Keesokan pagi yang cerah Tamara sudah berdiri di depan gedung pencakar langit Bieito Corporation gedung megah dengan dua puluh lantai membuat lehernya terasa sakit saat akan mendongak.
Semalam saat tiba dari Bandung, dia hanya tidur tiga jam dan sibuk bercerita dengan Riris hingga lupa waktu. Gaya hidup metropolitan Jakarta dengan kemacetannya membuat dia harus bersiap ke kantor setelah sholat subuh dan berangkat.
Apalagi sahabatnya Riris bekerja di sebuah bank dan harus tiba di kantor sebelum jam delapan pagi, dan dia terpaksa harus berangkat bersamaan dengan sahabatnya itu karena mereka searah.
Tepat pukul delapan dia sudah berdiri dengan kegusaran dalam dirinya, apakah dia siap masuk atau tidak. Dia memang cepat sejam dari waktu yang dijanjikan. Diapun memutuskan untuk duduk di sebuah bangku panjang, taman di depan kantor.
Tidak lama iring-iringan mobil memasuki halaman gedung megah tersebut, bodyguard terlebih dulu turun dan memastikan keadaan sebelum seseorang turun dari dalam mobil hitam yang mewah, tentu saja itu CEO dan sekretaris pribadi yang selalu siap disampingnya, Tamara mengenali keduanya. Tamara hanya mampu memperhatikan semuanya dan mencerna situasi.
“Masih pagi udah pake kacamata aja, gaya amat,” desis Tamara dan bisa dipastikan tidak ada yang mendengar perkataannya ini.
“Baiklah Tamara mari kita hadapi, apa yang terjadi terjadilah,” Tamara menyemangati dirinya sendiri.
Dia memperbaiki penampilannya sejenak, memastikan roknya tidak berdebu akibat bangku itu. Dia memberanikan diri masuk ke dalam gedung megah itu.
“Selamat pagi!” sapa doorman mempersilahkan dan membukakan pintu.
”Selamat pagi!” Tamara tersenyum dan masuk ke dalam.
Sesampainya di dalam dia harus melalui pemeriksaan ketat, tubuhnya dipindai dari atas ke bawah kemudian melewati sensorik metal, tasnya juga tidak luput dalam pemeriksaan.
“Baik silahkan masuk,” ucap bagian keamanan mempersilahkan Tamara dan dia hanya mengangguk tersenyum.
Tamara merasa perlu ke bagian resepsionis untuk bertanya bagaimana dia harus bertemu CEO.
“Selamat pagi mba!” sapa Tamara setengah berbisik dan menyandarkan tangannya di meja resepsionis apalagi dia harus berjinjit untuk bisa melihat wajah resepsionis itu padahal dia sudah memakai highheels yang lumayan untuk menambah tinggi badannya.
“Pagi juga mba, ada yang bisa saya bantu?” sapa Resepisonis itu dan berpose hormat menyatukan kedua telapak tangannya.
“Saya Tamara, dari staf umum bagian pergudangan. Saya kesini disuruh menemui Bapak CEO jam 9 pagi.”
“Oh begitu, mohon tunggu sebentar, saya sambungkan dulu ke lantai atas untuk ijin mba,” ucap singkat resepsionis itu tapi dia tetap meneliti dari atas hingga ke bawah penampilan Tamara, seperti tidak yakin seorang Tamara bisa menemui CEO dengan alasan apa.
“Halo.”
“Maaf ada yang ingin bertemu dengan bapak, apakah bisa?”
“Dengan Mba Tamara kan, iya bener Tamara mba,” resepsionis itu sempat bertanya ke Tamara untuk mempertegas namanya sudah sesuai apa belum. Tamara mengangguk cepat.
“Oh begitu.”
“Iya, baik.”
“Terima kasih.”
Hanya suara resepsionis yang bisa didengar Tamara.
“Baik mba, saya sudah meminta ijin. Silahkan Mba Tamara, naik ke lantai teratas lewat lift khusus itu, tolong pake tandai pengenal ini dan tempelkan di lift.”
Resepsionis itu menjelaskan dan menunjukkan lift tidak lupa memberikan tanda pengenal visitor kepada Tamara. Lift yang khusus untuk menghubungkan ke lantai 22 dan hanya dilalui CEO dan tamu yang memang berkepentingan untuk menemuinya. Selain itu karyawan diharuskan memakai lift biasa itupun hanya akan tiba di lantai 21.
Tamara berjalan ke lift yang ditunjuk dan menempelkan kartu yang tertempel di lehernya, dan otomatis naik ke lantai 22. Pantas saja gedung yang diyakini Tamara hanya 20 lantai tapi liftnya menunjukkan lantai 22 dikarenakan nomor 4 dan 13 tidak ada dalam tombol lift. Nomor 4 dalam lift hampir jarang ditemukan, berdasarkan kepercayaan fengshui, angka 4 yang hanya memilik satu kaki dianggap tidak seimbang untuk menopang tubuhnya. Penggunaan angka ini dianggap bisa menyebabkan jabatan turun atau jatuh.
Sedangkan dari segi pelafalan, dalam bahasa Cina, angka 4 dibaca “shi.” “Shi” memiliki arti mati. Selain itu, dalam bahasa Jepang, “shi” berarti kesedihan. Karena arti kata tersebut bermakna negatif, kebanyakan orang merasa lebih aman dan nyaman bila menghindarinya. Sedangkan nomor 13 identik dengan angka sial.
Ting
Tanda bahwa Tamara sudah berada di lantai yang akan ditujunya. Sekali lagi dia merapikan rambutnya, bajunya yang dimasukkan ke dalam rok memastikan tidak kusut, roknya dikibaskan sebelum keluar dari lift.
“Selamat pagi Ibu Tamara,” tebak resepsionis itu mungkin saja karena sudah ada pemberitahuan lebih dahulu.
“Pagi.”
“Ibu silahkan duduk sebentar yah. Bapak masih ada kegiatan, nanti kami beritahukan saat beliau sudah bisa ditemui,” resepsionis itu sudah mempersilahkan duduk di sebuah sofa panjang dan nyaman untuk Tamara.
“Baik mba, tidak masalah saya tidak berburu-buru,” ucap Tamara berbasa-basi.
Hanya beberapa menit duduk, Tamara sudah disuguhi secangkir teh panas dan setoples cookies keju dan kelihatan menggiurkan. Lumayan buat sarapan. Riris sempat menawari dirinya untuk sarapan sebelum ke kantor ini tetapi ditolaknya karena dia takut sahabatnya itu akan terlambat untuk ke kantor.
Tamarapun menyesap teh hangatnya dan membuka toples itu, dia mencoba membukanya tapi agak susah, diputarnya seperti biasa masih sulit untuk terbuka. Dijepitnya di kedua paha kemudian ditariknya.
Plok
Ternyata toples itu berbunyi dan hampir saja membuatnya malu, memastikan sekelilingnya tidak ada yang terpengaruh dengan bunyi itu diaun mengambil sebuah. Dimasukkannnya kedalam mulut, ternyata kue itu sangat lembut dan lumer di mulut.
“Ibu Tamara, silahkan,” Resepsionis itu menghampiri kembali Tamara yang untung saja tidak didapatinya sedang mengunyah.
“Oh baik.”
Sekali lagi sebelum masuk ke dalam, sebuah alat sensor metalik di dekatkan ke setiap sisi badannya sebelum masuk ke kantor CEO.
Tok…tok…tok…
“Masuk” suara tegas dari dalam ruangan.
Ceklek
Tamara membuka pintu ruangan itu, didapatinya ruangan itu sebesar kantornya yang lama yang diisi 20 orang dalam satu ruangan, dan ini hanya diisi seorang CEO yang duduk membelakanginya dan duduk di kursi kebesarannya.
Tamara sempat mengedarkan pandangan. Ruangan kerja dengan kaca tembus pandang pemandangan kota Jakarta, di dalam ruangan sebuah sofa dan meja yang besar. Di meja kerja yang besar itu dengan sebuah pc berwarna gelap. Lukisan yang tidak berbentuk apalagi dia hanya menyukai lukisan pemandangan alam. Sebuah permainan golf mini di sudut ruangan, meja bilyard, dan kamar penghubung.
“Permisi pak, saya Tamara. Kemarin saya diberitahukan oleh mantan kepala bagian saya, bahwa saya dipecat dan harus menemui bapak hari ini” ucap Tamara takut, dan CEO itu masih saja belum membalikkan kursinya berbeda dengan sekretarisnya yag berdiri di samping mejanya, menatapnya datar dan tanpa ekspresi.
“Jadi kamu beneran dipecat?” akhirnya CEO itu berbalik dan masih mengenakan kacamatanya. Bahkan di dalam ruanganpun dia masih memakainya, ini terlalu berlebihan menurut Tamara.
“Benar pak. Kesalahan apa saya yah pak?” kali ini Tamara sudah menguatkan diri, lagian secara hukum dia sudah dipecat dan tidak punya kewajiban apa-apa di kantor ini.
“Loh kok kamu nanya kesalahan kamu disini, kenapa gak nanya sama yang pecat kamu?” ucap CEO itu berbalik bertanya.
“TA…tt..tapi pak” baru saja Tamara ingin menaikkan nada suaranya tapi langsung diturunkannya apalagi tatapan tajam sekretaris CEO, berbeda dengan CEO yang memakai kacamata dia tidak bisa menebak ekspresinya.
“Saya gak sengaja tabrak bapak kemarin, saya minta maaf pak tapi apa harus sampai saya dipecat pak,” Tamara membela diri.
“Kalau gitu saya terima kamu bekerja”
“Beneran pak?” tanya Tamara tidak percaya.
“Jadi asisten pribadi saya”
“HAH???” ucap Tamara kaget.