YAMH 3

1201 Words
Keesokan paginya, tepat pada jam 06.30 WIB. Gyzell sudah siap dengan pakaian kerjanya sedangkan Alger, bocah lelaki kecil itu sudah rapi dengan baju sekolahnya. “Anak Mama pinter banget pagi-pagi udah rapih,” ucap Gyzell saat wanita itu mengintip pada celah pintu kamar sang putra yang sedikit terbuka. Alger yang sedang menyisir rambutnya sendiri pun menoleh menatap sang mama yang masih berdiri di ambang pintu. “Mama,” ucapnya lalu berlari ke arah Gyzell untuk memeluk tubuh malaikat wanitanya itu. Keduanya saling berpelukan penuh kasih sayang. Gyzell lagi-lagi merasa beruntung karena hadirnya Alger di tengah-tengah kehidupan yang penuh dengan drama membosankan. Meskipun Alger sangat mirip dengan lelaki itu, tetapi dia tidak pernah membenci Alger sedikitpun. Bahkan niat itu tidak pernah terlintas di pikirannya. Alger mengurai pelukannya. Dia mengamati wajah Gyzell yang selalu cantik di setiap waktu. Jari jempolnya yang mungil mengusap-usap pipi mamanya. “Mama sangat cantik,” ucapnya lirih. Gyzell terkekeh pelan. “Kamu bisa aja.” Wanita itu berdiri dari posisi jongkoknya. “Ayo kita sarapan, sebenar lagi mau jam tujuh loh.” Tanganya menggandeng tangan mungil Alger. Keduanya berjalan beriringan menuruni anak tangga untuk menuju ruang makan itu berada. Di sana tepatnya di atas meja, sudah terdapat nasi goreng lengkap dengan lalapan dan telur dadar sudah tersaji dengan rapi. Bukan Gyzell yang memasak semua itu, melainkan bibi yang sengaja Gyzell sewa untuk mengurus rumah dan putranya jika dia sedang bekerja. “Terima kasih ya Bi. Bibi ikut sarapan aja sama kita,” ucap Gyzell saat sang bibi yang bernama Lastri ingin pergi. “Terima kasih Nyonya, maaf tapi saya rasa saya kurang pantas duduk bersama dengan majikan,” jelas Lastri dengan kepala menunduk. Gyzell tersenyum, “Bi, kita itu sama-sama manusia, jadi Bibi akan tetap pantas duduk bersama dengan saya di sini.” Gyzell berdecak pelan saat Lastri tidak kunjung mendudukkan diri di sampingnya. “Ayo dong Bi, jangan sungkan.” Gyzell menarik pergelangan tangan Lastri sampai membuat wanita beranak satu itu terduduk. “Terima kasih Nyonya,” ucap Lastri kepalanya masih menunduk. “Sama-sama Bi.” Lalu pandangan mata Gyzell tertuju pada sang putra yang sudah lahap memakan sarapannya. “Pelan-pelan sayang,” ucap Gyzell lalu hanya direspon dengan cengiran polos dari bocah itu. “Bi, hari ini saya pulangnya sedikit terlambat. Bisa kan Bibi di sini sampai saya pulang nanti?” Lastri terdiam, seperti sedang memikirkan sesuatu. “Bibi kenapa?” tanya Gyzell yang mengetahui perubahan wajah Lastri. “Anu Nyonya, maaf bukannya saya tidak mau menemani Aden Al, tapi anak saya juga lagi sakit demam di rumah,” jelasnya. Gyzel tersenyum, “Bibi pulang lebih awal aja ya. Biar nanti Papa dan Mama saya yang menjaga Al.” Lastri mendongak menatap Gyzell dengan haru. “Benar Nyonya?” tanyanya masih tidak percaya. Lagi-lagi Gyzell tersenyum lembut. “Iya Bi. Pasti anak Bibi sangat mengharapkan kehadiran Mamanya. Oh iya.” Gyzel merogoh tas kerjanya mengambil sesuatu dari dalam tasnya. “Ini untuk berobat anak Bibi dan membeli makanan serta keperluannya.” Gyzell memberikan uang ratusan ribu berjumlah lima belas lembar kepada Lastri. “Tidak usah Nyonya, bukannya saya menolak rezeki, tapi gaji yang Nonya berikan kemarin sudah lebih dari cukup,” jelasnya menolak secara halus. Gyzell menggeleng dan tetap memaksa agar Lastri menerima uang pemberiannya. Uang sebanyak satu juta lima ratus itu Gyzell berikan dengan hati yang ikhlas. “Terima Bi, atau saya akan marah!” ancamnya membuat Lastri di selimuti kebingungan. Tangan Lastri terulur untuk menerima uang pemberian majikannya itu, “Terima kasih Nyonya. Semoga rezekinya semakin mengalir,” ucapnya dengan air mata mengalir haru. “Anak kamu cewek ‘kan? Umur berapa?” “Dia lebih muda daripada