. “Apa?” “Saya tidak sengaja melihat Nona Rosalia dan Pak Rafa di kafe.” Bohong. Tidak mungkin Rosalia pergi dengan Rafa tanpa memberitahu Nayaka terlebih dahulu. Terlebih Nayaka dan Rosalia ada janji bertemu malam ini. Bagaimana bisa Rosalia memilih pergi dengan bosnya itu dibanding pergi menemui Nayaka, kekasihnya? “Kirim foto mereka sekarang,” perintah Nayaka. “Baik, Pak,” ucap Farhan sebelum memutus sambungan telepon mereka. Tak lama kemudian Nayaka menerima pesan berisi gambar seorang perempuan yang sangat dikenalnya tengah duduk berhadapan dengan seorang pria. Dan benar kata Farhan, itu adalah Rosalia dan Rafa. Mereka berdua memang sedang pergi bersama. “Sial!” umpat Nayaka. Kini segala pikiran buruk mengenai hubungan Rosalia dan Rafa mulai memenuhi kepalanya. Nayaka jadi curiga jika Rosalia memang tengah menjalin hubungan dengan Rafa di belakangnya. Diam-diam Nayaka merasakan perasaan sakit menusuk jantungnya. Hatinya patah karena Rosalia. *** Alinka merebahkan diri ke kasur. Setelah kuliah, bekerja, lalu menemani Oma makan malam, sungguh ia kecapekan. Namun, meskipun capek, Alinka selalu mengingatkan diri untuk tidak sering-sering mengeluh. Alinka harus banyak-banyak bersyukur di kondisi keuangannya yang pas-pasan, ia masih bisa melanjutkan kuliah—meskipun harus menunda setahun. Alinka pun bisa tinggal di rumah megah milik keluarga Tamara—meskipun hanya sebatas menumpang dengan dalih menemani Oma yang tinggal sendirian di rumah ini. Alinka merasa cukup beruntung di tengah kehidupannya yang carut marut. Ponsel yang berada di dalam tasnya berbunyi. Segera Alinka mengambil ponselnya itu lalu mengangkat panggilan yang ternyata dari Tamara. “Halo, Tam,” sapa Alinka masih dengan posisi tiduran terlentang di atas kasur. “Jadi, gimana malam ini?” “Menyenangkan, meskipun gue sempat kena omel habis-habisan karena datang sangat terlambat,” jawab Alinka. “Oma senang bisa makan malam bareng gue. Oma pun cerita banyak hal tentang lo dan keluarganya. Oma bilang kangen sama kalian dan berharap kalian bisa balik ke Indonesia agar Oma bisa ketemu secara langsung.” “Gue pengennya juga bisa pulang ke Indonesia dan berkumpul dengan keluarga gue. Tapi, lo tahu sendiri, gue aja pisah sama kedua orang tua gue dan abang gue.” Alinka tersenyum kecil mendengar gerutuan sahabatnya itu. Memang, saat ini Tamara sedang berada di Amerika guna menempuh Pendidikan S2-nya. Sedangkan kedua orang tua Tamara berada di Singapura. Lalu, kakak Tamara sendiri berada di Jerman. Tipikal keluarga kaya raya yang sukses. “Oh ya, omong-omong, lo ketemu orang gila siapa, sih? Gue beneran penasaran banget sama cerita lo.” “Orang gila?” gumam Alinka mencoba mengingat cerita apa yang hendak ia bagi dengan Tamara. Lalu, ingatan tentang pria yang menciumnya secara tiba-tiba memenuhi otaknya. “Sumpah! Tadi gue ketemu sama orang gila! Kesel gue.” “Ketemu orang gila siapa? Lo diapain?” “Gue dicium, Tam!” rengek Alinka kesal dan marah. “Lo dicium orang gila?” tanya Tamara terdengar kaget. “Kok bisa? Lo dicium di mana? Di jalan? Ya Tuhan, Alinka. Lo beneran harus hati-hati, deh. Apa perlu gue sewa sopir pribadi buat lo? Apa bodyguard sekalian?” “Nggak perlu sampai segitunya, Tam. Lagian, bukan orang gila yang kayak di pinggir jalan gitu kok. Dia berpakaian bagus, berpenampilan menarik, ganteng juga sih, kalau boleh bilang. Tapi kan tetap aja, dia nyium gue tiba-tiba. Itu kan gila!” “Hah? Gimana-gimana? Kok gue bingung. Lo habis ditembak cowok apa gimana?” “Nggak lah. Kayaknya gue tadi kena sial, deh. Jadi, gue nggak sengaja masuk ke ruangan privat lain. Gue pikir itu ruangan di mana Oma berada. Tahunya bukan. Jadi ya, gitu deh. Padahal kan gue udah bener masuk ruangan nomor 12 seperti yang lo bilang. Terus gue juga udah bilang ke pelayan gue cari ruangan atas nama Tamara Jaya. Nama lo kan itu? Tapi, gue malah nyasar ketemu cowok itu.” “Ah, iya, gue lupa bilang kalau Oma nggak jadi di ruangan nomor 12, jadinya nomor 21. Tapi emang reservasinya pakai nama gue. Kok bisa ditunjukin ke ruangan itu, sih?” Alinka menghela napas dalam. “Nggak tahu gue juga.” “Tapi, lo nggak apa-apa kan? Lo nggak diapa-apain selain dicium? Apa perlu lapor polisi?” “Gue hanya dicium lalu dikasih bunga. Kayaknya nggak perlu sampai lapor polisi. Lagian, kayaknya dia mau kasih kejutan ke cewek, deh. Tapi, nggak tahu kenapa gue nggak diusir malah gue dicium sama dia. Aneh nggak, sih?” “Iya, aneh. Lo tahu nama dia siapa?” Alinka menggelengkan kepala. “Nggak,” jawabnya. “Dan gue nggak ngarep pengen tahu juga, sih, Tam. Gue harap itu adalah pertemuan terakhir kami. Bisa gila gue kalau ketemu cowok m***m itu lagi.” Alinka bergidik ngeri membayangkan bertemu lagi dengan pria aneh tadi. Terdengar kekehan dari seberang panggilan. “Kalau ketemu lagi, dan dia macem-macem sama lo, bilang sama gue. Beneran gue kirim bodyguard buat lo,” katanya. Alinka tersenyum kecil. “Siap,” balasnya seraya melirik ke arah jam di atas nakas. “Eh, udah dulu ya. Gue mau cek Oma. Udah jam sepuluh.” “Oke. Titip Oma, ya, Alinka. Thank you!” “Iya, Tamara. Gue yang makasih udah dikasih tempat tinggal gratis.” “Gue hanya mencarikan Oma teman kost,” canda Tamara. Alinka bangkit dari posisi tidurannya. “Dan gue akan jadi teman kost yang baik buat Oma,” balasnya bersungguh-sungguh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD