Bab 9. Laksa Devano

1262 Words
Seorang pria keluar dari sebuah ruangan. Tangan kirinya terangkat lalu sedikit berputar. Pria itu mendesah. Sudah hampir tengah malam. Ibunya pasti akan marah-marah lagi—batinnya. Pria itu mengayun sepasang kaki panjangnya. Wajahnya terlihat begitu lelah. Kantung matanya terlihat jelas. “Sudah mau pulang, Prof?” Pria yang masih berjalan dengan langkah lebar itu menoleh. “Jaga malam, Ran?” tanyanya sembari mengurangi kecepatan langkah kaki—menunggu seorang wanita yang masih mengenakan jas dokter berjalan di belakangnya. “Iya.” Rani mengangguk membenarkan. Wanita yang sudah berjalan berdampingan dengan pria itu menoleh. “Bagaimana kamu bisa menemukan jodohmu kalau hidup kamu hanya di rumah sakit.” Pria itu berdecak menanggapi kalimat yang baru saja didengarnya. “Aku sudah pernah menemukannya. Tapi sayang, perempuan itu kabur.” Kini giliran sang wanita yang berdecak. “Mana ada yang mau menikah dengan orang yang gila kerja sepertimu. Bisa-bisa perempuan itu hanya kamu anggurin,” sahutnya sambil melirik ke samping. Sang pria terkekeh. “Benar juga, ya?” Pria itu menggerakkan kepala turun naik. Kedua tangannya bergerak masuk ke dalam saku celana kain yang membungkus kedua kaki panjangnya. “Aku senang kamu sudah menemukan jodohmu.” “Tentu saja. Aku tidak akan memakai ini sampai sekarang kalau waktu itu tidak kabur dari pria gila kerja itu.” Wanita itu mengangkat tangan kanan, memperlihatkan benda yang melingkar di jari manisnya. Sang pria mendengkus. “Kamu melepas pria berkualitas, Rani.” Wanita yang dipanggil Rani terkekeh pelan. Dia masih mengingat dimana keberadaan mereka saat ini. Jika tidak, mungkin dia akan tertawa keras. Wanita itu menggelengkan kepala. “Kamu terlalu percaya diri, Dev.” Laksa Devano—pria 40 tahun itu tersenyum. “Anyway, aku tulus saat bilang aku bahagia karena kamu bahagia.” “Terima kasih. Aku akan berdoa agar kamu juga segera menemukan jodohmu. Agar kamu bahagia sepertiku.” “Kebahagiaanku adalah ketika aku berhasil menyembuhkan pasien-pasienku.” Rani mendesah. “Hidup harus berimbang, Dev.” Rani menghentikan langkah ketika mereka tiba di persimpangan. Ruang kerjanya ada di sebelah kanan, sementara lift untuk turun ke lobi ada di sebelah kiri. “Ingat, kamu manusia. Bukan malaikat. Kamu sudah berusaha keras. Kamu butuh hidup normal. memiliki istri dan anak-anakmu sendiri.” Rani mengingatkan. Rani menghembuskan napas panjang sembari menggelengkan kepala ketika melihat Devan hanya tersenyum simpul menanggapi kalimat panjangnya. Devan menepuk pelan lengan mantan tunangannya. “Selamat bekerja, Dokter Rani. Aku pulang sekarang,” pamit pria itu sebelum melangkah ke arah kiri, meninggalkan Rani yang memutar tubuh untuk mengikuti kepergian pria itu dengan sepasang matanya. Rani menatap punggung Devano hingga pria itu masuk ke dalam lift. Wanita itu menarik sebanyak mungkin oksigen masuk ke dalam paru-parunya. Devano tidak salah. Dia memang melepas seorang pria berkualitas. Namun, dia realistis. Dia tidak akan bisa hidup dengan pria yang nyaris seluruh waktunya diabdikan untuk berbagai penelitian obat-obatan penyakit kanker, serta Leukimia. Wanita itu menghembus napas sebelum memutar langkah, kemudian mengayunnya. Ceritanya bersama pria itu sudah berakhir dua tahun lalu. Ketika dia memutuskan pertunangan karena tidak tahan dengan perlakuan Devano yang tidak peduli pada hubungan mereka. Terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga dia merasa tersingkir. Devan menarik keluar kunci mobilnya. Sepasang kaki panjangnya terayun menghampiri sebuah mobil sport berwarna hitam. Dia memang pecinta mobil sport. Itu caranya memanjakan diri sendiri. Dia tidak peduli penilaian orang lain. Baginya, memiliki otomotif berharga milyaran tersebut sebuah penghargaan untuk dirinya. Kerja kerasnya. Pria itu menekan remot. Menekan handel, lalu pintu itu terangkat. Devan masuk ke dalam mobil. Tak lama, mobil berwarna hitam itu melesat meninggalkan parkiran rumah sakit. *** “Kita harus bicara sekarang.” “Apa kamu tidak tahu kalau aku lelah setelah seharian bekerja?” Aris berjalan melewati Resa. “Siapkan air panas. Aku ingin mandi.” Resa mengatur tarikan oksigen dan hembusan karbondioksida dari lubang hidungnya. Ingin sekali dia meluapkan kemarahan. Setelah apa yang pria itu lakukan, Aris masih bersikap seenaknya. Pria itu masih bersikap seperti seorang pimpinan yang pekerjaannya hanya memerintah. “Apa Mas tidak punya rasa bersalah sedikitpun?” Akhirnya Resa memberanikan menyuarakan apa yang ada di dalam kepalanya. Wanita itu berjalan cepat mengikuti sang suami. Memutar tubuh untuk menutup dan mengunci pintu sebelum kembali berjalan cepat menyusul Aris. “Mas.” “Sudah malam, Res. Aku benar-benar capek. Jangan membuatku marah.” Resa harus susah payah menekan gejolak emosinya. D*da ibu dua anak itu bergerak cepat ketika napas sang pemilik memburu. Resa berjalan lebih cepat, bahkan setengah berlari kemudian menghadang langkah kaki suaminya. “Apa-apaan kamu, Res?” tanya Aris sambil mendelik. “Aku yang seharusnya marah. Mas … kamu … kamu—” “Aku sudah bilang kalau aku bosan denganmu. Aku jatuh cinta pada wanita lain. Kamu sudah tahu itu.” Resa menatap tak percaya sang suami. “Aku memintamu untuk memikirkan anak-anak. Aku akan berusaha untuk bisa mengambil hatimu lagi. Aku akan berdandan. Aku akan lakukan apapun agar Mas tidak bosan lagi. Apa pernikahan kita sama sekali tidak berharga lagi bagi Mas?” Sepasang mata Resa mulai berbayang. D*danya kembali sesak mengingat penampakan sang suami saat ia memergoki pria itu di hotel. “Apa Mas tidak tahu sesakit apa hatiku melihat Mas di kamar hotel dengan perempuan lain? Apa Mas tidak takut dosa? Mas tidak takut kena azab—” “Jangan bicara soal dosa dan azab. Manusia itu tempatnya salah. Aku bukan malaikat yang tidak bisa berbuat dosa. Seperti kamu tidak punya dosa saja. Awas ... minggir. Cepat siapkan air panas.” “Aku belum selesai.” Resa menggeser langkah kaki—menghalangi Aris yang sudah akan kembali melangkah. Kulit wajah wanita itu sudah berubah memerah karena amarah yang meluap. Aris tidak tahu sesusah apa Resa menahan diri. Aris tidak tahu bagaimana sulitnya menahan air mata dan isak tangis padahal d*danya bergemuruh dan matanya begitu panas. “Aku tahu aku banyak dosa, tapi setidaknya ... aku tidak berzina.” “Kalau begitu, lepaskan aku supaya aku tidak lagi berzina. Jangan salahkan aku karena berzina. Salahkan dirimu sendiri. Kamu yang membuatku berzina.” “Aku? Mas menyalahkanku?” Mulut Resa terbuka. Mata wanita itu mengedip bersamaan dengan turunnya bulir bening dari sudut mata. “Mas yang berzina dan aku yang salah?” Kepala wanita itu menggeleng. “Aku sudah memberimu izin untuk menikahi wanita itu. menjadikannya istri keduamu.” “Sudah kukatakan dia tidak mau menjadi istri kedua!” Suara Aris meninggi. Pria itu menghentak keras karbondioksida dari mulut untuk melampiaskan kekesalannya. Tanpa sadar, kedua tangan Resa sudah mengepal kuat. “Jangan egois. Aku sudah menurunkan egoku. Membiarkanmu membagi hati dan tubuhmu dengan wanita lain. Tapi kamu dan wanita itu tetap egois. Kalian tidak memikirkan Syifa dan Jannah. Bagaimana mental mereka nanti jika kedua orang tuanya bercerai? Apa Mas tidak memikirkannya?” “Di luar sana banyak anak-anak yang tumbuh dan justru jadi orang sukses saat dewasa meskipun hidup dengan salah satu orang tuanya. Apa kamu tidak pernah melihat berita?” tanya Aris. Pria itu mendorong ke samping tubuh sang istri. “Minggir.” “Aku tidak bisa. Aku tidak bisa membiarkan anak-anakku tumbuh dalam keluarga yang pincang karena satu kakinya terjerumus ke lubang penuh sampah.” Kata-kata terakhir Resa membuat kening Aris mengernyit. Langkah kaki pria itu berhenti. Dua detik, Aris memutar tubuh. Pria itu menatap sosok perempuan yang sudah memberinya dua orang putri. “Sampah? Sampah yang kamu maksud itu bisa memberiku kenikmatan yang tidak bisa kamu berikan. Jangan lagi menghinanya. Siapkan saja dirimu. Cari duda yang mau menjadikanmu istri. Kita akan bercerai secepatnya.” Di balik dinding, seorang anak membekap mulutnya sendiri. Dia terbangun karena ingin buang air kecil. Syifa tidak menyangka akan melihat pertengkaran kedua orang tuanya untuk yang pertama kali dalam hidupnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD