“Kamu gila Mas? Kamu mau jadikan aku istri kedua kamu?” tanya Alma marah.
“Untuk saat ini hanya itu yang bisa aku lakukan supaya bisa meyakinkan kamu. Hanya itu cara supaya aku bisa mengikat kamu, mungkin dengan berjalannya waktu aku coba cari cara untuk berpisah dengan Karin. Aku nggak mencintai Karin sama sekali, aku nggak ma…”
“Aku nggak mau Mas. Aku nggak mau seperti Ibu kamu nantinya, menjadi wanita yang nggak aakn pernah terlihat dan nggak dianggap. Kamu jelas tahu bagaimana rasa sakitnya Ibu kamu, tapi kenapa kamu mau buat aku sama seperti Ibu kamu? Bagaimana kalau akhirnya kamu nggak bisa berpisah sama Ibu Karin? Aku akan tetap menjadi wanita simpanan kamu Mas. Kalau kita punya anak dan anakku akan menjadi anak kamu sama Bu Karin, aku nggak bisa terima itu,” tegas Alma.
“Aku nggak akan biarin kamu sama seperti Ibu. Aku sangat mencintai kamu, aku akan berjuang untuk kamu. Aku pasti akan menceraikan Karin, tapi kasih aku waktu untuk bisa melakukan itu. Nggak akan mudah untuk aku berpisah sama Karin, aku butuh alasan yang jelas. Jadi tolo…”
“Papa kamu juga cinta sama Ibu kamu Mas, tapi dia nggak benar-benar berjuang untuk Ibu kamu. Papa kamu tega membiarkan Ibu kamu tetap menjadi istri kedua dan nggak pernah dianggap ada. Bahkan semua orang tahunya kamu anak dari istri pertamanya, bukan dari Ibu kamu. Bukankah Papa kamu juga hanya mencintai Ibu kamu? Lalu apakah hal yang sama juga nggak akan bisa terjadi? Bagaimanapun kamu anaknya Papa kamu Mas,” sarkas Alma membuat Ezra terdiam. Alma membuka pintu kamar.
“Silahkan keluar Mas, aku mau tidur. Tolong jangan ganggu aku malam ini, aku butuh waktu sendiri. Lagi pula sudah tidak ada apa-apa lagi di antara kita. Nggak ada alasan untuk kita bertahan, anak yang kukandung sudah tidak ada. Ayo kita bersikap professional selama di kantor, aku nggak mau orang salah paham dengan kita.”
“Tapi Mas tahu kalau kamu juga punya perasaan yang sama, kamu mencintai Mas,” tegas Ezra.
“Lalu kalau aku mencintai Mas Ezra apakah itu akan menjadi suatu jaminan untuk aku bisa hidup bahagia sama kamu Mas? Menjadi orang yang kedua jelas nggak enak Mas, aku nggak akan pernah menjadi orang pertama dan yang utama. Aku hanya akan menjadi cadangan Mas, aku tidak akan pernah menjadi prioritas.”
“Jadi apa yang kamu inginkan sekarang?” tanya Ezra merasa frustasi.
“Aku hanya ingin Mas Ezra pergi sekarang,” usir Alma.
Ezra menghela napasnya lalu mengambil pakaiannya dan dibawanya keluar. Alma langsung saja menutup pintu kamarnya bahkan menguncinya agar Ezra tak masuk. Alma menghela napasnya dan bersandar di belakang pintu. Alma menangkup wajahnya dengan perlahan duduk di lantai. Ia tidak tahu harus bagaimana sekarang, Alma hanya bisa menangis pada malam itu.
***
Ke esokkan harinya Alma terbangun dari tidurnya lalu segera masuk ke dalam kamar mandi untuk mandi. Bagaimanapun ia harus bekerja, Alma berusaha menyelesaikan tanggung jawabnya selama satu tahun. Setelah itu ia berjanji akan segera keluar dari perusahaan milik Ezra.
Setelah selesai mandi dan menyiapkan dirinya, Alma keluar dari kamar untuk menyiapkan sarapan. Namun Alma terkejut melihat Ezra yang tidur di sofa. Alma pikir bahwa Ezra sudah pulang tadi malam. Wanita itu mendekat dan melihat wajah damai milik Ezra.
Tangannya perlahan terulur hendak mengelus wajah Ezra yang biasa sering dilakukannya setiap Ezra tidur di sampingnya. Namun kini Alma menahannya dan menarik kembali tangannya. Alma hanya melihat saja lalu menghela napasnya kasar.
Wanita itu berjalan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan untuknya. Alma tak menyiapkan makanan yang spesial, masak nasi goreng dengan telur saja sudah cukup baginya. Lalu tiba-tiba Ezra terbangun dan melihat Alma yang sedang berkutat di dapur.
Senyum mengembang dibibir Ezra, hal yang sangat ingin dilihat dan diinginkannya setiap pagi. Melihat wanita yang dicintainya sedang memasak, dengan perlahan Ezra mendekat lalu memeluk Alma dari belakang membuat wanita itu terkejut.
“Ya ampun Mas!” teriak Alma sambil berbalik dan mendorong Ezra. “Kamu bisa jangan kayak gini nggak?” tanya Alma kesal.
“Kenapa? Kamu takut akan luluh ya?” goda Ezra membuat Alma berdecak.
“Aku pikir kamu pulang tadi malam. Kenapa nggak pulang? Istri dan anak kamu jelas nungguin, jangan bauat mere…”
“Kamu cemburu? Apapun alasanku ke mereka biar itu menjadi urusanku. Mas nggak akan ninggalin kamu lagi, keadaan kamu tadi malam juga sedang tidak baik. Mas nggak akan mungkin tinggalin kamu seperti itu. Wangi banget, kamu masak apa?” tanya Ezra sambil mengintip di balik punggung Alma. Wanita itu langsung saja berbalik dan mematikan kompornya.
“Nasi goreng,” jawab Alma ketus.
“Mas jadi lapar, tadi malam belum makan. Selesai dari kantor Mas langsung ke sini untuk ketemu kamu,” ungkap Ezra membuat Alma menghela napasnya kasar.
“Lebih baik Mas Ezra mandi, ini udah pagi dan harus ke kantor,” kata Alma dengan ketus.
Tapi Ezra tersenyum mendengarnya, walaupun sedang kesal Ezra tahu bahwa Alma peduli padanya. Pria itu mencuri ciuman dipipi Alma lalu langsung berlari. Alma ingin memukul Ezra, namun tak jadi karena pria itu sudah melarikan diri.
Alma menghela napasnya kasar dan melanjutkan masakannya. Tak lama Ezra keluar dari kamar sudah berpakaian, namun kemejanya masih belum dipakai. Rambutnya masih basah dan Alma melihat hal itu berdecak.
“Kenapa rambutnya masih basah kayak gitu sih? Nggak bisa dikeringin dulu?” tanya Alma kesal.
“Nungguin kamu,” goda Ezra membuat Alma berdecak.
Wanita itu masuk ke dalam kamar dan segera mengambil handuk untuk mengeringkan rambut Ezra kembali dengan handuk. Pria itu tersenyum senang karena kembali mendapat perhatian dari Alma. Setelah tidak terlalu basah Alma meletakkan handuknya kembali dengan membawa kemeja Ezra yang memang ada di lemarinya.
“Makasih sayang, gimana aku nggak makin jatuh cinta sama kamu,” goda Ezra lagi membuat Alma menatap pria itu sinis. Lalu Ezra mencicipi kopi buatan Alma yang menjadi favoritnya. “Selalu enak,” puji Ezra.
Alma tak menjawab, wanita itu sibuk memakan makanannya. Makanan Ezra juga sudah tersedia, bagaimana bisa Ezra tak jatuh cinta pada Alma jika semua yang diharapkan Ezra ada pada Alma. Saat makan, handphone Alma berdering. Wanita itu melihat nama yang sedang menghubunginya. Alma melirik ke arah Ezra sehingga pandangan keduanya bertemu.
“Kenapa nggak diangkat?” tanya Ezra sambil mengunyah makanannya. Alma bertimbang ingin mengangkat panggilan tersebut. “Pacar kamu?” tebak Ezra lagi. Alma merasa kesal dengan Ezra, akhirnya ia mengangkat panggilan dari kekasihnya itu.
“Hallo,” sapa Alma.
“Kamu ada di mana?” tanya Rey marah membuat Alma menahan napasnya sejenak.
“Kenapa? Aku ada di rumah,” jawab Alma pelan.
“Bohong, kamu di mana sekarang? Jawab aku! Rumah mana yang kamu maksud? Bahkan aku udah di depan rumah kamu dan katanya kamu sudah tidak tinggal di sini lagi. Kamu pindah tanpa bilang sama aku? Ke mana kamu sebenarnya pergi? Sejak kapan kamu belajar bohong sama aku Alma?” tanya Rey marah membuat Alma menghela napasnya.
“Nanti sore kita ketemu. Kamu bisa? Aku kasih tahu kamu nanti tempatnya di mana,” kata Alma.
“Oke bisa, aku tunggu kabar dari kamu.” Setelah mengatakan itu Rey mematikan sambungannya, Alma kembali meletakkan handphone di atas meja.
“Pacar kamu bilang apa?” tanya Ezra.
“Bukan urusan kamu, Mas,” jawab Alma ketus.
Ezra tak menanyakan apapun lagi, ia membiarkan Alma menikmati makanannya. Setelah selesai sarapan Alma membereskan meja dan kembali ke kamar untuk mengganti pakaiannya. Saat mengganti pakaiannya Ezra tiba-tiba masuk membuat Alma terkejut.
“Sayang, bantu pake dasinya dong. Mas nggak bisa,” rengek Ezra manja sambil mendekati Alma. Dengan cepat Alma menarik reseleting rok miliknya.
“Apa sih yang kamu bisa,” sindir Alma sambil memasang dadi milik Ezra. Pria itu tersenyum lalu menarik Alma agar semakin mendekat padanya, Ezra memeluk pinggang Alma.
“Mas, lepas. Jangan seper…”
“Mas akan semakin bergantung sama kamu, supaya Mas akan semakin sulit untuk pergi dari kamu. Mas akan selalu mengandalkan kamu,” tegas Ezra membuat Alma menghela napasnya. Alma tak mengatakan apapun lagi dan menyelesaikan tugasnya. “Ayo kita berangkat,” ajak Ezra.
“Mas Ezra berangkat duluan aja, aku berangkat sendiri. Apa kata mereka kalau lihat kita datangnya sama.”
“Gapapa, bilang aja ketemu di depan atau apalah. Lagi pula yang parkir di parkiran tempat Mas sedikit nggak akan ketahuan, banyak alasan yang masuk akal. Kamu nggak usah takut gitu.” Ezra mencoba meyakinkan.
“Mas Ezra yakin?”
“Iya, lagi pula kita satu tujuan. Untuk apa pergi dengan cara yang berbeda, sama saja,” kata Ezra lagi mencoba meyakinkan.
Alma akhirnya setuju untuk pergi bersama Ezra. Mereka turun menuju parkiran secara bersama dan pergi dari sana. Tak butuh waktu lama untuk mereka tiba di kantor, karena memang apartementnya dekat dengan kantor. Ezra membeli apartment itu agar mudah baginya untuk menemui Alma setiap pulang bekerja. Alma langsung saja turun dari mobil Ezra membuat pria itu juga cepat-cepat hendak turun.
“Alma, tunggu.” Ezra bahkan sampai menahan lengan Alma.
“Ezra,” panggil Raffi yang merupakan Kakak dari Ezra. “Dia siapa? Kenapa kalian bisa pergi bersama?” tanya pria itu membuat jantung Alma seketika berpacu dengan cepat.