Den Al, Nyonya. Umurnya baru saja 4 tahun,” jelasnya dan membuat Gyzell mengangguk paham. “Sesekali bawa ke sini dong, biar Alger punya temen.” Lastri mengangguk, “ Iya Nyonya, kapan-kapan saya kan membawanya ke sini.” Gyzell melihat arloji yang terpasang di lengan kirinya, lalu dia menyambar tas yang biasanya dia pakai untuk bekerja. “Kalau begitu saya berangkat dulu ya Bi,” ucap Gyzell sembari beranjak dari duduknya. “Sayang, kamu udah selesai sarapannya? Ayo kita berangkat.” Alger yang sedang menghabiskan susunya pun mengangguk. Lalu bocah itu beranjak dari duduknya. “Bi Lastri, Al berangkat sekolah dulu ya, titip salam buat anak Bibi yang lagi sakit,” ucap Alger dengan senyum yang tidak bisa membuat orang tahan dengan keimutannya. Lasteri tersenyum, “Terima kasih Den. Semangat sekolahnya hari ini, maaf Bibi tidak bisa menemani Aden ke sekolah.” Alger tersenyum, “Tidak apa Bibi, jangan khawatir. Kan masih ada Nenek dan Kakek yang setia menemani Al kapanpun.” Gyzell ikut tersenyum dengan kebijakan Alger di usia dini. Dia tidak bisa menyangka jika putranya akan memiliki sisi dewasa seperti itu, melebihi dirinya. Akankah sifat itu menurun dari papa biologisnya? Gyzell menggelengkan kepalanya kuat saat wajah lelaki itu kembali melintas di pikirannya. Mana mungkin sifat Alger menurun dari lelaki itu, jelas-jelas lelaki itu hanya bisa menebar janji kepalsuan yang membuatnya menderita di masa sekarang. Bukan karena kedatangan Alger, melainkan cintanya yang tulus ternoda. Gyzell menggandeng jemari kecil putranya. “Kita berangkat sekarang ya,” ucapnya lalu diangguki oleh Alger. “Bi, kita berangkat dulu ya. jangan lupa sebelum pulang semua pintu dicek dulu.” Lastri mengangguk paham. “Iya Nya, hati-hati di jalan.” Lastri mengantarkan majikannya untuk pergi ke kantor. Namun, langkah Gyzell terhenti saat dia melihat seorang lelaki yang paling dikenalnya sudah berdiri di ambang pintu. “Kamu ngapain kesini?” tanya Gyzell. Wanita itu menempelkan jari telunjuknya di depan bibir saat Alger ingin membuka suaranya. “Aku kesini mau jemput kamu lah,” jelas Nick. Ke dua matanya tertuju pada Alger yang masih setia bungkam. Hatinya berdebar melihat tatapan mata itu. “Dia adik kamu?” tanyanya sambil menunjuk Alger. “Bukan urusan kamu!” lalu Gyzell kembali melangkahkan kakinya. Namun, lagi-lagi Nick berhasil menahannya. “Kamu kenapa sih? Aku Cuma nanya.” “Nick, please jangan buat keributan, di sini ada anak kecil,” ucap Gyzell penuh peringatan. Lalu pandangan Nick kembali tertuju pada Alger. Ke dua mata mereka saling bertemu dan beradu. Debaran itu kembali hadir membuat Nick semakin bingung. Padahal baru pertama kali bertemu, tetapi entah mengapa getaran aneh itu datang. Lelaki itu tidak pernah merasakannya. “Sebaiknya kamu pergi, Nick. Saya akan ke kantor sendiri!” perintah Gyzell. “Dia adik kamu ‘kan?” Gyzell menghela napasnya pelan, “Iya dia adik aku!” Lastri yang mendengar kalimat yang keluar dari bibir Gyzell pun terkejut. Tidak hanya Lastri, Alger pun juga terkejut. Ingin melayangkan protes, tetapi Gyzell sudah terlebih dulu menarik pergelangan tangan putranya. Gyzell berhasil membawa pergi putranya. Hatinya merasakan kelegaan yang luar biasa. “Mama kenapa bilang sama Om tadi kalo Al ini adik Mama?” tanya Al dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Gyzell menatap putranya penuh penyesalan, “Maafkan Mama sayang, Mama terpaksa melakukan itu. Mama tidak mau orang itu menyakiti Al,” jelasnya sembari mengusap pipi Alger yang sudah basah oleh air mata. “Al sayang Mama,” ucapnya lirih. “Mama lebih menyayangi Al.” Keduanya saling melemparkan senyum. Lalu keheningan kembali terjadi. Perasaan Gyzell masih tidak karuan setelah Nick datang ke rumahnya. Entah kebohongan apalagi yang akan dia ciptakan nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD