“Ayah …!” Syifa dan Jannah berlari menyambut kedatangan sang ayah, saat melihat pria itu berjalan memasuki rumah sederhana mereka.
“Biar ayah istirahat dulu. Ayah pasti lelah setelah seharian bekerja.” Resa menghampiri kedua anaknya yang sudah memeluk sepasang kaki sang ayah, sementara pria itu mengusap kepala kedua putri mereka.
Resa kemudian meraih tangan kanan suaminya, lalu menciumnya. “Mas bersih-bersih dulu, aku siapkan makan.”
“Tidak perlu. Aku sudah makan.”
Resa mengerjap. Hembusan napas pelan keluar dari kedua lubang hidung wanita itu, seiring guliran mata memperhatikan setiap inci wajah sang suami, lalu turun. Dua tangannya sudah merengkuh tubuh kedua putrinya. Kepala wanita itu berputar mengikuti pergerakan sang suami yang kini berjalan masuk ke dalam rumah.
“Ibu … Jannah mau makan.” Si kecil Jannah mendongak, sementara dua tangan mungilnya menarik-narik daster sang ibu.
“Oh … iya … iya, ayo kita makan.”
“Ayah tidak makan sama kita?” Syifa yang sudah menggandeng sebelah tangan sang ibu, bertanya dengan kepala mendongak. Mereka biasa makan malam bersama.
“Ayah tadi ada acara, makanya sudah makan lebih dulu.” Resa tersenyum sambil membalas tatapan sang putri. “Ayo, kita makan bertiga.”
“Yey … ayamnya kita bagi tiga!” Jannah memekik senang. Lumayan. Ayahnya tidak makan, sehingga lauk yang tersedia bisa dibagi lebih sedikit orang. Artinya, dia bisa mendapat jatah lebih banyak. Tentu saja dia suka.
Syifa yang mendengar pekik senang sang adik, menoleh. “Tidak boleh begitu. Kalau sisa kan bisa buat kita makan besok pagi.” Lalu anak itu kembali mendongak ke arah sang ibu. “Betul begitu, kan, Bu?"
Resa tersenyum sambil mengusap pelan kepala putri sulungnya. Bola mata ibu dua anak itu kemudian bergulir ke arah putri bungsunya. “Kita makan secukupnya. Jangan berlebih, karena makan berlebih itu tidak baik.”
"Benar. Nanti perut kita bisa sakit." Syifa menambahkan.
Jannah membalas tatapan sang ibu. Sepasang bibir anak itu berkerut. Meskipun begitu, detik berikutnya kepala dengan rambut diikat dua itu bergerak turun naik.
"Anak pintar." Resa tersenyum pada sang putri kecil yang begitu penurut.
Melangkah masuk ke dalam ruang makan--Resa kemudian menarik dua punggung kursi bersamaan. Wanita itu meminta kedua anaknya untuk duduk. Setelahnya, ibu dua anak itu berjalan memutari meja. Duduk di depan kedua putrinya, Resa membuka turung saji, kemudian membantu Jannah mengisi piringnya. Sementara Syifa mengisi piringnya sendiri.
"Jangan lupa berdoa dulu sebelum makan." Resa mengingatkan kedua putrinya. Wanita itu tersenyum melihat kedua putrinya mengucap doa, sebelum kemudian menikmati makanan mereka.
Resa menarik napas pelan. Dia melihatnya. Melihat tanda merah di leher suaminya. Hatinya perih, tapi dia harus kuat untuk anak-anaknya.
“Ibu … ibu tidak makan?”
Resa mengedip saat mendengar suara putrinya. Wanita itu buru-buru meraih piring. “Makan, dong. Ini baru mau ambil.” Lalu Resa mengisi piringnya. Menahan rintihan hati, wanita itu harus terlihat baik-baik saja di depan kedua putrinya.
***
Aris mengacak rambutnya. Di bingung. Dia harus segera menceraikan Resa, dan menikahi Vera. Sementara Resa tidak mau diceraikan. Apa dia yang harus mencarikan duda untuk Resa? Aris menghembus keras napasnya. Pria itu berjalan ke arah ranjang, lalu menjatuhkan tubuhnya.
Aris mulai berpikir. Siapa duda yang bisa dia kenalkan pada istrinya itu? Aris menggeleng saat satu nama terlintas. Tidak. Dia tidak tega memberikan Resa pada kenalannya yang sudah berusia 55 tahun. “Ah, Sial,” umpat Aris.
Aris buru-buru beranjak hanya untuk meraih ponsel di atas meja yang sedang meraung. Begitu melihat nama Vera yang tertera pada layar, Aris langsung menekan tombol terima, lalu menempelkan benda penghubung tersebut ke telinga kanan.
“Ver.”
“Jangan lupa … kamu harus bicara dengan istrimu itu malam ini juga. Aku tidak mau menunggu lagi. Kamu jangan mempermainkanku.”
“Aku kamu sudah cek?”
“Apa?”
“Kamu tidak hamil, bukan?”
“Kalau aku tidak hamil, kamu tidak akan menceraikan istrimu?” tanya balik Vera.
“Bukan begitu. Setidaknya, aku bisa punya waktu lebih—”
“Tidak bisa. Besok kamu antar aku ke rumah sakit. Supaya kamu tahu aku benar hamil atau tidak.”
Aris menoleh saat mendengar suara handel pintu ditekan. “Aku tutup dulu. Aku akan bicara dengannya sekarang.” Lalu Aris menurunkan telepon dan mematikan sambungan, tanpa tahu jika Vera mengumpati pria tersebut.
Resa mendorong pintu. Perempuan itu tersenyum ketika bertemu tatap dengan suaminya. Menutup kembali daun pintu, Resa mengayun langkah menuju lemari kayu tak jauh dari ranjang.
Aris mengernyit, sementara sepasang matanya mengikuti pergerakan istrinya. “Kita perlu bicara, Res.”
Resa hanya menoleh sepersekian detik. Wanita itu menarik pintu lemari, lalu mengeluarkan sesautu dari dalam. Resa memutar tubuh menghadap suaminya. “Aku tadi beli ini. Bagus, tidak?” Resa memperlihatkan lingerie warna merah yang baru saja dibelinya. Kedua sudut bibir wanita itu tertarik ke atas.
“Sebentar, aku coba pakai.”
Aris mengedip. Pria itu menelan ludah saat melihat sang istri berganti pakaian di depannya.
“Bagaimana menurutmu, Mas?” Resa memutar tubuhnya. Jantungnya berdetak kencang. Sudah lama dari terakhir kali dia memakai pakaian sexy. Resa menatap sang suami dengan senyum lebar. “Aku juga beli lipstik baru. Warna merah.” Lalu wanita itu berjalan melewati sang suami yang menatap nyaris tanpa kedip.
Sekalipun tubuh Resa sedikit kurus, tapi wanita itu memiliki bagian tubuh yang menonjol di tempat yang tepat.
Resa membuka tas, lalu mengeluarkan lipstik yang baru ia beli. Setelah itu, Resa bergegas menuju meja di samping ranjang. Resa menatap pantulan wajahnya di cermin. Wanita itu mengoleskan lipstik ke kedua belah bibirnya. Resa melekatkan sepasang bibirnya—memastikan olesan lipstik itu sudah rata. Wanita itu menarik turun karet yang mengikat rambutnya, lalu memutar tubuh ke arah sang suami yang masih duduk di sisi ranjang.
“Bagaimana menurut, Mas? Apa warna merahnya bagus?” tanya Resa pada sang suami. “Aku beli yang waterproof. Biar kalau aku cium Jannah, atau Syifa—lipstiknya tidak nempel di wajah mereka. Atau, kalau aku mau cium Mas—”
Resa tidak menyelesaikan kalimatnya, ketika tiba-tiba sebelah tangannya tertarik. Kedua kaki Resa refleks terhela mengikuti tarikan tangan sang suami, hingga wanita itu terjatuh di pangkuan suaminya.
“Kamu berusaha terlalu keras, Resa. Kamu ingin aku sentuh? Baiklah. Aku akan mengabulkan keinginanmu.”
***
Resa menatap langit-langit kamarnya. Dadanya bergerak naik turun dengan cepat. Hatinya berkecamuk. Dia berusaha terlalu keras? Iya … benar. Resa mengakuinya. Dia memang berusaha keras untuk bisa mempertahankan keutuhan keluarganya. Apa itu salah? Apa itu membuatnya menjadi rendah?
Resa menoleh ke samping seiring dengan lelehan bening keluar dari sudut matanya. Sang suami sudah tertidur setelah selesai menyentuhnya. Resa tidak tahu. Apakah cintai Aris padanya benar-benar sudah hilang? Jika memang benar pria itu sudah tidak lagi mencintainya, kenapa Aris masih bisa menyentuhnya?
Sentuhan Aris ke tubuhnya masih sama.
Resa buru-buru memutar posisi tidurnya, hingga memunggungi sang suami. Kedua tangannya bergerak menghapus air mata yang mengalir semakin deras. Hatinya benar-benar hancur. Susah payah Resa mengatur napas. Berusaha keras agar suara isak tidak lolos dari sela bibirnya. Dalam hati berdoa--meminta Tuhan untuk mempertahankan rumah tangganya. Demi dua malaikat kecilnya.