10. Hectic

1047 Words
Savira POV Sudah satu minggu aku tinggal sama Arsen, dan sampai saat ini kami masih seperti orang asing yang terpaksa tinggal bersama. Aku tahu proses pendekatan kami tidak akan mudah, tipikal orang seperti Arsen yang cuek memang menjadi tantangan sendiri untukku. Harusnya aku memang tidak perlu repot-repot untuk bisa akrab dengannya, hanya saja aku merasa jadi istri yang tidak tahu diri jika bersikap cuek ke Arsen. Apalagi aku tinggal di apartement pemberiannya dan menikmati semua fasilitasi yang dia berikan. Aku membuang napas lega ketika semua menu masakanku sudah berjejer rapi di meja makan. Seperti biasa, masak makan malam sudah menjadi kegiatan rutinku sepulang kerja. "Aku sudah pesan tiket, sayang," Arsen keluar dari kamar sambil menempelkan ponselnya di telinga. Sepertinya dia sedang teleponan dengan May. Aku hanya tersenyum ketika bersitatap dengan Arsen, tidak berniat untuk menyapa karena takut May mendengarnya. Arsen duduk di meja makan, melihatnya yang kerepotan menyedok nasi dengan satu tangan sementara tangan lainnya menahan ponsel agar tetap menempel di telinga. Tanpa bersuara, aku mengambil alih centong nasi dari tangan Arsen dan menyendokkan nasi ke dalam piringnya beserta lauk. Setelah selesai, aku berjalan masuk ke dalam kamar, membiarkan suamiku itu menikmati sarapannya sambil teleponan dengan istri pertamanya. Sejauh ini, aku biasa-biasa saja melihat Arsen perhatian ke May. Jangan salahpaham, selama ini aku melayani Arsen dengan baik bukan berarti aku menyimpan perasaan kepadanya. Aku melakukan semua itu untuk menjalani tugasku sebagai seorang istri. Tapi kalau soal perasaan, itu urusan masing-masing dan tidak dapat dipaksakan. Seperti yang May bilang, pernikahan ini seperti pekerjaan untukku. * * * "Lo tunggu di mobil aja deh, gue mau ketemu Pak Sabil doang kok," kata Kale sambil melepas seatbeltnya. Setelah menghadiri meeting, Kale mengajakku untuk mampir sebentar ke lokasi proyek karena ada seseorang yang dia temui. Aku menggeleng, ikut melepas seatbelt dan menyusul Kale yang sudah turun duluan. Lokasi pembangunan proyek saat ini ada ditengah kota, sebuah tanah kosong yang akan dibangun jadi gedung mall dan saat ini pembangunannya baru jadi 30 persen. "Dibilang tunggu di mobil aja." Menyadari aku yang membuntutinya, Kale terlihat kesal. Aku mengeluarkan cengiran, membuatnya Kale terlihat pasrah dan kembali memimpin jalan. Sebelum memasuki gedung, Kale memakai helm pelindung lebih dulu. "Aku aja--" "Udah diem," ujar Kale sambil memakaikan helm itu ke kepalaku. Padahal aku bisa pasang sendiri, dasar pria penuh modus! Setelah memakai jaket pelindung dan helm, kami melanjutkan langkah mencari seseorang yang Kale ingin temui. Pak Sabil, mandor proyek. Selagi Kale berbicara dengan Pak Sabil, aku memilih untuk melihat-lihat sekitar. Semua sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, namun ada beberapa dari mereka yang mencuri-curi lirik dan bersiul genit kepadaku, kalau ada Kahfi pasti mereka habis kena omel. Ya, aku sering ikut Kahfi dan Kale ke lokasi proyek dan ini bukan pertama kalinya aku mendapatkan perlakuan seperti itu. Aku mencibir, melotot galak ke pekerja bangunan itu sebelum berjalan mendekati Kale yang baru saja menyelesaikan obrolannya dengan Pak Sabil. "Udah, Kal?" Kale mengangguk. "Mau makan siang dulu enggak habis ini?" "Boleh," jawabku tak menolak. Aku lantas berbalik badan hendak kembali ke mobil, tapi karena kurang fokus, tungkaiku tidak sengaja terselengkat bambu dan hampir saja membuatku jatuh kalau saja Kale tidak sigap menangkap lenganku. Aku mendongak, bersitatap dengan Kale yang jarak wajahnya dengan wajahku lumayan dekat, manik hitam miliknya menatapku lekat dan lurus, seketika aku terbius. Entah apa yang aku pikirkan, namun aku tidak bisa menghentikan momen ini. "Hati-hati, Ra." kata Kale nampak canggung. Aku menegakkan badan dan melepaskan tautan tangannya dari lenganku. "Thanks, Kal." Sebentar, kok aku deg-degan? * * * "Ra, lelet banget sih!" bentakan Pak Seno membuat jemariku semakin cepat menari di atas keyboard. Sekarang sudah jam lima sore, seharusnya aku sudah pulang ke rumah, sayangnya masih tertahan di kantor dengan suasana yang menegang. Derita dikejar deadline, kami semua pusing kepalang. Dan kalau sudah begini, Pak Seno pasti sensian. Siapa pun akan kena omelannya kalau melakukan kesalahan sedikit saja. "Sudah, Pak!" jawabku tegas. Aku lantas menghela napas karena pemintaan Pak Seno sudah aku selesaikan. Meski begitu, aku masih belum bisa pulang. Ada Kale dan Kahfi yang menunggu bantuanku. "Ini file struktur teknisinya mana, Kal? Kamu kerja yang fokus dong, udah pengen buru-buru pulang?!" Nah kan, kini giliran Kale yang kena semprot seusai menyerahkan file laporan. Aku segera bangkit, "Biar saya yang print, Pak," katanya berusaha menghandle kerjaan Kale. "Yang cepet, Ra, saya ada janji sama relasi habis ini," kata Pak Seno membuatku melakukannya dengan cepat. Tapi mau secepat apapun aku berusaha, tetap saja mesin print yang menjadi harapanku satu-satunya. "Ini, Pak," Aku meletakan apa yang Pak Seno minta ke atas meja kerjanya. Pria itu lantas mengeceknya dan menaruh file laporan itu ke dalam laci, setelah itu dia beranjak berdiri. "Saya pulang duluan, kalian jangan ada yang pulang sebelum kerjaan kalian selesai," mata Pak Seno mengarah ke Khanza dan Arini yang sama-sama pusing membuat laporan anggaran. "Za, saya tunggu laporannya nanti malam, kirim lewat email." imbuhnya tegas setelah itu berjalan keluar dari ruangan. Setelah kepergian Pak Seno, tentu saja kami dengan kompak menghembuskan napas panjang. "Relasi? pret! gue tau dia mau ketemu sama babysugar-nya!" misuh Kahfi siapa lagi yang dia maksud kalau bukan Pak Seno. "Belum aja gue laporan ke istrinya," imbuhnya dengan nada kesal. Di mejanya, Khanza menggeram sambil menjambak rambutnya frustrasi. "Pusing!" Aku menatap mereka yang memasang ekspresi stress berat. Harusnya kami semua sudah berleha-leha di atas ranjang. Ya, sesekali memang hal menyebalkan seperti ini terjadi. Kantor yang hectic ditambah atasan yang semakin menekan. Stress enggak ketolong. "s**t!" Brak! Kale menggebrak meja dengan ekspresi kesal. Sudah ku tebak pasti komputernya ngehag. Kuperhatikan Kale yang berjalan menuju pantry. Kemudian aku susul dia. "Nyari kopi, Kal?" tanyaku karena saat ini dia seperti mencari sesuatu di laci meja pantry. "Kopi habis, ya?" Ah, kopi! Aku mengangguk, "Iya kayaknya." Kale berdecak, dia kembali berjalan menuju ruang kerja sambil ngomel. "Rin, lo gimana sih udah tahu kopi habis kenapa enggak laporan sama Mbak Marni?" Samar-samar dari ruang pantry aku mendengar teguran Kale. Mbak Marni adalah satu-satunya cleaning service di kantor ini. "Gue lupa, Kal. Enggak sempet nemuin Mbak tadi." "Kebiasan lo!" pedas Kale. Dia memang pendiam, tapi kalau sudah ngomel lumayan bikin sakit hati. Tapi Khanza dan Arini sepertinya sudah kebal dengan perkataan pedas Kale. "Beli aja sih di coffee shop depan, enggak usah ngomel segala udah tau lagi pada sibuk," sindir Kahfi. Dan setelah itu Kale langsung pergi dengan wajah sepetnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD