Alger menatap lurus ke depan. Tepatnya pada sebuah tempat bermain di sana. Bibirnya membentuk sebuah senyuman, tetapi senyuman itu sangat terasa getir untuknya. Sebuah keluarga yang terlihat sangat harmonis sedang bermain di sana bersama dengan anak-anak mereka. Hati kecilnya meronta ingin seperti orang-orang itu.
Terik matahari mulai berada di ujung kepalanya itu menandakan jam makan siang telah tiba. Namun, seseorang yang ditunggunya sedari tadi belum juga menampakkan diri sampai membuat Alger harus menunggu dalam kebosanan.
Berkali-kali Alger menghela napasnya pelan, mencoba untuk menghibur dirinya sendiri bahwa dia sedang dalam keadaan baik-baik saja.
Samar-samar terdengar gelak tawa dari keluarga bahagia yang sedang bermain di taman itu membuat perasaanya kembali sakit. Alger sangat merindukan sosok papa. Bocah itu sangat ingin bermain dengan papanya. Namun, Alger tidak berani menanyakan keberadaan sosok papa itu, karena dia tidak ingin melihat mamanya kembali bersedih.
“Al.”
Tangan lentik menyentuh pundak Alger membuat bocah lelaki itu terperanjat kaget.
“Mama!” kesedihan yang terpancar di matanya itu kini berubah menjadi binar kebahagiaan saat melihat Gyzell sudah datang menjemputnya.
“Maafin Mama, Mama terlambat menjemput Al,” ucap Gyzell dengan wajah yang penuh penyesalan.
Tangan Alger yang mungil mengusap pipi kanan Gyzell dengan lembut lalu ke dua sudut bibirnya membentuk sebuah lengkungan senyum yang menenagkan.
“Nggak pa-pa, Mah. Al paham bagaimana pekerjaan Mama,” ujarnya.
Gyzell melemparkan senyumnya kepada sang putra. Dia bahagia bisa memiliki putra yang sangat pengertian dan berpikir dewasa. Namun, terkadang Gyzell sedih, di usia Alger yang masih dini, bocah lelaki itu harus memilih menjadi dewasa sebelum waktunya.
Gyzell meraih pergelangan tangan mungil Alger, “Kita pulang sekarang atau cari ice cream dulu?” tanya Gyzell memberikan tawaran.
Alger menaruh jari telunjuknya di dagu, seolah sedang berpikir keras tentang tawaran yang Gyzell berikan.
“Bagaimana kalau kita ke kedai ice cream dulu, Mah? Hari ini sangat panas membuat Alger mau yang segar-segar,” ucap bocah itu dengan wajah yang sangat polos.
Gyzell tidak tahan dengan wajah polos yang Alger tunjukkan, wanita itu mencubit gemas pipi gembul putranya sampai tercetak kemerahan di sana.
“Kamu itu memang pintar merayu,” ucap Gyzell sembari melepaskan cubitannya.
“Mama, pipi Al sakit tahu,” protes Alger sembari mengusap bekas cubitan yang Gyzell berikan pada pipinya.
Gyzell langsung mengusap bekas cubitannya di pipi sang putra, “Maafin Mama, Mama tidak tahan dengan wajah kamu yang terlalu polos.”
Alger memutar bola matanya jengah. Kalimat yang baru saja Gyzell ucapkan memang bukan yang pertama kalinya. Setiap kali Gyzell mencubit pipi Alger, pasti alasannya sama, sampai Alger benar-benar paham dengan kalimat itu.
“Ayo! Katanya mau beli ice cream, kalo ngambek nanti Mama nggak jadi beliin loh,” ucap Gyzell hanya sebagai gerakan kecil agar putranya tidak lagi memasang wajah masam.
Alger langsung menampilkan wajah berbinar. Bocah lelaki itu tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan langka yang Gyzell tawarkan. Pasalnya setiap kali Alger ingin makan ice cream, wanita itu pasti tidak akan pernah mengizinkan dengan alasan tidak mau Alger demam setelah memakan creame dingin dan manis itu.
“Ayo Mah!” ucap Alger penuh dengan antusias.
Gyzell langsung berjalan dan tangan kanannya memegang pergelangan tangan Alger agar bocah itu berjalan aman di sampingnya.
“Mah, Kakek sama Nenek masih ada di rumah ‘kan?” tanya bocah itu setelah berada di dalam mobil.
Gyzell menatap putranya dengan senyum yang mengembang, “Nenek sama Kakek masih ada di rumah kok. Memangnya kenapa?”
“Alger mau beliin mereka ice cream, boleh ‘kan Mah?” Alger bertanya sembari menatap penuh harap ke arah mamanya.
Gyzell semakin melebarkan senyumnya, “Tentu boleh dong sayang. Tapi ingat, Al nggak boleh makan terlalu banyak ya, Mama nggak mau besok kamu demam.”
Alger mengangguk patuh, “Siap Mama!”
