MY CUTEST CEO'S EPS-8

1601 Words
Hari minggu, hari yang ditunggu oleh Tamara. Setelah sarapan, ketiganya bersiap menuju sebuah mall untuk membeli beberapa keperluan untuk Tamara. “Itu ke butik itu aja Tam,” usul Kenzo menunjuk sebuah toko pakaian wanita setibanya mereka di mall. “Iya ayuk!” ajak Tamara bersemangat. Setelah melihat-melihat beberapa pakaian yang tergantung, kedua alis Tamara berkerut. “Ijo, sini!” bisik Tamara dan melambaikan tangan ke arah Kenzo agar mendekat. “Apa sih?” tanya Kenzo dan Rico yang duduk menunggui Tamara berbelanja. Kenzo mau tidak mau bangkit dan mendekati Tamara. “Lihat nih harganya, baju segini doang masa iya tiga jutaan. Gila gak sih Jo!?” keluh Tamara berbisik. “Ah beneran. Wah mahal banget yah Tam,” jawab Kenzo kaget. “Iya kan. Udah deh kita pindah aja. Toko ini mahalnya gak manusiawi,” saran Tamara. “Eh tunggu dulu,” cegat Kenzo saat Tamara akan keluar dari toko. “Kita ngomong dulu yah sama pak Rico minta pendapat dia,” ucap Kenzo. “Terserah kamulah.” “Pak Rico sini!” panggil Kenzo ke arah Rico yang masih duduk dan membolak balikkan majalah di depannya. “Ya Tuan Muda. Apa ada masalah?” Rico bangkit dan mempercepat langkahnya mendekati Kenzo. “Pak, lihat deh harganya. Kok mahal banget sih. Kita pindah toko aja,” bisik Kenzo ke Rico. “Nona Tamara suka?” tanya Rico ke Tamara. “Iya tapi mahal…” desis Tamara. “Ya udah silahkan diambil. Tuan muda, ini tidak seberapa jadi tidak ada masalah. Apa perlu kita beli mall ini? kebetulan Bieito Corporation belum pernah bergelut di industri ini sebelumnya. Hal ini bisa kita jadikan ekspansi besar-besaran bagi perusahaan Tuan Muda,” jawab Rico lugas. “Wuah…” sontak keduanya takjub dengan ucapan Rico. Mereka kompak bertepuk tangan tanpa suara dan menggeleng bangga mendengar perkataan Rico. “Pak Rico my man…” Kenzo menggelengkan kepala tak percaya dengan ucapan gamblang Rico kemudian  memeluk bahu Rico. Rico hanya mampu tertunduk pasrah. “Jadi Tamara bebas milih apa aja?” tanya Kenzo memastikan. “Iya Tuan tidak ada masalah, bahkan satu mall ingin dibelinya tidak ada masalah,” Rico menjawab sopan dan menunduk hormat. “Astaga, Jo. Kamu sekaya apa sih?” tanya Tamara penasaran. “Gak tahu juga Tam hihihi. Udah nikmatin aja. Takutnya ini mimpi kita berdua. Setidaknya kamu udah pernah ngerasain belanja apapun gak mikirin harganya,” Tamara mengangguk. Awal pertemuan Kenzo dengan Rico, Rico sebenarnya ingin menjelaskan apa saja yang dimiliki oleh Kenzo tetapi Kenzo menolak dan mempercayakan semuanya ke Rico. Dia hanya ingin menjadi pewaris yang bertanggung jawab terhadap peninggalan kakeknya, mencoba menjadi pemimpin yang layak dan bijak. Selebihnya urusan itu menjadi tanggung jawab Rico. “Jo, kamu gak belanja baju?” tanya Tamara. “Gak, pakaian aku udah dibuatin khusus. Semuanya ada inisial nama aku KAB, Kenzo Alvaro Bieito,” Kenzo memperlihatkan ujung bajunya dengan cetakan inisial khusus namanya. “Bahkan sempak?” ucap blak-blakan Tamara dan dibalas anggukan Kenzo sontak keduanya cekikikan. Rico yang tidak mendengar bisik-bisik mereka akhirnya hanya bisa pasrah dan menghela napas. Tamara membeli segala perlengkapannya mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hingga membuat Rico menyuruh sopir lain agar membawakan barang-barangnya ke rumah. “Gak pengen minum dulu atau makan?” tanya Kenzo setelah letih berbelanja. “Minum aja deh, makanan di rumah lebih enak,” jawab Tamara memutuskan. “Ya udah, terserah kamu,” mereka berjalan berdampingan dengan Rico mengekor di belakang keduanya. “Aku ijin ke toilet bentar yah,” pamit Tamara saat Kenzo duduk. Rico mengambil meja di samping meja Kenzo dan memilih duduk sendirian. “Udah, pesen kamu?” tanya Tamara lagi sekembalinya dari toilet. “Masih bingung nih,” jawab Kenzo dan membolak balikkan halaman menu. “Aku nyari matcha latte, tapi yang muncul matcha depan,” gombal Kenzo menatap Tamara yang duduk di depannya. “Wah…Wah…masuk nih gombalan kamum” Tamara tersenyum dan pipinya bersemu merah. “Ah beneran. Jadi pacar aku yah, mau dong….yah…yah…,” bujuk Kenzo. “Dih kamu ngajak pacaran kayak beli cilok,” ucap Tamara kesal tidak terima. “Kalau aku duduk bertekuk lutut kamu yakin gak akan mual?” tanya Kenzo. “Ih jijik Jo. Jangan deh. Iyyuh….” Tamara menyilangkan tangannya menolak rencana absurd Kenzo. Tidak lama pelayan datang ke meja Rico, menatap takjub Rico yang tampan tapi dingin, belum selesai keterkejutannya pindah ke meja Kenzo, mahakarya buatan Tuhan mana lagi yang kamu dustakan. Pria ini lebih senang tersenyum dan baik hati. Pelayan itu menatap bangga Tamara, perempuan itu patut berbangga hati dikelilingi oleh kedua pria tampan itu. Mungkin dia pernah menyelamatkan pasukan semut di masa lalu, sehingga mendapat keberuntungan di masa kini. “Mba…mba!” tegur Tamara membuyarkan lamunan pelayan itu. “Eh iy-iya mba. Itu aja pesanannya?” tanya pelayan itu kembali. “Iya.” “Baik. Terima kasih. Silahkan menunggu,” ucap pelayan itu hormat. Tamara sekali lagi dibuat terheran-heran dengan Rico. Pria itu bahkan hanya memesan secangkir hot Americano, betul-betul pria yang dingin dan penuh misteri. Sungguh sangat berbeda dengan Kenzo yang memesan latte, pria yang menyenangi makanan manis sejak dulu. “Apa ada yang salah Nona?” tanya Rico yang merasa ditatap oleh Tamara. “Ng-nggak kok pak Rico,” jawab Tamara gagap. Kenzo mengernyitkan alisnya dan cemburu melihat perhatian Tamara ke Rico. Setahu Kenzo, tipe Tamara sejak dulu seperti Rico, cowok yang cuek dan bikin penasaran tidak seperti dirinya yang blak-blakan. Masa iya dia belum berjuang harus dikalahkan oleh Rico, walaupun dia sadar bahwa Rico memang layak untuk diperhitungkan menjadi saingan. Malam hari, setelah mereka kembali menikmati makan malam. Tamara balik ke kamar lebih cepat. Dia tidak sabar mencoba pakaian yang tadi dibelinya. Dia memadukan outfit untuk dipakainya ke kantor besok. Belanjaan Tamara tentu saja sudah tersimpan rapi atas bantuan pelayan di rumah Kenzo. Letih mencoba satu persatu, akhirnya Tamara lelah dan kemudian menguap tanda bahwa matanya sudah tidak bisa diajak kompromi. Tepat tengah malam Tamara terbangun, kebelet ke kamar mandi apalagi dia melupakan untuk menaikkan suhu kamarnya. Kamar yang dingin tentu saja baginya sudah kebal, apalagi di Ciwidey juga sangat dingin tapi suhu dingin ini berasal dari hawa dingin buatan. Setelah keluar dari toilet, Tamara berhenti pada hordeng jendela kamarnya. Ada suara tepuk-tepukan air di kolam. Dia menekan remote dan ingin melihat sumber suara itu. Sret… Hordeng jendela kamarnya terbuka, dia mengerjapkan mata memastikan bahwa ada seseorang yang duduk di pinggiran kolam memakai baju tidur. Kenzo Dia memastikan sejenak bahwa pria itu adalah Kenzo bukan makhluk halus. Dia melihat jam dinding, dan aneh mengapa Kenzo sendirian duduk di tepi kolam dan hanya menatap gugusan bintang yang berbaring rapi di langit sana. Tamara penasaran dan keluar kamarnya menuju kolam renang tepat di sebelah kamarnya. Lokasi kolam renang diyakininya hanya di sebelah kamarnya, tapi saat di berbelok dia selalu mendapat ruangan yang salah. Cukup lama berputar-putar membuat Tamara ingin mengurungkan niatnya saja. Rumah ini terlalu besar membuatnya nyasar berkali-kali dan membuatnya kesal. “Nona Tamara,” sapa seseorang dan membuat Tamara kaget. “Eh pak Slamet. Maaf pak ganggu malam-malam.” “Ada yang bisa saya bantu Nona?” tanya Pak Slamet yang melihat Tamara seperti bingung. “Oh gini, aku nyari jalan ke arah kolam renang. Kebetulan aku lihat Kenzo duduk disana,” jawab Tamara. “Oh begitu Nona, maaf saya lupa menjelaskan setiap ruangan ini kepada anda. Jadi anda harus kembali ke ruang tengah kemudian berbelok ke kanan ke arah taman belakang setelah itu ke kiri hingga ke ujung. Disitu lokasi kolam renangnya Nona,” jelaskan Pak Slamet. Tamara kemudian merapalkan dalam hati perkataan pak Slamet, mengulangi-ulanginya agar tidak lupa. Takut dikatakan lemot dan tidak sanggup menebak arah tentunya. “Terima kasih pak.” “Nona…,” ucapan menggantung Pak Slamet. “Ya…,” Tamara berbalik setelah beberapa langkah menjauh dari Pak Slamet. “Terima kasih Nona bersedia hadir di kehidupan tuan muda. Dia butuh seseorang untuk membagi kesulitannya. Saya harap nona tetap mendampingi beliau kapanpun,” perkataan pak Slamet ini layaknya seorang Ayah yang khawatir kepada anaknya. Tamara merasakan itu. “Iya pak,” jawab Tamara. Setelah itu Tamara kemudian menuju kolam renang berdasarkan petunjuk dari Pak Slamet. “Ijo, ngapain kamu?” tanya Tamara dan mendekati Kenzo. “Tim-Tam!? Aku ganggu kamu yah. Aku pikir aku gak berisik. Kedengaran yah bunyi airnya sampai kamu terbangun,” ucap Kenzo merasa tidak enak. “Gak ganggu dan gak berisik tapi kedengaran. Kamu kenapa? Ada masalah?” tanya Tamara sekali lagi. “Hmm dikiiiittt…sini kamum” Tamara ikut duduk di samping Kenzo dan menurunkan kakinya ke kolam renang. “Aku ada kok buat kamu cerita, setidaknya biar beban kamu lepas,” yakinkan Tamara. “Eh!” Tamara kaget saat Kenzo merebahkan kepalanya di bahu Tamara. “Apa aku sanggup yah Tam, mimpin perusahaan. Aku kok ngerasa takut ngejalanin ini semua. Jujur ini mimpi yang terlalu indah tapi juga menyeramkan,” keluh Kenzo. “Aku yakin kamu bisa Jo’. Kamu kan pinter dari dulu. Kamu hanya butuh penyesuaian diri. Lagian ada pak Rico yang senantiasa mendampingi dan membimbing kamu. Ada kami berdua. Walaupun aku gak tahu tugasku apa. Aku penasaran pak Rico ngasih tugas apa buat aku sebenernya.” “Iya Tam, makasih yah udah ada disamping aku. Aku emang butuh kamu sejak dulu. Tapi kamu selalu gak ngerasa gitu dan menolak kenyataan,” curhat Kenzo. Perkataan Tamara ini tentu saja membuat desiran aneh di dalam d**a Tamara. “Udah ah. Masuk. Aku gak mau bawah mataku item di hari pertama aku kerja,” Tamara bangkit membuat kepala Kenzo sontak tegak. Selain itu alasan Tamara tentu saja tidak ingin berlama-lama dengan Kenzo dalam suasana seperti itu. “Ayuk!!!” Tamara menarik tangan Kenzo dan mengajaknya bangkit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD