#Hakam
“Mas, aku hamil!” ucap Ratih seraya menunjukkan test pack bergaris dua dan bergelayut manja di pundak.
Aku terkesiap dengan bola mata membulat sempurna mendengar kabar tersebut. Antara bahagia sekaligus takut. Bahagia karena aku memang benar-benar ingin memiliki keturunan, tetapi takut jika sampai Andarini istriku tahu kalau aku diam-diam pernah melakukan hubungan terlarang dengan Ratih.
“Kok kamu diem aja, Mas? Nggak seneng ya, denger kabar kehamilan aku?” Ratih memonyongkan bibir manja.
“Se-seneng kok, Ra. Hanya saja ....” Menggantung kalimat, bingung harus berkata apa.
“Hanya saja apa?” Dia semakin mempererat pelukannya.
Ratih memang begitu agresif. Pertama kenal saja sudah berani peluk-peluk, apalagi setelah kejadian malam itu. Dia semakin berani kepadaku, bahkan sering mengajakku ngamar, namun aku menolak karena cukup sekali saja aku melakukan kesalahan fatal yang melanggar norma agama.
Aku juga tidak tahu kenapa setelah makan masakan Ibu malam itu, tiba-tiba badanku terasa panas dan hasrat ingin melakukan itu menggebu-gebu tanpa bisa aku tahan. Hingga akhirnya ketika pagi menyapa, aku bangun dalam keadaan tanpa sehelai benang pun, juga berdua di dalam kamar bersama Ratih yang notabene bukan pasangan halalku.
“Kok malah melamun?” Aku terperanjat kaget ketika wanita yang mengaku sedang mengandung anakku itu mengguncang kasar bahu ini.
“Enggak, kok. Sekarang aku harus bagaimana, Ra? Kamu hamil anakku, sementara aku masih punya istri dan dia tidak mungkin mau berbagi suami dengan kamu!” Mengelus punggung tangan Ratih, merasa kasihan jika dia sampai hamil tanpa seorang suami.
Lagian, anak dalam kandungannya itu juga ‘kan darah dagingku.
Ah, ternyata benar dugaanku selama ini, kalau Andarinilah yang mandul, bukan aku. Hanya saja karena dia kaya raya dan memiliki segalanya, aku tidak akan melepas dia begitu saja. Aku masih sangat mencintai istriku itu, karena biar bagaimanapun, dia satu-satunya perempuan yang mau menerima diri ini apa adanya, tanpa memandang status bahkan tidak pernah menuntut apa-apa dariku. ‘Kan seneng punya istri cantik, kaya, nggak neko-neko, baik pula.
Ya, meskipun dia mandul.
“Kamu lihat, Hakam. Ratih sekarang sedang mengandung anak kamu. Segera nikahi dia dan ceraikan Rini!” perintah Ibu seraya mengenyakkan b****g perlahan di sofa mahal yang aku beli menggunakan uang istri.
Bagaimana bisa aku menceraikan Rini? Siapa yang akan memberi kita makan dan kekayaan jika dia aku talak. Tidak. Aku harus main cantik. Aku ingin memiliki Rini juga Ratih sekaligus.
“Aku tidak mungkin menceraikan Rini, Bu!” Menyandarkan punggung di penopang kursi yang terbuat dari kayu jati.
“Untuk apa dipertahankan wanita parasit seperti dia. Ibu nggak sudi kekayaan kamu dikuasai sama perempuan mandul itu!”
Andai saja Ibu tahu bahwa yang kaya adalah menantunya, pasti Ibu tidak akan bisa berkata seperti ini.
Sayang. Aku sudah terlanjur mengaku kalau semua kekayaan Rini adalah milikku. Bisa turun pamor kalau mereka sampai tahu ternyata Hakam Zulfikar yang selalu dibanggakan sebenarnya hanya lelaki kere yang menopang hidup kepada istrinya.
“Kamu itu kalau diajak membahas masalah Rini pasti diem. Memangnya apa sih, yang kamu banggakan dari perempuan seperti dia? Dipelet pake ilmu apa sampai kamu begitu bertekuk lutut kepadanya?!”
‘Harta Rini yang membuat aku bertahan, Ibu.’ Aku menjawab dalam hati.
“Pokoknya Mas harus segera menikahi aku, kalau tidak, aku tidak akan segan-segan menggugurkan bayi ini!” ancam Ratih sambil menangis.
“Oke, Mas akan menikahi kamu secara siri tanpa sepengetahuan Rini. Tapi tidak ada pesta ya, Ra. Mas nggak mau Rini sampai tahu dan ngamuk!”
“Aku mau menikah siri tapi harus mengadakan pesta yang mewah. Apa kata orang-orang kalau aku menikah tapi tidak diadakan pesta?”
Astaga! Berbanding terbalik sekali sifat Ratih dengan Andarini. Rini yang notabene dari keluarga berada, tidak pernah neko-neko apalagi banyak gaya. Berbeda sekali dengan Ratih yang selalu ingin tampil seperti orang kaya padahal dia dari kalangan bawah. Kalau bukan karena anak yang tidak bisa aku dapat dari Rini, ogah banget nikah dan hidup bersama dia.
“Tapi, Ra. Mas ....”
“Nggak ada tapi-tapian. Pokoknya aku mau pesta yang mewah di gedung. Ini permintaan calon anak kamu, loh!” potongnya merajuk sambil mengelus-elus perut.
“Bener tuh, Kam. Kalau permintaan orang sedang hamil itu tidak bisa ditolak. Nanti anak kamu ngileran. Lagian paling habis berapa sih, Kam. Sudahlah, turuti saja. Jangan sampai ditolak. Jangan pelit sama calon istri dan calon anak. Ratih itu lagi hamil, jadi harus kamu manjain!” bela Ibu membuatku mati kutu.
Aku mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Bingung sebab saat ini sedang tidak memiliki uang sama sekali. Jangankan ratusan juta untuk sewa gedung juga membayar lain-lainnya, buat makan saja kalau tidak disokong oleh istri aku tidak punya. Rasanya malu sekali jika meminta uang kepada Rini untuk modal nikah.
Ah, Ratih, bikin kepala aku pusing saja!
Pukul sembilan malam aku pulang ke rumah karena biasanya Andarini sudah pulang di jam-jam seperti ini. Tidak mau dia sampai curiga apalagi sampai menyusul ke rumah Ibu. Bisa ada perang besar jika dia sampai tahu aku telah mengkhianati cintanya, berbagi raga dengan perempuan lain hingga wanita itu mengandung benihku.
Setelah beberapa menit menembus kemacetan kota, gegas menepikan mobil di depan rumah dan ternyata Andarini sudah pulang.
Wanita berambut panjang itu segera menyambut dengan senyum hangat kedatanganku, menyalami tangan ini lalu mencium bagian punggungnya dengan khidmat. Rasanya tidak tega jika sampai menduakan cinta perempuan sebaik dia.
Tapi, aku juga tidak bisa meninggalkan Ratih. Dia sedang mengandung anakku, benih cinta yang tidak bisa Rini berikan kepada diriku.
“Kamu kenapa, Mas? Lagi ada masalah?” tanya Rini seraya menatap dalam-dalam manik hitamku.
Aku bingung harus menjawab apa. Haruskah berbohong dan meminta sejumlah uang untuk modal menikah dengan Ratih?
Sepertinya memang tidak ada jalan lain. Terpaksa harus membohongi dia supaya bisa menikahi wanita yang telah aku hamili.
“Sayang. Mas boleh nggak pinjam uang lima ratus juta untuk modal usaha?” Dengan susah payah mengeluarkan kata-kata tersebut.
Rini terlihat menghela napas berat. Dia lalu menoleh ke arahku, mengusap lembut pipi ini sambil tersenyum manja.
“Uang aku baru dipake buat buka cabang baru, Mas. Tapi aku punya perhiasan yang jika dijual harganya melebihi uang yang kamu butuhkan. Memangnya kamu mau buka usaha apa?”
Uhuk!
Tersedak ludah sendiri mendengar pertanyaan dari istri.
“Em...anu, teman ngajakin join bisnis. Mas bosen jadi karyawan. Pengen punya usaha sendiri supaya bisa membahagiakan hidup kamu, tidak terus menerus merepotkan kamu jika Mas memiliki penghasilan yang besar. Tidak kere seperti sekarang. Mas malu sama kamu, Rin!”
“Ya Allah, Mas. Aku itu nggak masalah walaupun kamu berpenghasilan minim, yang penting kamu sayang sama aku.”
Aku menatap lamat-lamat wajah cantiknya. Rasa bersalah tiba-tiba menyelusup di dalam sanubari, karena telah berani mengkhianati cinta Rini yang begitu tulus. Padahal jika dipikir-pikir perbedaan antara Ratih dan Rini itu bagaikan langit dan bumi. Rini begitu cantik memesona dengan kulit putih bersih serta mata bulat indah, sedangkan Ratih, ah, pokoknya jauh sekali perbedaannya.
Tapi mau bagaimana lagi. Dia cantik tapi mandul. Sedangkan Ratih biasa-biasa saja tapi bisa memberikan aku keturunan. Nanti setelah nikah aku bisa kembali meminta sejumlah uang untuk mempermak wajah istri baruku itu.
Lagian enak juga punya istri dua. Bisa menggilir cinta jika salah satu dari mereka sedang halangan serta tidak bisa melayani.
Uh, senangnya membayangkan diapit oleh dua orang wanita yang sama-sama bisa melengkapi hidupku. Nggak sia-sia mempunyai wajah tampan walaupun kantong pas-pasan.
Setelah menjual perhiasan yang diberikan oleh Rini aku segera mempersiapkan pernikahanku dengan Ratih. Menuruti segala permintaannya, takut anakku ngileran jika tidak dikabulkan.
Namun, diacara pernikahan yang dihelat begitu besar tiba-tiba Rini datang melabrak, menghancurkan acaraku dan bahkan saat ini dia memilih berpisah denganku.
Sial! Bisa kelaparan dan tidak bisa menyenangkan hati keluarga jika sampai berpisah dengan dia. Aku akan berusaha mempertahankan Rini, demi uang yang selalu dia berikan, juga anak yang ada di dalam kandungan Ratih. Aku tidak mau kehilangan semuanya.
Tanpa terasa sepekan sudah aku tidak bertemu dengan istri. Dia selalu menghindari diriku, padahal aku begitu membutuhkan uang untuk membayar angsuran mobil. Sebab seluruh gajiku sudah diberikan kepada Ibu serta Ratih, dan sekarang aku hanya memegang uang sebesar lima puluh ribu saja. Bagaimana caranya bisa membayar cicilan mobil kalau tidak meminta kepada Andarini.
[Rin, transfer duit sepuluh juta sekarang.] Kukirim pesan kepada Rini walaupun tidak pernah dibalas. Padahal di pojokan layar aku lihat kalau saat ini dia sedang online.
Dasar istri durhaka. Suami butuh uang bukannya segera dibaca pesannya malah diabaikan. Sudah mulai sombong rupanya dia!