Usaha Menolong Jovi

1059 Words
Surat kabar dengan tagline nyawa satu keluarga yang habis dalam satu malam. Sedikit mencuri perhatian seorang Kevin. Ia yang biasanya hanya membaca informasi bisnis. Entah mengapa hatinya tergerak untuk memperhatikan berita kriminal tersebut. Kevin mengambilnya membuka surat kabar tersebut lembar demi lembar. Dicari berita dengan judul yang sama. Ia pun mulai membacanya. Seiring berjalannya detik, ekspresi wajah Kevin berubah. "Ini kan keluarga Chanda?" batin Kevin. ** Gadis itu masih terpaku dan diam di atas kursi roda. Tatapannya senduh dan tak bersemangat. Andai boleh memilih, ingin diakhiri saja hidupnya. Apalagi mengingat malam berdarah yang menewaskan seluruh keluarga, membuat air matanya kembali jatuh. "Jovi ada yang ingin bertemu denganmu." Tante Maya datang menghampiri gadis itu. Disentuh dengan lembut pundaknya yang tampak rapuh. Jovi bergerak memutar kursi roda. Ia melihat wajah pria asing yang spontan membuatnya menjerit. "Tenang sayang, ini Om Kevin. Kamu lupa?" tanya Kevin menghampiri Jovi. Ia memegang lutut Jovi. Berharap gadis itu bisa menerima dirinya.  Jovi berusaha mengingat sosok dan wajah yang sedang ada di depannya. Matanya kembali mengeluarkan bulir bening. Ia ingat pria di depannya. Pria yang pernah ditolong oleh papanya beberapa tahun yang lalu. Lalu mereka menjalin hubungan yang baik. "Om Kevin," sapa Jovi terbata-bata. "Iya Jovi. Ini Om Kevin." Perbincangan antara Jovi dan Kevin terjadi. Tak lama kemudian Derry pulang dari kantor.  Mendapati ada seorang tamu, ia pun mendekat kearah Jovi. Diperhatikan sosok yang tampak akrab dengan keponakannya itu. "Anda siapa?"   Perkenalan pun terjadi, Kevin menceritakan niat kedatangannya ke rumah Derry. Setelah cukup lama terjadi pembicaraan antara Derry, Maya dan Kevin keputusan akhir pun diambil. "Sulit, tapi dilihat dari sisi materi. Saya masih belum mampu untuk membiayai pengobatan Jovi. Apalagi sekarang perusahaan saya juga sedang terombang-ambing." Derry berusaha menjelaskan. Ia ingat sebesar apa tanggungan biaya perusahaannya yang harus membayar sisa gaji karyawan yang masih bekerja. "Jadi?" tanya Kevin memastikan. "Kalau Pak Kevin bersedia melakukan pengobatan untuk Jovi. Saya setuju, Pak Kevin mengadopsi Jovi. Asal kami masih bisa menghubunginya." Derry mencoba untuk yakin dengan keputusannya. Maya menangis sambil memeluk Jovi yang beku mendengar percakapan Derry dan Kevin. Jovi tahu keluarga pamannya memang bukan orang yang begitu kaya. Tapi, diadopsi oleh keluarga Kevin adalah hal yang tak pernah terpikirkan oleh Jovi sebelum ini. Bahkan baginya bukan jalan keluar dari masalahnya. Sayangnya, Jovi tak bisa berbuat apa-apa. Ia mau tidak mau harus setuju dan mau menjadi anggota keluarga Armano. "Maafkan kami ya Jov, andai kami punya cukup uang," ucap Maya memelas pada Jovi. Jovi terisak dalam diam. Ia berusaha yakin hidupnya bisa kembali pulih. Meski rasanya itu seperti mimpi yang sulit terwujud. Digerakkan tangannya menghapus air mata. ** Malam ini menjadi malam yang berat. Keadaan Jovi yang hanya bisa berada di kursi roda. Belum lagi dampak psikis yang diterima, ketakutannya pada lawan jenis yang tidak dikenalnya terlalu berlebihan semenjak pelecehan yang diterima saat malam naas itu terjadi. Menjadi alasan dirinya harus diobati.  Keterbatasan biaya yang dimiliki keluarga pamannya membuatnya terjebak di kediaman keluarga Kevin Armano. Pria single parents yang akhirnya memutuskan untuk mengadopsi Jovi sebagai balas budi kepada papa Jovi yang dulu pernah menolongnya. Meski Jovi menerima keputusan itu. Tapi, tak semudah itu juga perasaannya bisa senyaman di keluarga pamannya sendiri. Gadis kecil itu butuh penyesuaian.  Mobil yang dikendarai Kevin Armano mulai masuk ke pelataran rumahnya. Berbaris dengan sebuah mobil sport berwarna hitam. Seorang petugas keamanan dipanggil oleh Kevin. Ia ditugaskan untuk mengantar Jovi ke kamarnya.  "Maaf Om, tolong suruh pembantu wanita saja. Aku masih trauma dengan yang terjadi padaku malam itu," ungkap Jovi.  "Iya, maaf Jovi. Om lupa," sahut Kevin. Menuju ke salah satu kamar di kediaman keluarga Armano. Membuat Jovi teringat tempat tinggalnya sendiri. Desain interior yang terlihat klasik begitu kental dengan sedikit sentuhan mewah. Tangga melingkar yang begitu persis dengan yang ada di rumahnya.  "Kenapa Tuhan kirim aku ke tempat seperti ini?" batin Jovi. Ia kemudian membuang muka mencari sisi lain yang bisa dilihatnya.  Ada sebuah foto keluarga terpasang di dinding lorong. Tampak pria yang tak lain Kevin Armano dan seorang wanita. Juga pria kecil berwajah seperti artis Korea. Mirip wanita yang di sampingnya. "Tampan sekali," batin Jovi melihat foto pria kecil yang berada di antara kedua orang itu. Sejenak, Jovi ingin memperhatikan dengan begitu seksama. Ia memberi kode pada pembantu yang mengantarnya untuk diam sejenak. "Itu siapa?" tanya Jovi pada pembantunya, panggil saja Lisa. "Dia Mas Gavin. Anak tunggal Pak Kevin. Kenapa Non?"  "Enggak kenapa-napa." Siapa sangka pria yang dibicarakan Jovi muncul dari arah depannya. Ia baru keluar dari ruang perpustakaan keluarga yang terletak di ujung lorong. Pria itu sedikit melihat ke arah Jovi.  Pandangan matanya dingin membuat beku tubuh Jovi yang memang tak bisa berbuat banyak.  Jovi langsung membuang wajahnya. Tak ingin bertatapan lebih lama lagi.  ** Di dalam kamarnya, Jovi berusaha menenangkan diri. Tubuhnya lelah dan kantuk menyerang cepat. Tapi, rasanya belum ingin tidur. Ingin bangun dari tempat tidur tapi sulit bergerak.  Jovi memandang langit kamar. Membiarkan bayangan masa lalu menghantuinya. Wajah riang kedua orangtuanya yang muncul begitu dirindukan.  Kedipan mata ditekan begitu lama. Beban berat harus ditanggung di usia sedini ini. Dibuka perlahan matanya yang tertutup. Lagi-lagi hanya langit kamar rumah keluarga Armano yang dilihat. "Ahhh, memang kenyataannya aku ada di sini sekarang," gumam Jovi sendiri. Kini ia berusaha memejamkan matanya agar benar-benar mau terpejam dan masuk ke dunia mimpi. ** Tak ada yang mengerti bagaimana waktu akan memberi cerita pada setiap manusia. Begitupun Gavin yang masih sadar di hari yang cukup malam ini.   Ia memandang langit malam dari balkon kamarnya. dirasakan angin dingin menyentuh kulitnya.  Rasa kecewa muncul menyelimuti hati sejak tadi. Kedatangan Jovi, pasti akan membuat hubungannya dengan sang papa sedikit menjauh. Tak ada pemberitahuan dari Kevin tentang rencana adopsi anak dari keluarga Chandra itu. Gavin merasa dianaktirikan. Sudah pasti hanya ada rasa benci untuk Jovi.  "Hahhhh, andai Mama masih ada," ucap Gavin pada dirinya sendiri. Tiba-tiba terdengar suara yang begitu lirih. Seperti jeritan yang tertahan di tenggorokan. Gavin berusaha mencarinya. Pendengarannya dipertajam seiring runtuhan yang begitu menyayat untuk didengar. "Suaranya kayak dari kamar sebelah," pikir Gavin yang kamarnya bersebelahan dengan Jovi. Gavin berusaha tak peduli. Ia ingat jika kamar di sampingnya sudah dihuni oleh seorang gadis yang duduk di kursi roda. Acuh dengan apa yang sedang terjadi. Ia merasa tak kuat menahan diri agar tidak melihat apa yang terjadi. "Ahhh, kenapa makin lama rintihannya makin terdengar seram. Apa dia ada masalah," batin Gavin lagi. Padahal dirinya sendiri juga tak tahu siapa dan bagaimana gadis itu bisa masuk ke rumahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD