#Andarini.
[Rin, transfer duit sepuluh juta sekarang.] Aku mengambil napas dalam-dalam membaca pesan dari Mas Hakam.
Tidak pernah berubah. Selalu saja menadahkan tangan tanpa rasa malu. Sudah berkhianat, masih mengharapkan uang dariku juga. Tidak akan kuberikan walaupun hanya sepeser saja.
Pasti saat ini dia sedang kebingungan karena sudah jatuh tempo p********n angsuran mobil, dan gajinya tidak cukup untuk menutupi kebutuhannya.
Kita lihat saja, Mas. Sampai kapan kamu akan bertahan dengan kemiskinan yang selalu berusaha kamu hindari.
Makanya, kalau susah jangan bertingkah. Jadi repot sendiri 'kan?
Lagi, ponsel yang tergeletak di atas meja kembali berdering. Ada panggilan masuk dari Mas Hakam, namun sengaja kuabaikan. Aku juga tidak memblokir nomernya, karena ada kepuasan tersendiri jika melihat dia terus saja memohon kepadaku.
Bukannya sombong. Tapi selama ini sudah terlalu baik kepada keluarga tidak tahu diri itu, tetapi semua kebaikan yang kuberikan malah dibalas dengan pengkhianatan. Air s**u dibalas air tuba kalau kata pepatah.
***
Hari telah menjelma menjadi petang. Aku melirik benda bulat yang melingkar di pergelangan tangan, dan ternyata sudah pukul sembilan malam. Gegas menyuruh Devi serta beberapa anak buah untuk menutup toko, bergegas pulang sebab tubuh sudah terasa letih terlebih lagi hati ini.
Argh!
Memukul stir ketika sampai di halaman rumah ternyata Ratih sudah berdiri di depan pintu pagar, menyilang tangan di depan d**a sambil menghisap sigaret.
Benar-benar ini perempuan. Katanya sedang mengandung. Tetapi masih merokok. Tidak kasihan apa dengan calon buah hatinya?
Dengan perasaan dongkol turun dari kendaraan roda empatku, menghampiri Ratih, penasaran ingin tahu maksud kedatangannya ke rumah. Membawa koper besar pula.
"Eh, kamu sudah pulang?" sapanya tanpa terlebih dahulu mematikan rokok yang sedang dia hisap, membuat aku terbatuk karena tanpa sengaja menghirup asapnya yang mengepul di udara.
"Kamu mau ngapain, Ratih?" Menatap menghunus wajah wanita ulet bulu itu, menelisik tampilannya yang sudah seperti w****************a yang biasa mangkal di pinggir jalan. Menggunakan hotpants dengan atasan top crop juga rambut tergerai.
Kok bisa ya, Mas Hakam terjerat cinta perempuan jadi-jadian seperti dia.
"Kenapa liatin? kagum ya? Nggak pernah pakai baju seperti ini?"
"Aku memang tidak pernah pakai baju seperti itu, Ratih. Sudah kaya wanita jadi-jadian saja. Kamu mau mangkal ya di pinggir jalan raya?"
"Jaga mulut kamu, Rini!"
Aku tersenyum dan berjalan melewati gundik suamiku kemudian membuka pintu pagar.
Dengan penuh percaya diri Ratih mengayunkan langkah masuk mengikuti, menyeret koper besar yang dia bawa dan lekas duduk di sofa lalu menyuruhku membuatkan minuman.
"Kamu punya kaki dan tangan, untuk apa nyuruh-nyuruh aku? Kamu juga ngapain masuk ke rumah orang tanpa izin!" sungutku kesal.
"Aku mau tinggal di rumah ini juga. Ini kan rumah Mas Hakam!" Sambil memainkan ponsel dia menjawab.
Gemas sekali melihat tingkah j*lang satu ini. Saking gemasnya, ingin rasanya mencubit pipi tembemnya menggunakan pencapit gorengan, supaya dia sadar dari mimpinya dan lekas bangun.
"Kenapa diam? Tidak suka?"
"Oke. Kamu boleh tinggal di rumah ini karena kebetulan aku sedang butuh asisten rumah tangga. Pas banget kalau kamu ingin melamar menjadi asisten rumah tangga aku, Ratih."
Wanita bertubuh sintal itu lekas beranjak dari duduknya dan menghampiriku, mengangkat tangannya hendak mendaratkan tamparan namun segera aku beranjak pergi.
"Heh, Rini! Jangan sombong kamu ya? Jangan mentang-mentang punya banyak uang, kamu bisa semena-mena sama aku!" teriak Ratih seraya berjalan tergopoh mengejarku.
"Rumah ini harta bersama kamu dengan Mas Hakam, jadi termasuk harta gono-gini setelah kalian bercerai."
Aku menoleh memindai wajah yang dipoles make-up tebal itu.
"Coba ulangi sekali lagi, harta gono-gini?" Aku berujar tanpa melepas pandangan sedetik pun kepadanya.
"Iya. Barang yang dibeli setelah kalian menikah itu termasuk harta gono-gini, faham?"
Mengangkat satu ujung bibir merasa salut dengan perjuangan wanita tidak tahu malu itu untuk mendapatkan harta dari Mas Hakam.
"Mimpi!" Menoyor kepala ulet keket itu dan kembali berjalan ke dapur, mengambil spatula yang dulu dibeli menggunakan uang Mas Hakam.
"Ini. Yang termasuk harta gono-gini. Silakan kamu ambil dan kamu bawa, Ratih!" Menyerahkan spatula tersebut sambil menahan tawa melihat ekspresi si perempuan ular.
Jangan harap bisa menguasai harta peninggalan Ayah, karena aku tidak akan pernah membaginya kepada siapa pun. Ini semua milikku dan Mas Hakam tidak berhak sama sekali, apalagi gundik serta ibunya.
"Barang seperti ini kamu kasih ke aku? Kamu meledekku?!" berangnya.
"Memang nyatanya cuma itu yang Mas Hakam punya. Kenapa kamu tidak terima? Memangnya kamu pikir suami kamu itu kaya raya? Jangan kebanyakan mimpi kamu, Markonah! Ngayalnya juga jangan tinggi-tinggi supaya kalau jatuh nggak terlalu sakit!" Aku merespon santai.
Wajah Ratih terlihat semakin memerah padam.
Duh, seram. Tambah kaya kepiting rebus gosong saja!
Ah, entah mengapa gara-gara permasalahan yang sedang aku hadapi diri ini menjadi suka sekali berkata kasar juga mencela ciptaan Tuhan.
Aku mengambil napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan, mencoba tetap santai supaya tidak terpancing emosi yang mulai meninggi. Karena jika sudah marah, maka amarahku akan sulit terkendali dan bisa berbuat kasar serta bar-bar.
"Sekarang sebaiknya kamu pulang, Ratih. Sudah malam. Aku capek pengen istirahat!" usirku.
"Nggak, aku nggak mau pergi. Ini rumah Mas Hakam. Aku mau tinggal di sini!"
Aku menyentak napas kasar. Ingin rasanya menarik secara paksa perempuan itu keluar, akan tetapi takut dia kenapa-kenapa karena saat ini sedang mengandung. Biar pun aku sangat yakin bukan anak Mas Hakam, tapi tetap saja 'kan, bayi di dalam rahimnya tidak bersalah. Dia berhak hidup serta disayangi.
Andai saja Tuhan memberi kesempatan kepadaku untuk mengandung, ah, kenapa jadi terbawa perasaan seperti ini? Aku yakin pasti suatu saat Allah akan memberiku keturunan. Jika pun tidak, banyak anak-anak yatim yang perlu disantuni juga membutuhkan kasih sayang.
"Heh, malah melamun!" Aku terkesiap ketika merasakan perih serta kebas di kepala, karena ternyata Ratih sedang menjambak rambutku.
Segera kutepis tangannya, mendorong tubuh sintal itu scara spontan hingga dia jatuh dengan posisi perut membentur meja. Ratih meringis kesakitan sambil memegangi perut datarnya.
"Kamu tidak apa-apa, Ratih?" tanyaku panik, takut terjadi sesuatu dengan kandungan Ratih.
Wanita dengan dandanan cetar membahana itu tetap diam. Keringat sebiji-biji jagung terlihat membanjiri wajahnya yang sudah memucat dan akhirnya dia jatuh tidak sadarkan diri.