Gyzell terkekeh pelan. Alger memang selalu saja bisa membuatnya tertawa, meskipun di dalam pikirannya sedang banyak masalah. Alger adalah tujuannya untuk pulang, di mana semua rasa penat itu dia pikul seorang diri runtuh saat melihat senyum bocah polos itu.
Gyzell tidak berharap untuk diberi nafkah oleh seorang pria. Tanpa pria pun wanita itu mampu berdiri tegak dengan kakinya sendiri. Masa lalu yang menyakitkan itu membuatnya mampu berubah menjadi wanita yang tangguh dan tidak mudah mengemis belas kasih pada lelaki di luaran sana. Meskipun berat, tetapi Gyzell tidak pernah mengeluh kepada siapa pun, kecuali pada sang penciptanya. Di saat dia menengadahkan tangan meminta kepada-Nya, menangis tersedu diatas sajadah yang dia gelar. Hanya di saat itu lah Gyzell terlihat sangat rapuh.
Semua orang di muka bumi ini tidak menginginkan masa lalu yang pahit. Begitu pun dengan Gyzell. Takdir yang dia jalani saat ini tidak pernah ada di dalam kamus kehidupannya. Namun, takdir hadirnya Alger memang sudah dia inginkan sejak lama. Meskipun caranya yang salah, tetapi Gyzell tidak pernah menyalahkan putranya karena sudah hadir di kehidupannya. Alger adalah tiang penyangganya untuk tetap bertahan di tengah-tengah kejamnya kehidupan.
***
20 menit sudah Gyzell mengendarai mobil, akhirnya kini Gyzell dan Alger telah sampai di kedai ice cream tempat bisa di mana bocah laki-laki itu selalu menikmati makanan kesukaanya.
“Mama, Al pesan seperti biasa yah. Rasa mangga dan leci,” ucapnya setelah turun dari mobilnya.
Gyzell tersenyum lalu mengangkat kedua jempolnya. Lalu wanita itu memerintahkan Alger untuk menunggu di bangku yang telah disediakan. Sedangkan Gyzell, wanita itu memesan apa yang sang putra inginkan.
Jika Alger memesan ice cream rasa leci, maka Gyzell langsung diingatkan pada masa-masa dulu saat dia masih menjadi seorang gadis yang polos. Gyzell juga salah satu gadis pecinta ice creame pada masanya, terutama rasa leci. Buah leci yang segar diubah menjadi ice cream yang dingin membuat rasa itu meledak di mulutnya dan seketika rasa panas yang ada di dalam tubuhnya pun perlahan menghilang.
Alger setia menunggu Gyzell. Bocah itu duduk diam dengan kaki yang sengaja digoyangkan untuk menghilangkan rasa bosan. Bangku yang dia duduki cukup tinggi, sehingga membuat kakinya terayun dengan sempurna.
Sesekali Alger mengusap dahinya yang berkeringat. Hawa panas siang itu memang membuatnya merasa sangat gerah dan cepat-cepat ingin menyantap ice creamnya.
“Hai, kamu sendirian di sini?”
Suara bas itu membuat lamunan Alger terbayarkan. Dia menoleh pada sumber suara, lalu memberikan senyum canggung lalu membalas sapaan seseorang itu.
“Hai, juga Om. Terus Om sendiri ngapain disini?” tanyanya nada yang digunakan terdengar sangat sopan.
“Om disini ingin bernostalgia,” jawab lelaki itu dengan wajah yang tenang.
Ke dua matanya menatap Alger tanpa berkedip. Ada perasaan yang tidak bisa dia jabarkan saat menatap bola mata besar milik bocah laki-laki itu.
“Al, maaf kamu nunggu Mama lama ya ….”
Senyum Gyzell pudar saat dia melihat sosok Nick yang sudah duduk manis di depan putranya. Dengan setelan jas ala kantoran menempel di tubuh lelaki itu.
“Sebenarnya dia mau apa?” tanya Gyzell di dalam hati.
“Hai, kita bertemu lagi di sini. Memang ya kalau jodoh tidak akan kemana,” ujar Nick dengan kekehan di akhir kalimatnya.
Gyzell menarik lembut pergelangan tangan Alger, “Kita makan di rumah aja,” ucap Gyzell mencoba menjawab pertanyaan Alger yang belum sempat bocah itu keluarkan.
Nick hanya diam saat melihat punggung Gyzell semakin menjauh dan akhirnya wanita yang selama ini dia cintai dan bocah laki-laki itu pun masuk ke dalam mobil.
Nick menghela napasnya pelan saat mobil yang Gyzell kendarai telah menjauh dari tempat kedai ice cream itu. Entah mengapa saat pertemuannya pertama kali dengan Alger membuat jantungnya merasakan sesuatu yang sakit. apalagi saat Nick menatap kedua bola mata Alger, saat itu juga hatinya seperti tertikam oleh tombak yang runcing.