Jovi Bermimpi Buruk

1075 Words
Karena penasaran dan merasa cemas dengan kondisi Jovi. Kevin pun akhirnya berusaha mencari tahu. Ia memberanikan diri membuka pintu kamar anggota keluarga barunya itu. Terlihat seorang gadis tertidur di ranjangnya. Kedua tangannya tampak menggenggam dengan kuat seperti tempatnya tidur. Pilihannya masih terdengar begitu menyayat hati. "Aku mohon, jangan menyentuhku," ucap Jovi dengan suara sedikit serak. Kevin melihatnya dengan bingung. Selama sepersekian detik, kedua matanya sempat terhipnotis dengan kecantikan Jovi. Putih kulitnya dan tampak halus wajah Jovi. Mungkin semut pun akan terpeleset jika berani menginjakkan kakinya di sana. "Tolong, aku mohon." Terdengar rintihan Jovi sekali lagi. Suhu di dalam kamar cukup dingin. Akan tetapi Gavin bisa melihat jelas, ada keringat di kening Jovi. Ia memberanikan diri mengelapnya dengan telapak tangan. Gugup seketika merajai perasaannya. "Lebih baik aku bangunkan dia," ucap Gavin.  Digoyangkan dengan lembut pundak Jovi yang kecil dan tampak rapuh. "Hayyyy, bangunnnnn!" ucap Gavin. Ia semakin merasa cemas. Kini, ia sadar jika Jovi sedang bermimpi buruk.  "Mimpi apa dia? Kenapa dia bisa sampai seperti ini," gumam Gavin sendiri. Dalam mimpinya, Jovi sedang berniat untuk melompat. Bibir bawahnya digigit karena menahan rasa takut. Ia bersiap terjun dari teras kamar di lantai atas. Tiba-tiba ada sebuah suara terdengar di telinganya. Suara itu seolah keluar dari langit malam yang ada di hadapannya saat itu. "Aneh," pikir Jovi. Di antara kegelapan malam yang hanya diterangi lampu teras yang redup. Bayangan ketua pencuri yang ingin menyentuh Jovi perlahan hilang. Gadis itu tak melihatnya lagi. Seseorang yang baru ia kenal sore ini. Tiba-tiba saja berdiri tepat di sampingnya. Jovi amat sangat terkejut. Ia merasa aneh tapi bingung harus berbuat apa. "Kamu, kenapa ada di sini?" Jovi bertanya namun tidak ada jawaban. Terdengar lagi, langit malam kembali mengeluarkan suaranya. Jovi berusaha memperhatikan. Dicermati langit malam yang begitu luas tanpa bintang.  "Bukan dari langit." Jovi berucap sendiri.  Dipastikan lagi pendengarannya agar bisa mendeteksi asal suara tersebut. Terdengar lagi.  Jovi tahu itu suara siapa. Ternyata suara yang dicarinya berasal dari pria muda di sampingnya. Terkejut sudah pasti. Akan tetapi, ia merasa tidak yakin. "Mungkinkah, Gavin?" ** Gavin masih berusaha membangunkan Jovi. Gadis itu terdengar mulai berhenti merintih dan matanya kemudian terbuka dengan cepat. "Ahhhhhhhhhh …." Jovi menjerit cukup keras. Gavin ikut terkejut. Ia spontan meloncat dari tepi tempat tidur yang digunakan untuk duduk. Dipandanginya Jovi yang baru bangun dari tidur.  "Dia kenapa?" batin Gavin. Jovi membulatkan kedua matanya. Ia merasa kacau hingga nafasnya tak teratur karena mimpi barusan dan dia kembali terkejut dengan kemunculan Gavin di kamarnya sendiri. "Keluar!" pinta Jovi dengan begitu dingin. "Iya, aku juga mau keluar," jawab Gavin dan pergi berlalu. Tak lupa pintu kamar kembali ditutup. Jovi kembali berusaha mengatur nafasnya. Ia sangat panik melihat Gavin tadi. "Kenapa dia bisa ada di sini?" Begitu tanya Jovi dalam hatinya. Gadis itu berusaha tenang di atas tempat tidur. Ia ingat barusan dirinya telah bermimpi buruk. Bermimpi tentang malam mencekam yang menghabiskan seluruh anggota keluarganya. Tapi ada yang aneh, di mimpi itu muncul Gavin. Terasa sekali jika Gavin ingin menolongnya. Hingga dirinya bangun dan menyadari bahwa Gavin benar-benar ada di sampingnya. Lebih tepatnya di samping tempat tidur.  "Mungkinkah, Gavin tadi berusaha membangunkan aku? Ah, kenapa tadi aku langsung mengusirnya. Bukannya ditanyain dulu. Tapi kalau dia emang punya niat jahat sama aku. Gimana, kenapa sih aku jadi bingung sendiri sih," gumam Jovi sendiri. Malam itu, setelah bermimpi buruk. Jovi tidak bisa tidur. Ia berusaha terpejam tapi gagal. Bayangan pencuri itu kembali menghantuinya. Namun, terkadang wajah Gavin ikut muncul menjadi ingatan yang cukup mengganggu.  "Jadi keinget dia terus," batin Jovi kesal. ** Gavin, pagi ini merasa masih mengantuk. Ia pun terpaksa sarapan dengan mata yang berat.  Kevin memperhatikan putranya itu. Ia berusaha menarik nafas dalam. Ada hal yang ingin disampaikan pada Gavin mengenai Jovi. Ia sedikit merasa bersalah karena mengambil keputusan sendiri dalam mengadopsi Jovi. "Namanya Jovi, dia anak pak Chandra yang dulu sempat menolong papa waktu keluarga kita bangkrut. Papanya juga yang belain buat ngantar kamu ke rumah sakit," ucap Kevin tiba-tiba. Tak ada jawaban, hening. Gavin hanya diam membisu sambil menelan sisa makanan yang ada di piring.  "Seluruh anggota keluarganya meninggal makanya Papa memutuskan untuk mengadopsi dia," jelas Kevin sekali lagi. Gavin sedikit terkejut mendengar penjelasan Kevin barusan. Ia menghentikan suapan dari piringnya. Digerakkan kepalanya menghadap sang papa yang sedang berwajah serius. "Gimana bisa anggota keluarganya meninggal semua?" Kevin dengan nada suara yang berat berusaha bercerita satu persatu tentang Jovi. Seiring menit yang terus berjalan Gavin mulai memahami niat baik sama papa. Namun ia masih belum bisa menerima kehadiran Jovi sepenuhnya. "Bagaimanapun juga aku perlu adaptasi Pa. Kehadiran orang asing sebagai anggota baru keluarga kita itu bukan hal sepele," ucap Gavin. ** Hari-hari berlalu begitu cepat. Tak banyak interaksi yang terjadi antara Gavin dan Jovi. Meski sempat mereka berdua bertemu. Namun tak ada panggilan atau teguran. Rasanya hampa seperti botol kosong. Meski begitu, Gavin diam-diam memperhatikan Jovi yang berjuang untuk hidupnya.  Masa penyembuhan kaki Jovi berjalan begitu cepat. Baru beberapa minggu, gadis itu bisa terlepas dari kursi rodanya. Sementara, mental Jovi yang sempat rapuh dan tak bisa mengenal pria asing akibat pelecehan yang diterimanya. Masih menjadi beban pikiran seorang Kevin.  Di siang yang begitu sempurna cerahnya, tepatnya minggu ke tiga di bulan itu. Kevin sedang memantau kesehatan psikis Jovi. Ia merasa masih belum ada perkembangan. Setiap kali ia dipaksa untuk berkenalan dengan pria. Selalu penolakan yang ia berikan.  Jovi berusaha menghindar. Ia terus saja merasa terancam saat harus bertemu lawan jenisnya.  "Apa dia akan selamanya seperti itu Dokter?" tanya Kevin pada wanita bernama Ana, seorang dokter yang dipercaya untuk menangani mental Jovi. "Saya rasa tidak. Harusnya Jovi bisa disembuhkan tapi memang dibutuhkan waktu yang cukup lama. Selagi dia masih produktif, mau belajar dan melakukan hal-hal yang bermanfaat. Saya rasa masih ada harapan." Terang dokter Ana. Kevin menarik napas begitu panjang tak ada kelegaan mendengar penjelasan dari dokter Ana. "Apa hal seperti itu termasuk gangguan jiwa Dokter?" Ana tersenyum. Dirinya sering mendapatkan pertanyaan itu saat menangani pasien dengan diagnosa seperti Jovi. Ia lantas menatap Kevin dengan begitu serius. "Dia hanya mengalami sindrom trauma. Bukan gila. Jadi, jangan sekalipun berpikir tentang itu. Jika Jovi mendengar, dia pasti akan syok. Pak, buat dia mau bercerita dengan Pak Kevin atau Gavin jika perlu. Itu bisa mempengaruhi proses penyembuhannya. Saya rasa sudah cukup untuk hari ini, saya permisi dulu," ucap Ana berpamitan. Semua penjelasan dari dokter Ana tanpa sengaja didengar oleh Gavin. Tiba-tiba saja muncul rasa iba yang cukup tinggi. "Dia pasti terpuruk. Ah, kenapa aku jadi peduli," batin Gavin yang berada tak jauh dari papanya berada.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD