Malam Pertama

1220 Words
“Astaga, lupa bawa sempak.” Seketika Juanda teringat bahwa dia lupa membawa pakaian dalamnya ke kamar mandi. Saking terburu-buru, dia hanya pergi dirinya sendiri. Sebenarnya tak ada yang mendesaknya untuk segera mandi, hanya saja dia gugup saat mata cokelat istrinya memandang dirinya. Biar mana pun malam ini adalah malam pertama. Seorang perjaka yang mendadak jadi suami tanpa perhitungan yang matang dan mungkin hasratnya secara tidak langsung meningkat dan memintanya untuk segera menafkahi Alma. Sudah terlanjur mandi, Juanda menutup tubuhnya dengan bathrobe. Ada yang beda dalam dirinya. Kebimbangan dan rasa risih jika harus keluar dari kamar mandi. Padahal tubuhnya tertutup, tapi bagian dalam tak polos. Berbagai pikiran menjurus seperti sarang laba-laba dalam kepalanya. Juanda berulang kali mendesah. Dia keluar, lalu masuk lagi, berkali-kali sampai membuat Alma yang duduk di atas ranjang mengerutkan alisnya. “Kenapa?” tanya Alma singkat. Juanda gugup menutup pintu kamar mandi kemudian menoleh. “Lu gak mandi?” “Mandi.” “Terus ngapain di situ lagi?” Kenapa dia jadi marah? Alma malah heran dengan gelagat suaminya. Sekejap marah, sekejap baik. “Tunggu, Mas.” Juanda kikuk. “Gua udah selesai. Mandi sana!” Alma menegakkan tubuhnya, dia berjalan menghampiri Juanda, seketika langkah kaki Juanda mundur. Alma pun terkekeh geli. “Kenapa lu? Ada yang lucu?” Alma menggeleng kepala, lalu pergi meninggalkan Juanda yang menghela napas lega. Kenapa gua bertingkah kaya perempuan? Harusnya dia yang malu. Kenapa jadi gua sekarang? Astaga. Juanda bingung dengan apa yang terjadi dalam dirinya saat ini. Dari yang diketahui dari Dika, harusnya perempuan itu di malam pertama malu-malu saat digoda dan ditatap oleh suami, tapi kenapa Juanda merasakan sebaliknya? Ada yang gak beres dalam diri gua. “Mas—” “Astaga.” Juanda terkejut, buru-buru mengikat bathrobe-nya lagi. “Lu bisa gak, gak bikin orang kaget?” “Maaf.” “Ngapain lu keluar lagi?” Juanda meninggi. “Boleh bantu bukakan ritsleting?” Juanda meneguk keras salivanya. “Gak.” “Tolong!” Alma mengedipkan mata. “Lu punya dua tangan. Ngapain ngerepotin orang?” Seharusnya ini menjadi momen paling menarik. Tapi apalah daya jika Juanda mempertahankan rasa gengsinya pada Alma. Dia pernah berkata tak ingin menjalani kehidupan pernikahan sebagaimana mestinya. Harus ada skat di antara mereka. “Ok.” Alma kembali masuk ke dalam kamar mandi. “Almarhum!” Yang dipanggil tak keluar. “Oy, Almarhum! Mau gua bantu gak?” Juanda pada akhirnya tak tega. Alma kembali keluar. “Nama saya Sabriya Almahira, Mas.” “Suka-suka gua mau panggil apa. Sini lu!” Alma mendekat, langsung memunggungi suaminya. Juanda segera menarik ujung zipper, tapi malah membuat keningnya berkeringat karena nyangkut di payet. “Bisa, Mas?” tanya Alma. Sudah terlalu lama Juanda menarik ujung zipper tapi belum bisa membuka bajunya. “Bentar.” Alma masih bersabar. Jarum jam terus berjalan, entah berapa puluh menit yang mereka lalui hanya untuk membuka zipper gaun saja. “Lu punya gunting gak?” “Buat apa, Mas?” tanya Alma penasaran. “Ini nyangkut. Harus dipotong.” Juanda pergi membuka semua laci untuk mencari gunting tapi tak ada. Akhirnya dia menelpon room service. Tak lama kemudian yang ditelpon datang membawa gunting. Segera Juanda mengambil untuk memotong bagian yang menghambat jalannya zipper. Zipper berhasil dibuka, Juanda seketika tersentak dengan keadaan di dalam bajunya Alma. Buset. Di dalam baju, ada baju lagi. Gua kira bakalan langsung terlihat kulitnya. “Makasih, ya.” “Hmm.” Alma melangkah pergi. Baru dua langkah dia kembali lagi. “Apa lagi?” “Sebelum saya buka cadar di dalam kamar mandi, Mas gak ingin membuka cadar saya?” “Gak.” “Serius ni? Gak penasaran sama wajah saya?” Juanda mendelik tajam. “Gak penting.” “Baiklah.” Alma kali ini benar-benar masuk ke dalam kamar mandi. Juanda menunggu sampai hitungan ke-10. Takut Alma mendadak keluar lagi dan menciduki dirinya yang sedang mengganti pakaian. Semoga aja dia gak buru-buru keluar. Meskipun sudah menghitung, tetap saja Juanda tak yakin dengan Alma. Hingga dia buru-buru memakai pakaiannya. Melempar bathrobe di atas sofa tantra lalu berbaring di atas kasur setelah menyapu bersih kelopak mawar dan melempar burung dari handuk ke lantai. Alma keluar dari kamar mandi, dia kaget dengan apa yang dilakukan suaminya. Tapi dia tak ingin berdebat. Diambil handuk yang berjatuhan, diletakkan di dalam lemari kecil. Lalu dia mengambi bathrobe yang basah lalu disangkutkan. “Mas, shalat sunnah yuk!” “Gua ngantuk.” “Gak jadi malam pertama?” tanya Alma terdengar cukup berani di telinga Juanda. Mata yang terpejam itu langsung melek. “Lu harap gua nyentuh lu? Gak akan pernah.” Lantas Juanda menjawab, tanpa peduli perasaan sang istri. Namun, Alma sama sekali tak menggubris. Sejak memutuskan menerima permintaan Pak Danu untuk menikah dengan Juanda, dia sudah menebalkan telinganya agar ucapan kasar yang keluar dari mulut Juanda tak masuk ke dalam hatinya. “Tadi kita sudah bersentuhan. Malah Mas cium saya di sini.” Alma menunjukkan keningnya. “Terpaksa.” “Biarpun terpaksa, yang penting Mas sudah menyentuh saya.” Juanda memicing mata. “Lu maunya apa sih?” “Nafkah batin.” Juanda tersentak. “Lu gak malu apa minta begituan sama gua?” “Untuk apa malu sama suami sendiri. Lagian itu hak saya,” jawab Alma dengan santai. “Kalau gua gak kasih, sah-sah aja dong.” “Tapi Mas dzalim terhadap saya. Mas gak berniat jadikan saya sebagai Asiah kan? Yang artinya Mas itu … Fir—” “Cukup! … lama-lama lu ngeselin.” “Daripada kita berdebat kusir, lebih baik kita shalat sunnah yuk!” “Gak.” “Ayolah! Sebelum kita melakukan ritual malam pertama, sebaiknya kita shalat sunnah dulu dua rakaat biar ketika saya hamil, Allah menjaga anak kita,” jelas Alma panjang lebar. “Berapa kali gua harus bilang sama lu, bahwa kita ini nikah terpaksa. Gua gak berminat main kuda-kudaan sama lu,” tekan Juanda sebal dengan istrinya yang sangat keras kepala. “Mas, gak nafsu ya?” “Eh!” Juanda tersentak. “Napsu gua bukan sama lu.” Seberapa keras Alma mencoba menggoda suaminya agar luluh, ternyata tak mempan. Mungkin dia butuh banyak waktu. “Baiklah. Kalau nafsunya sudah hidup lagi, bilang ya! Jangan lampiaskan ke mana-mana! Ada saya di sini, gratis dan berpahala.” “Lebih baik gua lampias di luar dari pada lu. Gua bisa lihat mulus apa kagak.” “Awas HIV!” Juanda seketika membisu. Kenapa dia pandai sekali membalas kata-kata gua? Alma meninggalkan Juanda. Dia pergi menggelar sajadah lalu memakai mukenah. “Cadarnya gak dilepas?” “Mau bantu lepas?” Alma menoleh. “Gak,” ketus Juanda memalingkan wajah. Tidur kembali. Beberapa saat kemudian dia menoleh lagi, melihat istrinya sudah takbiratul ihram. Perempuan seperti apa yang gua nikahi? Juanda tak memalingkan wajah. Dia terus memperhatikan Alma sampai selesai shalat. Kini kedua tangan Alma menadah ke langit. “Ya Allah, terima kasih atas segala nikmat yang telah Engkau berikan kepada hamba. Ampuni dosa kedua orangtua hamba yang telah tiada, ampuni dosa suami saya yang masih hidup. Hilangkan semua sifat-sifat jahiliyah dalam dirinya. Semoga dia tidak mengikuti makhluk yang Engkau laknat seperti Fir—” Bruk! Alma kaget saat kepalanya terbentur bantal. “Anjir, dalam doa lu masih menyebut gua Fir’un,” omel Juanda kesal, lantas membuat Alma gemas dan terkekeh geli. “Apa lu?” Juanda mengangkat satu bantal lagi hendak menimpuki kepala Alma.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD