3. Cemburunya Istri Pertama

1164 Words
Hari ini Bu Wirna mengundangku untuk makan malam di kediaman Arsen dan May. Aku tidak tahu acara makan malam ini didedikasikan untuk perayaan apa. Jadi aku datang dengan buah tangan seadanya. "Kenapa repot-repot beli kue sih, Ra? Di sini sudah banyak makanan, yang ada nanti nggak di makan." kata Bu Wirna sembari mengambil kotak kue yang aku bawa, lalu membawanya ke meja pantry. Usai menyalimi tangan Bu Wirna, aku berjalan menghampiri Arsen dan May yang sedang duduk bersebelahan di meja makan. Perlahan aku mengulurkan tangan, lalu menyalimi keduanya secara bergantian. "Besok-besok kalau datang ke sini nggak usah bawa apa-apa. Nggak bakal ada yang makan juga," kata May sinis. Aku tidak ambil pusing dengan sikap tidak ramah May. Aku berjalan mendekati Bu Wirna dan membantunya memotong kue. "Kamu ke sini sama siapa, Ra?" "Sendiri, Bu." Memangnya sama siapa lagi? Arsen mana mungkin mau repot-repot menjemputku. Mendengar jawabanku, Bu Wirna menoleh ke arah Arsen, "Nanti pulangnya diantar sama Arsen saja, ya?" katanya membuat yang disebut namanya menoleh juga, pun dengan May. "Aku bisa pulang sendiri kok, Bu. Lagian aku bawa mobil," tolakku. "Sama Arsen saja, Ra," balas Bu Wirna sambil tersenyum manis. Dia memaksa, tapi dengan cara yang halus. "Ma.., Savira dibelikan mobil untuk mundar-mandir sendiri, jadi buat apa diantar? Lagian mas Arsen besok kerja, jadi harus istirahat." May langsung protes. "Tapikan ini sudah malam, May. Masa Savira pulang sendiri, kalau ada apa-apa di jalan bagaimana?" tersirat nada cemas dari balasan argumen bu Wirna. "Biar nanti aku suruh Pak Badja yang ngantar Savira pulang." Sambil melipat tangan di depan d**a May kekeh mempertahankan suaranya untuk melarang Arsen mengantarku pulang. Sungguh, aku tidak masalah jika pulang sendirian. May tidak perlu bersikeras seperti itu. Bu Wirna meletakan pisau ke atas meja dengan bantingan yang cukup kencang, seakan menunjukan kemarahannya karena May membangkang. Aura mencekam kini menguasai area dapur. "Kamu jangan egois dong, May! Gimana pun juga Savira ini istrinya Arsen. Arsen juga harus memperhatikan dia!" suara Bu Wirna naik satu oktaf. Meski begitu, wajah May tetap mengeras dan tampak menahan amarah. Kugenggam tangan bu Wirna yang mengepal kesal. Lalu ku usap dengan lembut, "Sudah, Bu. Aku bisa kok pulang sendiri." ujarku berusaha menenangkan. "Savira juga enggak masalah pulang sendiri, Bu," suara Arsen mengalun pelan, berusaha menengahi dengan lembut. May berdecih, dia menghentakkan kakinya ke lantai dengan kesal sebelum beranjak pergi dengan raut wajah merengut. Kemudian disusul dengan Arsen yang melayangkan tatapan peringatan ke arah kami sebelum pergi. "Sabar, Bu..." aku mengusap pundak bu Wirna yang naik-turun, kepergian May tampaknya tidak membuat emosi Bu Wirna mereda. "Kemarin May bilang mau bersikap adil sama kamu, ini belum satu minggu loh dia ngomong seperti itu, tapi sudah lupa sama ucapannya sendiri!" desis Bu Wirna sebal. Kukira selama ini hubungan Bu Wirna dan May baik-baik saja, tapi seperti adu argumen diantara mereka sudah sering terjadi. "Pak Atma kapan datang, Bu?" aku bertanya guna mengalihkan suasana. "Sedang di jalan, Ra." Aku manggut-manggut dan kembali membantu Bu Wirna memotong kue. "Ra," aku menoleh setelah Bu Wirna memanggil, "Kamu kan sekarang sudah jadi istri Arsen, jadi kamu boleh panggil Ibu dengan sebutan Mama, panggil Pak Atma dengan sebutan Papa juga." Aku menjepit bibir. Entah kenapa rasanya akan aneh jika memanggil mereka dengan sebutan seperti itu. Aku merasa.., tidak pantas. Mimpi apa aku menjadi bagian dari keluarga Adyatma? Meski statusku sebagai menantu mereka disembunyikan. "Iya, Ma..." Lalu Mama melukis senyum mendengar panggilan baruku untuknya. * * * Selesai makan malam bersama, aku pergi ke balkon lantai dua, bergabung bersama mama dan ayah yang sedang ngobrol santai dengan secangkir kopi. "Eh, Ra, kok ke sini? Arsen mana?" Papa celingukan, mungkin dia mencari keberadaan Arsen. Sebelum memutuskan untuk naik ke lantai atas, aku membereskan sisa makan malam dibantu dengan Arsen. Tapi aku memilih untuk pergi setelah May datang dan bergelayut manja pada Arsen. Bukannya cemburu, aku hanya risih dan tidak nyaman berada diantara mereka yang bermesraan. Jadi lebih baik aku pergi saja. "Mas Arsen lagi sama Mbak May, Pah." "Oalah, ya sudah sini duduk, Ra," Mama menepuk kursi kosong di sebelahnya. Memintaku untuk duduk di sana. "Gimana sama tempat tinggal barunya, Ra? Betah?" tanya Papa membuka obrolan. Aku tersenyum, "Betah, Pah. Apartement terlalu bagus." Saking bagusnya sampai tidak pantas untuk dibandingkan dengan kosanku yang kumuh. "Syukurlah kalau kamu betah. Kalau ada apa-apa bilang aja ke Papa ya, Ra, jangan sungkan. Kan sekarang Papa juga orang tua kamu." Aku menunduk sambil tersenyum, jujur aku terharu. Bahkan tanpa sadar sepasang mataku berlinang. Ternyata menjadi istri tersembuyi Arsen tidak bisa disebut sebagai kesialan, karena nyatanya karena statusku itu aku jadi dapat keluarga baru yang sangat menyayangiku. Papa melirik arlojinya, lalu dia beranjak bangkit, "Papa mau sholat Isya dulu, kalian ngobrol berdua saja, ya," ucap Papa sebelum beranjak pergi. "Ra," Begitu papa pergi, Mama merapatkan duduknya. Seolah ada hal penting yang akan wanita itu bicarakan denganku. "Iya, Ma?" "Sudah terjadi belum?" bisik Mama. Keningku berkerut, "Terjadi apa, Ma?" Jelas aku bingung. "Itu.., kamu dan Arsen apa sudah melakukannya." Ahh, kali ini aku langsung konek. Dengan malu aku menggelengkan kepala. Sudah tiga hari sejak aku resmi menjadi istrinya Arsen, tapi sampai saat ini aku melakukan hal yang seharusnya pengantin baru lakukan. Terakhir Arsen menyandangi apartemenku ketika malam di hari pernikahan kami, itu pun tidak terjadi apa-apa. "Belum, Ra?" Mama terlihat kaget. "Belum, Ma. Kayaknya Mas Arsen sibuk," Mama terlihat kesal, "Sesibuk apa memangnya sampai enggak sempat buat jenguk kamu?" "Mungkin mas Arsen butuh waktu, Ma," aku tahu bagi Arsen ini juga bukan hal yang mudah untuk diterima. Apalagi ini menyangkut hal intim. Pasti Arsen merasa berat untuk melakukannya dengan seseorang yang tidak dia cinta. "Sampai kapan, Ra? Kalau Arsen enggak bertindak, gimana kamu bisa hamil?" Aku menghela napas panjang dan memilih untuk bungkam. * * * "Kamu ngomong apa sama Mama?" May langsung mencecerku dengan pertanyaan begitu mobil Papa tak terlihat lagi dipandangan kami. Aku mengernyitkan kening, "Maksudnya, Mbak?" May berdecih, "Kamu ngadu ke Mama kalau mas Arsen belum ngelakuin?" Mendengar kalimat itu, sekarang aku paham. "Bukannya ngadu, Mbak. Tapi tadi Mama nanya, aku cuma jawab jujur aja." "Memang sebenarnya kamu kan yang kepengen?" Maksudnya gimana? Kok aku enggan terima gini ya mendengar ucapan May yang seakan merendahkanku. "Maaf ya, Mbak, tapi mas Arsen dan Mbak yang butuh aku. Kalian yang meminta aku buat ngelakuin hal ini." Tentu aku tidak takut, aku memang orang kecil, tapi May tidak sepatutnya merendahkanku seperti itu. Wajah May terlihat mengeras, dia menatapku tajam tanpa mengatakan apa-apa. Mungkin dia tertampar fakta. Karena nyatanya memang mereka yang membutuhkan rahimku, kan? "Berani ya kamu ngelawan aku?!" sentak May. Aku mengangkat wajah menentang. "Kenapa aku harus takut?" jawabku tak kalah menekan. "Ada apa ini?" Arsen datang dan menatap kami secara bergantian. Aku memutuskan kontak mata dengan May lebih dulu dan membuang napas panjang, "Aku pamit pulang, Mas, Mbak," ujarku kemudian berjalan menuju mobilku yang terparkir di halaman. Berhadapan dengan May membuat suasana hatiku kacau. Untung saja aku tidak tinggal satu atap dengannya, tidak tahu deh kalau Arsen menyatukan kami berdua, mungkin aku memilih untuk bercerai saja dari pada makan hati terus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD