Arsen POV;
"Saya harus kembali ke rumah, May sudah menunggu."
Ku lihat gadis itu menganggukan kepalanya pelan, posisinya yang membelakangiku membuatku tidak dapat melihat wajahnya saat ini. Tapi sudah dapat dipastikan kalau dia sedang menangis dibalik selimut yang menutupi sebagian tubuh polosnya itu.
Savira Adhita, wanita muda yang baru menginjak usia 24 tahun. Aku tidak terlalu mengenalnya, namun aku tahu kalau dia salah satu anak Panti yang diasuh oleh orangtuaku sejak kecil. Mama selalu cerita tentangnya sejak dulu, Mama bilang Savira adalah gadis yang lucu dan selalu membuat mama tertawa setiap bertemu dengannya. Dia juga berprestasi di sekolah hingga Mama memutuskan untuk membiayai pendidikan gadis itu sampai menyandang gelar Sarjana, tepatnya tahun lalu. Savira bahkan lulus dengan meraih predikat cumlaude.
Hal yang tidak pernah aku duga, gadis yang selalu Mama ceritakan sekarang telah resmi menyandang status sebagai istriku. Tidak pernah terbayangkan. Aku bahkan hanya beberapa kali bertemu dengannya. Dia memang cantik, tapi aku tidak pernah memandangnya sebagai seorang wanita. Aku masih ingat, dulu mama pernah berniat mengadopsi Savira dan menjadikannya sebagai adik angkatku. Namun Tuhan menggariskan takdir dengan jalan yang berbeda meski pada akhirnya gadis itu tetap menjadi bagian dari keluarga kami.
Aku dijodohkan oleh Savira disaat diriku bahkan memiliki istri dan telah menikah sejak lima tahun lalu. May, istriku, mengalami keguguran beberapa kali hingga Dokter menyarankan agar rahim istriku diangkat sebab May mengalami suatu "Penyakit" pada saat itu. Dan dari sana masalah mulai terjadi, baik keluarga May dan keluargaku melarang kami untuk mengadopsi anak, sementara aku dan May sama-sama anak tunggal. Terlepas dari musibah yang menimpa aku dan May, Mama tetap menginginkan cucu dari darah dagingku sendiri agar menjadi pewaris resmi keluarga kami.
Ide konyol ini berasal dari pemikiran Papa, dan Mama sebagai pendukung. Mereka mulai mencari wanita untuk menampung benihku dan menghasilkan anak biologisku, tentu saja pemilihan istri keduaku ini sangat selektif. Sayangnya, tidak mudah. Tidak ada wanita baik-baik yang rela meminjamkan rahimnya meski kami memberikan imbalan yang menggiurkan. Hingga Mama teringat dengan Savira, seseorang yang jelas mama kenal bibit bobotnya, Savira cantik, pintar dan santun, mama sangat yakin kalau dia adalah wanita yang tepat untuk dijadikan Ibu dari anakku. Entah dengan cara apa mama merayunya sampai gadis itu mau dijadikan istri keduaku.
Kami membuat perjanjian yang tertulis diatas materai. Salah satu isinya, sebuah perceraian dan hak asuh anak kami akan jatuh ditanganku. Kami juga sepakat kalau pernikahan keduaku ini akan dirahasiakan sampai perceraian terjadi nanti.
"Sudah pulang, Mas,"
Sebuah suara lembut mengalun ditelingaku. Itu May. Menyambut kepulanganku dengan senyum manis yang disuguhinya.
Aku tersenyum tipis dan mengangguk.
Ku tatap lurus May yang berjalan mendekat dan memelukku erat. Sedetik kemudian isaknya terdengar, selaras dengan bahu May yang bergetar.
"Kamu udah janji enggak bakal tinggalin aku, Mas," cicitnya.
Aku paham betul bagaimana perasaan May saat ini. Hati siapa yang tidak hancur mengetahui pasangannya berhubungan badan dengan orang lain. Savira memang istriku, namun bagi May, dia tak lebih hanyalah orang asing yang tidak sengaja masuk ke dalam kehidupan kami.
May adalah penentang nomor satu ketika Papa menyarankanku untuk menikah lagi. Dia mana rela berbagi suami. Jika aku menjadi dirinya, aku pun tidak akan rela. Namun setelah mama berbicara dan membujuknya, akhirnya May mengalah. Dengan besar hati dia memberiku izin untuk menikah lagi.
"Aku enggak bakal ninggalin kamu May. Setelah anak kita lahir, aku pasti akan menceraikan Savira."
* * *
Savira POV;
Sudah terjadi. Semalam Arsen berhasil merenggut kesucianku dalam hitungan menit. Rasanya sangat sakit, tak ada kasih sayang yang tersirat, semua terjadi begitu cepat. Arsen melakukannya tanpa kelembutan sedikit pun. Ck! Memangnya siapa aku berharap diperlakukan dengan lembut? Status istri hanya diatas kertas, nyatanya aku tidak lebih dari sekadar alat untuk memproduksi keturunan Arsen.
Aku bergerak menegakan badanku yang terasa kaku. Dengan langkah tertatih aku berjalan menuju toilet, tak peduli meski saat ini tubuhku polos tanpa dilindungi sehelai benangpun. Toh, hanya ada aku di sini. Ya, semalam setelah semuanya selesai, Arsen langsung pergi begitu saja. Dia bilang, May sudah menunggu kepulangannya di rumah.
Peduli setan! Aku juga tidak mengharapkan dia menginap di sini. Aku malah bersyukur karena dia melakukannya dengan cepat. Semoga saja benihnya segera tumbuh, jadi kami tidak perlu sering melakukan hubungan badan.
Jujur, rasanya sangat canggung dan menggelikan.
Astaga. Membayangkan mengingat semalam saja membuat bulu kudukku merinding.
Selesai mandi, aku berjalan ke dapur untuk membuat sarapan. Lalu kembali ke ranjang dan membuka laptop. Siklus kehidupanku memang sangat membosankan setelah kehilangan pekerjaan.
Mataku melebar usai membaca salah satu email masuk dari sebuah perusahaan tempatku interview dua hari lalu. Aku dapat panggilan kerja!
Bibirku langsung terbuka lebar, aku melompat dari ranjang dan membuka lemari pakaian. Mengambil sesetel pakaian formal dari dalam sana.
Dengan terburu-buru aku berganti pakaian dan merias wajah seadanya, setidaknya aku terlihat enak untuk dipandang.
Ku lirik jam digital dipergelangan tangan, tersisa satu jam lagi sebelum jam masuk kantor. Iya, isi email itu tertera kalau aku mulai masuk kerja hari ini. Bagaimana aku tidak panik, aku malah belum mempersiapkan apapun.
Sial! Secepat apapun aku mengejar waktu, aku tetap sampai di kantor dengan terlambat.
"Savira, ya?"
Aku mengangguk menghadap wanita muda yang duduk di kursi kebesarannya. Seorang resepsionis mengarahkanku untuk menemui Asisten HRD.
"Benar, Bu,” jawabku dengan tegas. Namun tak lupa ku lukiskan senyum manis agar terkesan ramah.
Wanita muda itu memberi sinyal melalui tangannya untuk menyuruhku duduk, aku pun segera mengindahkannya.
"Saya sudah baca resumemu, hasil interviewmu kemarin juga cukup memuaskan."
Aku tersenyum semakin lebar. Meski begitu, sebenarnya aku gugup saat ini.
"Kamu diterima untuk kerja di sini, namun penempatannya bukan di kantor pusat,” katanya membuatku sedikit cemas. Kalau diluar Jakarta, kemungkinan aku tidak akan mengambil pekerjaan ini. Karena tentu saja Arsen tidak akan mengizinkan.
"Dimana tepatnya, Bu?”
Pria itu tersenyum. "Enggak jauh, di Tebet."
Aku menghela napas lega. Ah, ternyata tidak sejauh itu.
"Kantornya memang kecil, Mbak, semacam workshop. Untuk salary sudah dikasih tahu saat interview kemarin, kan?"
Aku mengangguk, "Sudah, Bu.”
"Nah, salary dan jobdesknya tetap sama, Mbak. Kalau Mbak mau, hari ini bisa langsung ke kantornya. Nanti diantar sama pegawai kami,"
Tanpa ragu, aku menjawab. "Saya mau, Bu."
"Tunggu sebentar, ya, saya panggilkan pegawai saya dulu buat nganter mbaknya." ucap wanita itu, dia mengambil ponsel dan menelepon seseorang.
Tok! Tok! Tok!
Aku tertegun kecil saat pintu ruangan terketuk, disusul dengan suara decitan pintu yang terbuka.
"Nah, itu Mas Khafi sudah datang." ucapnya membuatku menoleh ke belakang. "Dia salah satu pegawai di kantor tempat mbak Savira kerja, kalian akan sekantor nanti," lanjutnya membuatku spontan berdiri dan menyalami tangan pemuda bernama Khafi itu.
Sebentar.., aku seperti tidak asing dengan wajahnya.
"Savira," ucapku memperkenalkan diri.
Pemuda itu tersenyum tipis seraya melepaskan tautan tangan kami, "Khafi,"
Aku menutup mulut spontan. Ya Tuhan! Aku ingat sekarang, Khafi adalah pria yang kutemui di lift malam itu! Iya, dia tetangga apartementku!