Chapter 3: Jodoh Tidak Kemana

1262 Words
Feri POV “Bro, Doni nanya tadi sama gue, lo kok tumben belum kasih feedback kerjaan mereka,” Feri nyerocos masuk lalu duduk di sofa ruangan Adya. Tapi tidak ada jawaban dari Adya, yang terlihat sibuk memandangi pemandangan di luar jendelanya, membelakangi komputernya dan Feri. “Dy!” Panggil Feri lagi. “Eh!” Adya tersentak. “Lo ngomong apa barusan? Sorry, gak denger gue.” “Tumben amat lo bengong gitu. Kesambet apaan sih?” “Bukan bengong, gue lagi mikirin kerjaan,” Adya terlihat salah tingkah sambil memutar kursinya kembali menghadap komputer. “Doni tadi nanya, kenapa lo belum kasih feedback kerjaan anak developer. Biasanya gak sampai 3 jam udah ada feedback.” “Oh iya! Ini baru gue mau kirim emailnya,” Adya buru-buru mengeklik komputernya, membuat Feri geleng-geleng sekaligus penasaran.  “Udah gue kirim nih. Jam berapa sih sekarang?” “Jam setengah dua siang. Lunch yuk!” ajak Feri lagi. “Di bawah?” “Gue lagi pengen makan seafood sambil lihat laut,” “Yaudah, lo yang nyetir ya.” “Siap bosss!” Feri memberi gestur hormat sambil tersenyum jahil. Adya hanya geleng-geleng malas. Adya dan Feri kemudian keluar dari gedung kantor dan naik mobil Feri, sedan BMW hitam menuju restoran seafood langganan mereka di resort dekat kantor. Perjalanan tidak memakan waktu lama, hanya sekitar 15 menit, mereka sudah tiba. Restoran juga sepi karena ini hari kerja dan sudah lewat jam makan siang, tapi tetap saja ada beberapa tamu dan karyawan, dan semua memperhatikan Feri dan Adya saat mereka berjalan. Feri sudah terbiasa dengan hal ini, begitu pula Adya, jadi mereka tidak terlalu memusingkan dan memilih duduk di meja ujung yang dekat laut agar bisa menikmati pemandangan pantai dan bercakap tanpa terdengar pengunjung lain. “Selamat datang bapak-bapak, silakan, ini buku menunya.” Seorang waitress mendekati mereka sambil tersenyum ramah dan memberikan buku menu masing-masing ke Adya dan Feri. Feri langsung menyebutkan pesanannya dan waitress itu sigap mencatat. Kemudian, pandangan si waitress beralih kepada Adya, yang masih membuka-buka buku menu. Ia menjelaskan menu dengan sabar sambil mengigit bibirnya, dan memainkan rambutnya. Siapapun bisa melihat, waitress ini tertarik pada Adya, sama seperti waitress lain dan pengunjung perempuan restoran ini yang semuanya terlihat bisik-bisik menunjuk ke arah Adya. Ketampanan Adya memang tidak perlu diragukan, bahkan Feri sebagai lelaki mengakui kalau sahabatnya ini memang tidak hanya pintar dan kaya raya, tetapi juga tampan.  Badannya tinggi, rambutnya pendek tertata rapi, kulitnya putih bersih dengan janggut tipis, serta d**a yang bidang dan otot yang menyembul. Feri sebenarnya juga tahu ia sendiri tidak jelek, dengan tinggi yang sama dan d**a yang juga bidang, serta gaya yang necis, Feri sendiri juga terlihat seperti foto model. Tapi tetap saja kalau berjalan dengan Adya, Feri merasa tampangnya kalah ratusan poin. Meski begitu, Feri tidak pernah merasa insecure atas hal ini, selain karena Adya sendiri tidak pernah menyadari apalagi menyombongkan semua hal yang ia miliki, juga karena Feri sudah menikah dan terlalu bucin sama sang istri, Elina, untuk mempedulikan tatapan kagum wanita lain. Tapi tetap saja menarik bagi Feri melihat reaksi kekaguman para wanita setiap ia pergi bersama Adya. “Saya pesan yang sama saja mbak,” Tutup Adya. Ia terlihat tak antusias memilih menu yang aneh-aneh. “Baik, kalau ada perlu apa-apa, jangan lupa panggil saya ya pak, nama saya Ana,” waitress itu berkata genit sambil menunjuk papan nama di dadanya. Adya hanya mengangguk sekenanya lalu memangku tangan, memandangi hamparan pantai pasir putih dan deburan ombak. Feri akhirnya gemas sendiri. “Lo mikirin apaan sih bro? Dari tadi bengong melulu.” Tembak Feri. “Mikirin kerjaanlah, apaan lagi!” Adya gelagapan. Tapi Feri tahu itu bukan jawaban sebenarnya. “Bro, kita udah kenal berapa tahun sih? Masih aja ngeles. Cepetan cerita deh. Ini pasti ada hubungannya sama cewek yang tadi ganti ban mobil lo kan?” “Kok lo bisa tahu?” “Ya iyalah, dari tadi pas sampai kantor lo udah aneh gini. Makanya gue ajak kesini biar lo bisa bebas cerita.” Adya menghembuskan napas. Ia menyerah dan menceritakan soal perempuan misterius yang mengganti ban mobilnya tadi pagi. “Pantesan lo tadi tiba-tiba donasi ke panti asuhan baru ya,” Komentar Feri saat Adya menutup ceritanya. “Unik kan? Baru kali ini gue ketemu cewek yang nolak gue kasih uang. Gue menyesal, gue gak sempat minta kontaknya sama sekali, namanya aja gue gak tahu.” Adya berkata lirih. Feri mengangguk mendengar cerita Adya. Dua puluh tahun kenal dengan Adya, dia tahu Adya jarang sekali tertarik sama lawan jenis, apalagi sampai menjalin hubungan percintaan. Adya yang lahir sebagai anak tunggal di salah satu keluarga terkaya di kota Batam biasa hidup berlimpah harta, tapi hal ini yang membuat ia jadi menjaga jarak dari orang lain, karena ia benci dimanfaatkan cewek Cuma karena uang yang ia miliki. Urusan pertemanan saja Adya agak sulit dekat dengan orang lain, dia Cuma bisa dekat dengan Feri karena Feri juga berasal dari status sosial yang sama dan tidak semena-mena seperti anak orang kaya pada umumnya, sehingga Adya merasa cocok dengan Feri. Mereka juga sevisi dan semisi, tidak mau memanfaatkan status mereka untuk jadi bos di perusahaan keluarga masing-masing, dan memilih mendirikan perusahaan start-up dengan kendali penuh. “Gue terharu deh.” Feri memecah keheningan setelah mereka berdua terdiam beberapa saat. “Akhirnya lo jatuh cinta juga.” “Hah?” Adya mengerjapkan matanya pada Feri. “Jatuh cinta pada pandangan pertama lagi. Gue kira ini cuma terjadi di drama.” Feri melanjutkan sambil tertawa geli. “Apaan sih, jangan sembarangan ah! Gue cuma penasaran lho, kok jadi jatuh cinta. Kejauhan lo mikirnya. ” Adya mendengus. “Ya awalnya emang penasaran, tapi sebenarnya itu cinta. Syukurlah, setidaknya ini menegaskan kalo hati lo bukan terbuat dari batu,” Lanjut Feri, masih tersenyum lebar. “Lebay banget lo. Udah, lupain aja cerita gue barusan. Ilang langsung rasa penasaran gue sama itu cewek gara-gara lo ngeledek gue.” Adya bersungut-sungut sambil mulai menyantap nasi goreng seafoodnya. “Lho, kok gitu. Jangan dong, kali aja itu jodoh lo.” “Gimana mau berjodoh, kenal juga nggak.” “Batam itu kecil, coy. Ntar lagi juga lo ketemu lagi sama dia.” Feri berkata yakin. “Jodoh gak akan kemana.” “Perasaan Gue cuma cerita cewek yang ngeganti ban mobil gue tadi pagi kok larinya jadi ke jodoh ya,” Sembur Adya sewot. Feri semakin tergelak, senang ia bisa meledek sahabatnya lagi, setelah sekian lama. Apalagi muka Adya terlihat kemerahan, tandanya dia sebenarnya malu. “Wajarlah, lo udah usia 35 tahun. Setiap ada prospek muncul yang berkaitan dengan kehidupan percintaan, harus disambut dengan baik. Gue tahu om dan tante Effendi pasti tiap hari nanyain calon istri kan.” Adya terdiam, Feri tahu apa yang ia katakan benar. “Gue juga jadi penasaran nih sama cewek yang lo ceritain. Gak heran sih kalo lo tertarik, emang unik banget dia tiba-tiba berhenti di jalanan sepi buat gantiin ban mobil lo. Terus, dikasih imbalan juga nolak.” “Beneran deh dia beda dari semua cewek lain yang gue temuin. Biasanya cewek itu selalu mengharapkan sesuatu dari gue, ini tuh nggak.” “Yaudah, karena lo terlalu ‘pintar’ sehingga lupa nanya kontaknya, gue cuma bisa doain semoga lo cepet ketemu lagi sama dia. Dalam bulan ini lah.” “Kok lo yakin banget gue bakal ketemu lagi sama itu cewek secepatnya?” “Jodoh gak akan kemana, Dy.” “Healah Fer!” Feri tertawa geli karena berhasil membuat Adya belingsatan. Meski begitu, Feri mendoakan dalam hatinya agar Adya segera dipertemukan kembali dengan perempuan misterius itu. Feri yakin, dialah jodoh Adya yang selama ini dicarinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD