Bab 2. Permintaan Aris untuk Bercerai

1225 Words
“Apa kamu sudah bicara dengan Resa?” Aris sedang berada di balik meja, dengan tangan yang sedang menghitung uang hasil pendapatan toko hari ini. Pria itu mendongak. “Oh … kamu datang?” Vera berdecak tidak suka. Wanita yang semula berdiri di depan meja itu kemudian membawa langkahnya memutari setengah meja, lalu duduk di tepi meja di depan Aris. Rok span di atas lutut yang dikenakannya, terangkat hingga nyaris setengah pahanya terpampang jelas di hadapan pria yang susah payah meneguk ludah kala melihatnya. Belum lagi kemeja super ketat yang membungkus tubuh dengan ukuran d**a yang sanggup membuat liur pria manapun menetes. Aris mengerjap. “Kenapa yang terdengar seperti kamu tidak suka aku datang?” Vera mendorong tubuh bagian atasnya ke depan, lalu kedua tangannya menyangga bobot tubuh dengan kedua tangan bertumpu pada sandaran kursi yang Aris tempati. “Bukan begitu,” sanggah Aris, ketika melihat bibir Vera memberengut. Jantungnya berdetak cepat merasakan hembusan nafas Vera di wajahnya. Vera mengecup pelan bibir pria di depannya. “Apa kamu tidak merindukanku?” Aris mengedarkan bola matanya. “Masih ada anak-anak.” “Mereka tidak akan peduli dengan urusan bos nya. Yang penting bagi mereka itu, kamu tetap menggaji mereka tanpa terlambat.” Vera kembali mengecup bibir Aris. Kali ini sedikit lebih kuat, hingga menimbulkan suara. Aris segera memasukkan uang yang belum selesai ia hitung kembali ke dalam laci, kemudian menguncinya. Setelahnya, dengan tergesa pria itu mendorong kursi ke belakang. “Jangan di sini.” Aris beranjak, kemudian menarik sebelah tangan Vera. Membawa wanita itu masuk ke dalam toko. Vera tersenyum menang. *** Resa mengamati pantulan dirinya dari dalam cermin. Mengamati dirinya yang memang jauh dari kata sempurna. Ia mendesah. Apa yang harus ia lakukan untuk mempertahankan pernikahannya? Dia tidak pernah bermimpi akan berpisah dengan Aris. Dalam hidupnya, ia hanya pernah satu kali mencintai seorang pria, dan itu adalah Aris—suaminya. Pembicaraan mereka kemarin, sepulang Aris dari toko--masih jelas terngiang di dalam kepalanya hingga membuatnya tidak bisa tidur dengan tenang. *** “Ayo … kita berpisah, Res.” Resa mengamati wajah sang suami, kemudian terkekeh. “Mas bercandanya kelewatan. Ini bukan hari ulang tahunku. Masih dua minggu lagi, kalau Mas lupa.” “Res … aku tidak sedang bercanda. Aku serius.” Resa mengedip. “Hanya masalah bosan, kan?” Resa menganggukkan kepala. “Bisa dimaklumi kalau sesekali kita bosan jika setiap hari hanya makan dengan ikan asin dan sambal.” Resa beranjak. “Aku akan mencoba masak Rendang, biar Mas tidak bosan lagi.” Resa tersenyum. “Aku bikinin Mas kopi dulu.” Wanita itu sudah berniat meninggalkan sang suami yang ia pikir--mungkin sedang tertekan karena masalah di toko, tapi tidak ingin menceritakan padanya. Resa akan mencari tahu sendiri tentang kondisi toko, besok. Namun, langkah kaki Resa terhenti, ketika mendengar suara sang suami. “Aku rasa … aku sudah jatuh cinta pada perempuan lain.” Aris menghembuskan nafas lega, setelah berhasil mengeluarkan satu kalimat yang serupa bom untuk Resa. Wanita itu terpaku di tempatnya. Kedua tangannya meraba kain yang membungkus tubuhnya, lalu meremasnya kuat-kuat. “Dialah cinta sejatiku, Res. Maaf. Ayo kita berpisah.” Resa tidak sanggup memutar kepalanya. Jantungnya berdetak tak beraturan. Ada rasa marah, dan juga kecewa mendengar apa yang baru saja terucap dari bibir pria yang sudah sepuluh tahun menikahinya. Cinta sejatinya? Jadi … selama ini, Aris menganggapnya apa? Setelah masa pacaran yang cukup lama, dan juga pernikahan mereka … pria itu baru sadar jika dia bukan cinta sejatinya? Remasannya semakin menguat, ketika Resa mencoba mengalihkan amarah dari pria yang masih duduk di belakangnya. Lalu, bayangan wajah kedua anaknya terlintas. Kedua tangan wanita itu bergetar memikirkan nasib anak-anaknya jika Aris tetap kukuh pada keinginannya. “Aku … tidak mau.” Kepala Resa menggeleng pelan. Kakinya kembali terhela. “Aku tidak bertanya kamu mau atau tidak.” Aris menggumam, namun masih bisa dengan jelas didengar oleh Resa. Napas wanita itu memburu. Resa akhirnya memutar tubuh. Sepasang mata wanita itu memerah. Kedua tangannya yang bergetar diremas kuat. Ia menatap sang suami dengan amarah yang sudah tidak bisa lagi ia tahan. “Apa yang Mas pikirkan? Apa hanya karena seorang wanita, Mas tidak lagi memikirkan anak-anak?” Resa menghela kembali langkahnya mendekati sang suami. “Sepuluh tahun, Mas. Sepuluh tahun kita menikah. Aku menemanimu dari sebelum Mas menjadi orang. Apa Mas juga lupa apa yang sudah kukorbankan untuk bisa membuat Mas menjadi seorang sarjana?” Sebenarnya, Resa tidak pernah ingin mengungkit apa yang sudah ia lakukan untuk pria yang sudah menjadi suaminya selama sepuluh tahun terakhir. Tidak pernah terpikirkan ia akan menggunakannya untuk bisa menekan sang suami yang ia pikir baru saja terjatuh hingga mungkin kepalanya terbentur, sehingga otaknya tidak bisa berpikir dengan benar. Sepasang rahang Aris mengeras. Ia diingatkan pada apa yang sudah Resa lakukan untuknya. Pria itu membalas tatapan mata sang istri. “Kamu juga tahu kalau gelar sarjana itu tidak bisa memberi kita makan.” Resa membuka mulutnya, wanita itu tertawa miris. “Jadi, Mas menganggap perjuanganku selama 3 tahun tidak ada gunanya, lantaran Mas tidak bekerja dengan menggunakan gelar sarjana itu?” Resa menggelengkan kepalanya. “Sejak kapan Mas jadi bodoh?” Aris tersentak. Untuk pertama kalinya selama ia mengenal Resa, wanita itu mengatainya bodoh. “Menurut Mas, dari mana kemampuan Mas mengurus usaha Mas, membuat pembukuan? Dari mana, kalau bukan dari ilmu yang Mas dapat di kampus?” Aris mengerjap. Dia tidak bisa membantah. “Akhiri hubungan terlarang Mas, dan kembalilah menjadi Aris yang selama ini aku kenal. Jangan mengorbankan keluarga hanya untuk seorang pelakor.” “Aku mencintainya, dan aku sudah berjanji akan menikahinya.” Air mata tidak sanggup lagi tertahan di kedua pelupuk mata Resa. Semudah itu sang suami berpindah hati dan menjanjikan pernikahan pada wanita lain. Dia sungguh tidak habis pikir. Apa yang salah, hingga sang suami berubah? “Dengar Res, kamu tidak perlu khawatir dengan anak-anak. Aku akan tetap membiayai mereka. Biar bagaimanapun juga, mereka adalah anak-anakku. Aku tidak akan membiarkan mereka terlantar. Aku janji, Res.” Aris mencoba membujuk sang istri. “Bagaimana dengan aku? Kamu tega mencampakkanku?” Sepasang bola mata Aris bergerak meliar. Pria itu menghembuskan napasnya pelan. “Kamu … kamu masih bisa menikah lagi. Kamu … bisa mencari seorang duda.” Resa sungguh ingin sekali menghajar pria yang sudah mengalihkan pandangan mata darinya. Semudah itu pemikirannya? “Sebesar itu cinta Mas pada perempuan murahan itu?” Resa menghapus kasar lelehan air matanya. Otak sang suami sudah benar-benar tidak beres. Tidak ada yang perlu ia tangisi. "Jangan menyebutnya perempuan murahan. Dan ya, aku mencintainya sebesar itu." Namun, tetap saja hati Resa terasa teriris mendengar jawaban cepat sang suami. Suaminya membela dan memperjelas perasaannya pada perempuan itu. Lagi, air mata itu turun tanpa ia minta. Resa buru-buru menghapusnya. “Kalau begitu … menikahlah.” Hati Resa semakin sakit saat melihat kepala sang suami menoleh, lalu sepasang mata pria itu berbinar. “Benar, Res? Baiklah … aku akan segera mengurus percerai—” “Aku tidak mengatakan kita akan bercerai.” Resa memotong dengan cepat kalimat Aris. Aris menatap sang istri dengan kening berlipat. Senyum yang sudah setengah mengembang--perlahan surut. “Mas bisa menjadikannya yang kedua. Aku tidak keberatan dimadu.” Resa menekan kuat-kuat sepasang rahangnya yang terkatup. Apakah benar dia tidak keberatan dimadu? Jawabnya adalah … tentu saja dia keberatan. Resa hanya berpikir jika mungkin saja perempuan itu hanya persinggahan sesaat. “Maaf Res … dia … tidak mau menjadi yang kedua.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD