Chapter 2: Siapa Dia?

1815 Words
Adya POV Adya tentu kaget, ketika wanita muda yang berdiri di depannya menawarkan mengganti bannya.  Dia saja tidak bisa mengganti ban seperti itu, kalau bisa sudah dari tadi dia menggantinya sendiri. Biasanya supir pribadinya, pak Suroto yang mengurus urusan mobil, tapi karena hari ini pak Suroto sedang cuti jadi Adya yang bawa mobil sendiri. Sayangnya dia kena apes, pas di jalanan sepi menuju kantornya, ban mobilnya pecah. “Iya, saya bisa ganti ban kok pak,” wanita itu berkata dengan yakin, mungkin tahu Adya tampak sangsi dengan perkataannya. “Ini bannya pecah karena kena paku, tapi gantinya gak sulit kok asal ada ban cadangannya. Saya bawa peralatannya di mobil.” “Emm.. b.. boleh deh!” Akhirnya Adya menyerah. Ya mungkin tidak ada salahnya dicoba, toh dia memang harus menunggu Feri menjemputnya dan itu masih agak lama. Wanita berambut panjang itu tersenyum tipis lalu meminta Adya membuka bagian belakang mobilnya, kemudian mengambil ban cadangan di bagian bawah bagasi belakang, sementara ia kembali ke mobilnya dan mengambil peralatan untuk mengganti ban. Wanita ini lalu mencepol rambut panjangnya ke atas dan dengan sekali gerakan, menggelindingkan ban mobil itu dari tempatnya dan langsung mengganti dengan yang pecah. Gerakannya  tampak luwes menggunakan dongkrak dan kunci, ia bahkan tidak takut blazer dan rok selututnya kotor. Adya hanya bisa menonton dari samping, terkesima. “Ibu biasa mengganti ban ya?” Celetuk Adya, saking penasarannya karena baru pertama kali melihat ada wanita yang bisa mengerjakan hal ini, tanpa ragu lagi. “Dulu bapak saya punya bengkel, jadi saya belajar pak.” Wanita ini menjawab sambil tersenyum geli. Adya semakin terkesima, malah ikut tersenyum juga. Cantik juga senyumnya, ucap Adya, kali ini dalam hati. Adya juga senang dia tidak dihakimi oleh perempuan muda ini karena tidak bisa mengganti sendiri ban mobilnya. Tadinya moodnya sangat jelek karena pagi ini sudah kena sial bahkan sebelum Ia sampai kantor, tapi kini ia malah bersyukur, karena kejadian ini mempertemukannya  dengan wanita cantik misterius yang saat ini sedang berlutut di pinggir jalanan hutan Nongsa untuk mengganti mobil bannya. Adya yang memang tidak biasa basa-basi akhirnya kehilangan topic pembicaraan dan membiarkan sang wanita bekerja dalam diam, sambil terus memperhatikannya. Wanita ini sepertinya lebih muda dari Adya, bertubuh langsing dengan tinggi rata-rata, berkulit putih, memakai kaca mata kotak, blazer dan rok selutut abu dengan kemeja biru. Yang paling unik bagi Adya selain bahwa ia bisa memasang ban adalah karena ia tidak memakai sepatu hak, tapi sneakers Adidas warna ungu. Adya menyimpulkan wanita ini gaya sehari-harinya tomboy, dan tidak menjunjung tinggi slogan ‘Beauty is pain’ seperti kebanyakan wanita seusianya. Wajahnya manis dan bersih meskipun tanpa polesan make up menor.  Bukan Adya tidak menghargai wanita yang suka berdandan, tapi Adya merasa perempuan ini memiliki rasa percaya diri yang cukup tinggi bila ia bekerja dengan gaya dandan yang tidak seperti wanita karir lain. Dari pakaiannya Adya tahu wanita ini juga bekerja kantoran, Cuma agak sulit baginya menebak jenis pekerjaannya. Tidak sampai 20 menit ban sudah selesai diganti. “Sudah pak, bisa dicoba lagi tidak mobilnya?” Kata si wanita  sambil menggelindingkan ban yang pecah kembali ke dekat mobil, dan langsung diambil Adya yang sigap memasukkannya ke bagasi. Setelahnya,  Adya kembali ke balik kemudi dan mencoba menyalakan mobil, lalu memaju mundurkan mobilnya. Si Wanita menunggu di samping mobil. “Bisa bu!” Adya berteriak senang, raut mukanya menjadi sangat ceria. Ia mengancungkan jempol pada si wanita yang berdiri di luar, membuat si wanita ikut tersenyum juga. ‘Gemes banget,’ Adya menggumam pelan tanpa sengaja, tentu tidak terdengar oleh si wanita yang berada di luar mobil. “Syukurlah, ya sudah pak, saya pergi dulu ya, hati-hati di jalan,” si wanita berkata sambil melambaikan tangannya, kemudian berjalan kembali ke arah mobilnya. Adya tiba-tiba tersentak dan langsung keluar dari mobil. “Bu, tunggu!” Teriakan Adya menghentikan langkahnya. “Terima kasih banyak ya bu, sudah menggantikan ban mobil saya. Ini, mohon diterima, ucapan terima kasih saya,” Ujar Adya sambil mengeluarkan lima lembar uang seratus ribu dari dompetnya, kemudian menyerahkannya pada si wanita. “Eh, tidak usah pak! Saya cuma mau bantu kok, itu bukan hal besar,” Si wanita menolak, membuat Adya semakin kaget. Baru kali ini dia bertemu perempuan yang menolak uang pemberiannya. Tapi kali ini Adya sungguh merasa tak enak kalau tidak memberikan apa-apa. “Tapi bu, saya tidak enak kalau tidak memberi imbalan, apalagi ibu sudah repot-repot sampai bajunya kotor begitu,” wanita itu terdiam, lalu mengeluarkan kartu nama dari dompetnya, dan menyerahkan kartu itu ke Adya. “Kalau begitu, kasihkan kesini saja ya pak, imbalannya.” Adya membaca kartu nama tersebut. PANTI ASUHAN CINTA KASIH “Serius bu?” Adya bertanya lagi, memastikan. Wanita itu mengangguk lagi, sambil tersenyum. Terdengar suara panggilan berdering dari hape si wanita, “Maaf, Saya duluan ya pak, soalnya saya ada janji,” si wanita menunjuk ke hapenya, dan Adya hanya bisa mengangguk. “Halo pak? Baik pak, saya masih di Nongsa, sekitar 40 menit lagi ya pak,” Sayup-sayup terdengar suara si wanita menjawab telepon sambil berlari masuk ke mobilnya. Saat akan berjalan, wanita itu membunyikan klaksonnya sebagai tanda pamit pada Adya yang masih berdiri di tempat. Adya hanya bisa melambaikan tangannya, masih shock akan semua hal yang baru terjadi. …. Adya memarkirkan mobilnya di tempat parkir gedung kantornya yang bergaya futuristic dengan fasad oranye. Kantornya terletak di Nongsa D-Town, yang disebut-sebut sebagai Silicon Valley nya Indonesia. Sebagai Founder sekaligus CEO start-up digital payment pionir di Indonesia yang statusnya menuju Unicorn, PayDo, Adya memang sengaja mendirikan kantornya di Batam, bukan di Jakarta seperti kebanyakan start-up lainnya. Selain karena Adya memang lahir dan besar di Batam, dia juga tidak mau menghabiskan waktu bermacet ria di ibu kota. Kantor PayDo cukup besar, luasnya 2000 meter persegi dalam dua lantai. Sebagai CEO start up IT yang sebentar lagi valuasinya mencapai unicorn, Adya membuat kantornya seperti kantor Google dan f******k, jadi kantor PayDo memiliki banyak sekali fasilitas yang memanjakan pegawainya. Selain ruangan kantor yang didesain terbuka tanpa cubicle, ada juga gym, ruangan istirahat, ruang hiburan seperti bioskop, karaoke dan game center mini, serta kafetaria gratis yang menyediakan segala jenis snack dan makanan berat tiga kali sehari dan kedai kopi untuk suntikan kafein tanpa batas. Karyawan juga bebas bekerja dalam pakaian apapun asal sopan, dan tidak memiliki jam kerja yang rigid, yang penting target pekerjaan tercapai dan kalau ada meeting bisa hadir, baik secara online maupun langsung. Ada juga opsi untuk bekerja secara jarak jauh, tapi kebanyakan karyawan memilih bekerja di kantor karena senang dengan fasilitas kantor yang segala ada. Adya juga membangun asrama untuk karyawan single yang baru pindah ke Batam dan menyediakan shuttle bus dari asrama ke kantor setiap harinya. Asuransi kesehatan tambahan dengan plafon tinggi juga disediakan selain yang milik negara, ada juga kerja sama langsung dengan klinik terdekat. Adya percaya aset terpenting perusahaannya adalah karyawan, sehingga ia juga tidak ragu menggaji karyawannya sedikit lebih tinggi daripada kompetitornya. Atas semua benefit ini tentu tidak aneh lagi kalau tiap tahunnya PayDo dibombardir ribuan lamaran pekerjaan. Tapi karena hampir semua karyawannya betah, turn-over di perusahaan Adya rendah, dan semua yang diterima setiap tahun hanyalah 1-2 orang, mereka yang telah melalui proses seleksi yang sangat ketat. “Selamat pagi, pak Adya,” Resepsionis berdiri sambil memberi salam pada Adya. Adya hanya mengangguk dan berjalan ke lantai atas menuju ruang kerjanya. Gedung kantornya hanya dua lantai, pegawainya pun hanya sekitar 50 orang, tapi PayDo sudah memiliki valuasi yang besar. Dalam lima tahun, PayDo bahkan sudah sukses bekerja sama dengan mayoritas start up lokal unicorn seperti pembayaran digital untuk ridesharing, marketplace, dan online travel agent. “Loh, kok udah sampe? Baru gue mau jemput,” Feri, COO sekaligus sahabat dekat Adya berkata kaget saat melihat Adya. “Iya, udah diganti tadi bannya,” Adya menjawab sambil melangkah masuk ke ruangan kerjanya, diikuti oleh Feri dari belakang. “Siapa yang ganti? Lo manggil orang bengkel?” Feri bertanya lagi sambil duduk di sofa ruangan Adya. “Nggak ada sinyal, gue cuma bisa nelpon lo doang tadi. Pas kebetulan ada cewek berhenti terus gantiin bannya,” Adya menjawab sambil berusaha terlihat biasa saja, padahal dalam hati dia juga sebenarnya masih berusaha memproses kejadian tadi. “Hah?? Cewek??” Feri melongo, “Kok bisa dia berhenti? Siapa dia? Gimana orangnya?” “Oiya, gue lupa tanya namanya siapa!” Adya tiba-tiba tersentak saat mendengar pertanyaan Feri. Dia sungguh menyesal. Saking shocknya dia lupa bertanya nama wanita tersebut. Ia kemudian mengeluarkan kartu nama panti asuhan yang diberikan oleh si wanita, berusaha mencari tanda nama perempuan tersebut, tapi tentu tidak ada. Kartu nama tersebut hanya berisi alamat panti dan nomor rekening untuk donasi. “Raya,” Adya menelpon sekretarisnya, “Bisa tolong minta bagian akunting donasi 5 juta ke panti asuhan Cinta Kasih? Ini nomor rekeningnya akan saya emailkan. Nanti bisa dimasukkan ke CSR, jadi jangan lupa kasih keterangan pas laporan SPT,” meskipun tadi dia cuma berniat memberi 500rb rupiah pada si wanita, tapi ntah kenapa tindakan si wanita yang menolak uang dan memintanya berdonasi ke panti tersebut membuatnya menambah jumlah donasinya hingga sepuluh kali lipat. “Tumben donasi ke panti asuhan baru?” Tanya Feri saat Adya menutup teleponnya. “Iya, tadi gue udah janji.” Adya berkata pendek. “Gimana urusan sama pihak Jalantrip?” Adya mengalihkan topic agar Feri tidak bertanya lebih jauh soal apapun. “Udah beres kok, mereka minta kita mulai integrasi ke sistem mereka bulan ini,” Feri menjelaskan. Adya mengangguk. Feri memang sangat bisa diandalkan untuk urusan business development, meskipun orangnya kelihatan santai dan slengean, berbanding terbalik dengan Adya yang hampir selalu serius dan jarang senyum. PayDo memang berawal dari ide Adya yang kuliah double degree IT dan Finance di Singapura, tapi Adya mengakui PayDo tidak akan bisa berkembang tanpa kemampuan social dan marketing Feri yang handal. Feri dan Adya sudah dekat sejak jaman SMA, dan sama-sama kuliah di Singapura membuat mereka semakin seperti saudara. Ketika Adya bilang ingin buat start up di Batam 5 tahun lalu, Feri tanpa pikir panjang langsung resign dari perusahaan tempatnya bekerja di Singapura untuk membantu membangun bisnis Adya. Mereka berdua membangun PayDo, dari yang tadinya hanya memanfaatkan ruangan ekstra di rumah Adya, hingga bisa sebesar sekarang. Adya sebagai CEO focus pada urusan teknis dan keuangan, untuk urusan marketing dan general affair ia hanya memberi instruksi dan ide lalu menyerahkan pada Feri untuk mengekusinya dengan baik. “Oke deh. Coba gue kaji lagi sistem yang udah disiapin sama tim developer, terus nanti kalo oke langsung bisa kita mulai.” Adya membuka laptopnya, berusaha focus ke kerjaannya meski dalam pikirannya masih terbayang seseorang yang tadi ia temui. “Ya udah, gue mau meeting sama orang HR, ada beberapa kandidat yang kemarin mereka wawancara cocok buat jadi database administrator, mereka minta gue pilih siapa yang bakal tembus ke interview final buat ketemu kita,” Feri menjelaskan sambil berjalan meninggalkan ruangan Adya. Adya hanya mengangguk. “Kalo bisa besok ya interview finalnya, biar minggu depan mereka bisa mulai,”   “Siap bos.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD