8. Sementara Tinggal Bersama

1034 Words
"Dari pada kamu di rumah sendirian, lebih baik kamu bawa Savira untuk tinggal di sini sementara," ujar Wirna berbicara ke Arsen yang tengah menyantap makan malamnya. Sudah satu minggu anaknya itu tinggal sendiri sebab May sedang dinas ke luar negeri selama satu bulan lamanya. Itulah sebabnya sudah beberapa hari ini dia sering mengunjung Arsen untuk memastikan kalau anaknya itu makan dengan teratur. Walaupun Arsen sudah menikah, tapi Arsen tetap bayi di mata Wirna. Apalagi pria itu doyan kerja tanpa ingat waktu. Kalau tidak diingatkan dan dipaksa untuk makan, mungkin Arsen tidak akan berhenti kerja sekalipun perutnya keroncongan. "Enggak mungkin May izinin, Mah," jawab Arsen. Tanpa perlu bertanya ke May, sudah dapat dipastikan kalau istrinya itu tidak mungkin mengizinkan Savira untuk tinggal di sini. Itulah kenapa mereka memberikan Savira tempat tinggal sendiri. "Yaudah kalau gitu kamu aja yang tinggal di apartnya Savira," usul Wirna tidak mau kehabisan akal. Sudah dua bulan Arsen menikah dengan Savira, tapi sampai saat ini tidak ada kabar gembira yang menyapa telinganya. Tentu saja kabar gembira yang dia maksud adalah kabar kehamilan menantu keduanya. Arsen menggeleng, "Aku rutin berkunjung ke Savira satu minggu sekali, Mah, jadi jangan khawatir." Plak! Wirna menampar kesal bahu Arsen, membuat anak semata wayangnya itu meringis kesakitan. "Kalau sudah dua bulan tapi belum hamil juga, berarti kamu harus jenguk Savira lebih sering!" sentak Wirna jengkel. Arsen mencibir sambil mengusap pundaknya yang terasa perih. Dia tarik napas dalam sebelum membalas perkataan mamanya. "Mungkin memang belum waktunya kali, Mah," Wirna menggeram. "Kamu enggak pengen Savira cepat hamil?" Arsen terdiam atas pertanyaan mamanya. Kalau itu sih jangan ditanya, sudah pasti dia inginkan Savira segera hamil supaya dia tidak perlu lagi repot-repot mengunjunginya di setiap minggu. Arsen jadi berpikir, apa yang mamanya usulkan itu ada benarnya juga. Kalau dia tinggal di satu atap yang sama dengan Savira, dia bisa melakukan hubungan badan lebih sering dengan istri keduanya itu, dan tentu saja kemungkinan besar Savira akan cepat hamil. "Nanti aku coba diskusikan dulu sama Savira dan May." "Untuk apa diskusi? Kamu itu kepala rumah tangga, kamu pemimpinnya, Ar. Itu berarti May dan Savira lah yang harus nurut sama kamu, bukan malah sebaliknya." Ya, memang itu kondrat seorang suami. Tapi sering kali Arsen yang malah kalah suara dengan May. Bukan karena Arsen kurang tegas, tapi karena dia selalu ingin merealisasikan apa yang istrinya inginnya. "Sen, kali ini tolong nurut sama mama." Wirna memohon, tangannya mendarat dipundak Arsen, membuat perhatian Arsen teralihkan ke dirinya. Melihat ekspresi wajah mamanya, Arsen jadi tidak tega. Tanpa berusaha untuk menentang, Arsen perlahan menganggukan kepalanya. "Aku pergi ke apart Savira setelah ini." * * * Savira membeku, menatap Arsen yang datang membawa dua koper. Seingat Savira ini belum waktunya Arsen untuk datang. Ya, pria itu memiliki jadwal berkunjung ke apartementnya, setiap hari minggu jam 7 malam. Tapi ini kan baru hari kamis, jadi ada apa gerangan suaminya itu datang? Mana Savira sedang pakai tanktop dan hotpants. "Kamu mau pergi kemana, Mas?" Nampak Arsen menghembuskan napas jengah. "Biarkan saya masuk dulu," pintanya dengan ekspresi datar. Segera Savira menggeser badannya, memberi akses untuk Arsen masuk sambil menarik dua kopernya menuju ruang tengah. "Mas Arsen sudah makan?" Hal yang pertama Savira tanya adalah keadaan perut pria itu. Mungkin naluri alami seorang istri mulai bekerja didirinya. Arsen mendudukan dirinya lebih dulu sebelum menjawab, "Sudah. Sebelum pergi saya sempat makan malam." Savira manggut-manggut lantas dia duduk di sofa sebrang. Matanya melirik ke koper milik Arsen. Isi kepala Savira masih bertanya-tanya atas dasar apa suaminya itu datang dengan membawa dua koper besar. Apa Arsen akan tinggal di sini? Tapi sepertinya itu tidak mungkin. Sudah pasti May tidak akan rela, setiap Arsen mengunjunginya saja, May selalu menelepon Arsen dan memintanya untuk segera pulang. Padahal Arsen hanya dijatah seminggu sekali untuk bertemu dengan Savira. "Saya akan tinggal di sini untuk sementara." Savira spontan melotot, ekspresi terkejut tidak dapat gadis itu sembuyikan. "Mas tinggal di sini?" ulangnya. Arsen mengangguk dengan kedua tangan yang melipat di depan d**a. "Iya, untuk sementara." "Kenapa?" tanya Savira. "Maksud aku, kenapa Mas tinggal di sini? Memang Mbak May enggak marah?" imbuhnya bertanya lebih detail. Bukannya dia ingin melarang Arsen untuk tinggal bersamanya meski hanya sementara, hanya saja Savira paham bagaimana posesifnya May ke Arsen. Makanya dia heran kenapa Arsen bisa mengatakan hal seperti tadi. "May sedang dinas ke LN. Mama minta saya buat nemenin kamu di sini, sampai May kembali." "Mas udah bilang ke Mbak May? Mbak May tau kalau mas mau tinggal di sini?" Maaf kalau Savira bawel dan banyak bertanya, hanya saja dia tidak mau berurusan dengan May dan membuat perempuan itu salahpaham. "Kamu tenang saja, saya sudah izin ke May sebelum datang ke sini," jawab Arsen. Meski May sempat melarang, namun dengan lembut Arsen menjelaskan. Memang belum pasti, tapi besar kemungkinan peluang Savira untuk segera hamil akan terealisasi kalau mereka tinggal bersama. Toh, May juga sedang jauh. Savira menghela napas lega. Dia lantas berdiri, mendekati Arsen dan menarik dua koper milik suaminya. "Mau dibawa ke mana?" tanya Arsen. "Ke kamar," jawab Savira menunda langkahnya untuk segera beranjak. "Hm.., kita sekamar atau mas mau tidur di kamar kosong?" tanya Savira. Apartementnya memang memiliki dua kamar, dan satu kamar tidak terisi, tapi sangat layak untuk ditempati. Entah kenapa pertanyaan dari Savira membuat Arsen nampak gelisah, pria itu berdehem sesaat sebelum menjawab. "Sekamar saja," Savira mengangguk paham, dia berbalik badan dan hendak melangkah kalau saja Arsen tidak bersuara lagi guna menari perhatiannya. "Savira," "Iya, mas?" "Kamu memang kalau di apart suka pakai pakaian seperti itu?" tanya Arsen memang penampilan istrinya dari atas sampai bawah. Savira terlihat sangat sexy sekaligus menggemaskan. Membuat Arsen harus menahan diri dan berusaha menghindari tatapannya dari sebongkah daging yang menggodanya itu. Savira menunduk, menatapi tubuhnya lalu meringis malu. "Maaf ya mas, aku enggak tau kalau mas mau datang. Kalau lagi sendiri aku memang suka pakai baju santai," "Selama ada saya di sini, tolong pakai baju yang lebih sopan." Savira mengangguk sambil tersenyum paksa. Meski dalam hati gadis itu menggerutu sebal. Jadi menurut Arsen pakaiannya saat ini kurang sopan? Padahal apa salahnya jika ia ingin berpakaian atau bahkan telanjang sekalipun di dalam apartementnya sendiri? Toh, Arsen juga suaminya. Seharusnya Savira boleh-boleh saja dong untuk berpakain seperti ini? itu termasuk menyenangkan hati suami, kan? Atau sebenarnya Arsen takut tergoda dengan tubuhnya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD