PART 4 - Pekerjaan Baru

2123 Words
Setelah pembicaraannya dengan Orwel malam itu, Raline sudah resmi menjadi salah satu perempuan ja-lang di Red Rose Club. Raline mendapatkan pekerjaan yang ternyata lumayan menghasilkan uang itu setelah mendapat beberapa kalimat menyelidik dari Orwel. Kini perempuan itu memakai pakaian kurang bahan yang ada di ruang ganti Red Rose Club, gaun hitam sangat terbuka dengan belahan da-da rendah - yang memperlihat setengah da-da Raline. Dua puluh empat jam yang lalu... "Siapa kau?" tanya Orwel dengan mata menyipit. "Namaku Raline. Aku baru pindah dari Inggris. Aku membutuhkan uang segera dan pekerjaan ini sangat cocok untukku. Aku dengar kau menggaji gadis-gadis dengan uang puluhan juta," kata Raline. Pria itu menatap Raline dari ujung kaki sampai kepala. Wajahnya tampak cerah, seperti melihat berlian baru di depannya. Orwel mengangguk-anggukan kepalanya, "Kau terlihat pantas menarik - wajahmu cantik, tidak pasaran - dan tubuhmu juga indah. Kau adalah tipe Tuan Arie. Perempuan yang akan sangat disukai Tuan Arie." Orwel mendorong lengan Alexa dan mendekati Raline. "Apa kau paham bekerja di tempat seperti ini?" "Aku akan menemani para pengusaha itu minum. Membiarkannya menyentuh tubuhku - dan jika perlu -" Raline menatap Orwel dengan bertanya-tanya. "Apa aku harus memberikan tubuhku juga pada mereka? Apa aku harus tidur dengan mereka?" tanya Raline dengan wajah datar. Bahkan jika ia diterima di klub ini, Raline tidak akan tidur dengan siapapun - terutama pada Arie - karena ia akan lebih dulu membunuh laki-laki itu. Raline akan menghabisi nyawanya sebelum laki-laki itu bahkan menyentuh ujung rambutnya. "Itu pilihanmu. Aku mempekerjakanmu untuk memakai pakaian seksi dan menemani mereka minum. Jika mereka memintamu untuk tidur dengan mereka, kau boleh setuju dan mereka akan membayarmu. Tapi kau bisa menolak dan pengawalku bisa memastikan mereka tidak akan memaksamu. Meskipun tidak ada menolak uang yang ditawarkan para pengusaha itu selama ini, apalagi pengusaha muda tampan seperti Tuan Arie Bastiaan," jelas Orwel dengan mata berbunga-bunga ketika membicarakan Arie. Raline menganggukkan kepalanya, ia rasa pekerjaan ini tidak sepenuhnya buruk. Raline hanya perlu melakukannya satu malam untuk melakukan rencananya pada Arie. "Jadi apa kau menerimaku bekerja di sini?" tanya Raline. Orwel tampak berpikir, "Kau sangat menggiurkan dan muda. Aku memang sedang mencari gadis baru dan kau akan sangat digemari pria-pria kelaparan itu." Orwel memeluk Raline dan membelai rambut coklat wanita itu. "Aku menerimamu, Cantik. Kau bisa bekerja mulai besok malam dan aku akan mengenalkanmu pada Arie Bastiaan - pelanggan terbaikku di sini. Kau akan menyukainya - dia adalah dewa Zeus, Yusuf, Arjuna, atau siapapun itu yang melambangkan ketampanan. Kau akan bersujud di bawah kakinya, Cantik," kata Orwel dengan penuh semangat. Raline tersenyum miring ketika mengingat perkataan Orwel. Ketampanan laki-laki itu tidaklah penting, karena Raline akan membunuhnya malam ini. "Ya Tuhan, kau terlihat seperti dewi seks, Raline. Kau akan menjadi fantasi setiap pria di tempat ini. Aku ingin memajang wajahmu di depan klub ini sekarang juga. Aku benar-benar harus mempertimbangkannya, kau cocok menjadi wajah klub malam ini - menggairahkan, tapi tetap elegan," kata Orwel dengan mata berbinar. Raline tidak merasa senang sedikit pun mendengar pujian itu. Perempuan itu bergerak tak nyaman saat gaunnya terangkat keatas ketika ia duduk. Raline melihat wajahnya di kaca dan merasa terpukau menyadari perubahannya dari Aletha yang polos dan lugu menjadi Raline yang menggoda dan nakal. "Raline, kau ingat namamu di sini, kan? Namu adalah Rose. Aku selalu memberi nama samaran pada setiap gadis yang bekerja padaku karena aku tidak ingin para pria di sini mengulik kehidupan pribadi mereka." "Aku tahu." "Kau harus mengenalkan dirimu sebagai Rose di sini, kau paham?" Raline mengangguk, menatap rambut pasangannya yang sudah ia beli sejak di Inggris. Sedangkan Orwel tampak tak suka Raline memakai rambut pasangan. "Kau yakin akan memakai benda itu? Aku lebih suka dengan rambut coklat bergelombangmu. Kenapa kau harus menutupinya?" "Aku tidak ingin pria-pria itu mengenaliku di luar tempat ini. " "Baiklah, kau boleh melakukan itu. Bagaimanapun bentuk rambutmu, kau masih sangat cantik dan sebenarnya kau cocok dengan rambut hitam lurus itu - apalagi dengan poni rata yang menutupi setengah dahimu itu. Kau terlihat lebih muda," kata Orwel. Orwel meninggalkan Raline di ruangan ganti itu bersama para gadis lainnya. Mereka menatap Raline dengan berbagai macam ekpresi - datar, benci, kagum, dan tatapan lainnya. Raline tidak peduli dengan semua itu dan mulai merias wajahnya. Lima menit kemudian, pintu terbuka dan Orwel masuk dan memanggil Raline, "Rose, cepat kesini! Tuan Arie sudah datang! Aku akan segera mengenalkanmu padanya," ujar Orwel. Raline berdiri dan merapikan alat make up-nya. Perempuan itu melihat dirinya di cermin - mengagumi keterampilan riasnya padahal Raline baru saja belajar seminggu yang lalu. Meskipun hanya keterampilan dasar, tapi sentuhan make up Raline sudah cukup membuat wajah cantik perempuan itu lebih berwarna dan hidup. Orwel berjalan dengan cepat menuju sebuah ruangan VVIP nomor 2 yang ada di lantai tiga klub malam itu. Orwel membuka pintu dan mempersilakan Raline untuk masuk. Di sana sudah ada Arie yang mengenakan kemeja hitam dengan dua kancing teratas terbuka, memperlihatkan sebagian dadanya yang bidang dan dua orang perempuan berpakaian tak lebih baik dari Raline yang sudah duduk di kiri dan kanannya. "Tuan Arie, ini perempuan yang saya maksud tadi," kata Orwel sambil menarik Raline berdiri agak dekat dengannya. Orwel mendorong tubuh Raline mendekati Arie, "Perkenalkan dirimu ke Tuan Arie," perintah Orwel. Raline menelan ludahnya dan menatap mata laki-laki itu untuk pertama kalinya. Raline merasa tubuhnya menegang dan udara di sekitarnya seperti membeku ketika Arie membalas tatapannya - tajam, kuat, dan penuh kegelapan . "Perkenalkan, kau bisa memanggil saya Rose. Saya gadis baru di sini. Saya sudah mendengar banyak tentangmu, Tuan Arie," kata Raline dengan sisa-sisa ketegangannya. Laki-laki itu belum juga melepaskan tatapannya dan Raline semakin merasa ada yang salah pada dirinya. Bagaimana bisa Raline merasakan tarikan seksual yang tinggi pada laki-laki itu. Bukankah mereka sedarah? Laki-laki itu adalah kakak tirinya. Di darah mereka mengalir darah i-blis yang sangat Raline benci. Raline tidak boleh merasakan ketertarikan ini pada kakaknya sendiri.Tidak boleh. "Kalau begitu, saya akan meninggalkan Raline di sini," kata Orwel lalu meninggalkan ruangan itu. Raline berdiri dengan tidak nyaman di depan Arie. Melihat tangan dua perempuan di samping laki-laki itu mulai menggerayangi da-da dan perut Arie dengan liar. Tapi laki-laki itu tidak mengalihkan pandangannya pada Raline. Dengan wajah datar yang seolah tidak merasakan sentuhan para perempuan ja-lang di tubuhnya, Arie masih menatap Raline. Tatapan laki-laki itu membuat Raline merasa ditelanjangi hingga perempuan itu menarik gaunnya ke bawah dengan tidak nyaman. Raline juga menarik rambutnya ke depan hingga menutupi da-danya. Meskipun Raline mati-matian berusaha menjadi perempuan ja-lang, tapi tetap saja Raline tidak terbiasa ditatap seintens itu oleh laki-laki. "Sampai kapan kau akan berdiri di depan seperti itu?" Suara berat itu memenuhi ruangan dan Raline segera duduk di ujung kursi panjang yang melingkar itu. Agak jauh dari tempat Arie duduk. Sialnya, ketika Raline duduk, gaun hitam yang dipakainya semakin terbuka dan memperlihatkan paha mulusnya. Raline menyilangkan kakinya karena merasa tidak nyaman di bagian intinya, tapi hal itu malah semakin mengangkat gaunnya hingga mencapai paha atasnya. Raline membuka kakinya kembali dan menarik gaunnya ke bawah dengan paksa. "Apa kau sengaja melakukan itu?" tanya Arie. Raline menatap Arie dengan kening berkerut, "Apa maksudmu?" "Membuka dan menutup kakimu seperti tadi. Apa kau sengaja melakukannya? Untuk menggodaku?" lanjut laki-laki itu. Raline terperangah tidak percaya pada jalan berpikir laki-laki itu, "Tentu saja tidak. Aku hanya tidak nyaman dengan gaun -" "Kalau kau melakukan itu untuk menggodaku, kau berhasil," potong Arie. Raline gelagapan dan wajahnya memerah. Seharusnya ia marah pada ucapan laki-laki itu. Harusnya Raline jijik dan benci pada laki-laki itu. Tapi apa yang dia rasakan saat ini di luar apa yang ia harapkan. Kenapa Raline merasakan wajahnya memerah dan sesuatu yang asing tapi mendebarkan mengalir di seluruh tubuhnya saat ini? Raline menyerah. Perempuan itu mengambil bantal di sebelahnya dan meletakkan bantal itu di pangkuannya. Hal itu tidak luput dari perhatian Arie dan laki-laki itu tersenyum miring melihat Raline. Dua perempuan di kanan dan kiri Arie seperti tidak mempedulikan percakapan mereka berdua dan masih asik menyentuh tubuh Arie dengan tidak senonoh. Mereka meletakkan tangannya di leher Arie - lengan, bahu, pahanya, - dan kini salah satu mereka membuka kancing kemeja Arie hingga sampai perutnya, memperlihatkan d**a bidang Arie yang membuat Raline memutar kepalanya. Raline tak pernah melihat tubuh laki-laki seterbuka itu sebelumnya. "Siapa namamu?" tanya Arie lagi. "Rose. Aku sudah menyebutnya tadi." "Bukan itu. Aku ingin tahu nama aslimu." Nama asli? Bahkan jika Raline mengatakan namanya sekarang, itu bukan namanya yang sebenarnya. Perempuan itu baru sadar ia mempunyai banyak nama selama ini. "Namaku Rose, Tuan Arie," kata Raline lagi. "Jangan panggil aku Tuan!" Raline mengerutkan keningnya bingung, tapi akhirnya perempuan itu menganggukkan kepalanya. Tidak ingin berdebat dengan orang yang sebentar lagi akan mati itu. "Panggil aku Arie," ucapnya lebih lembut "Baik, -" Raline menelan ludahnya gugup. "Arie." Nama itu sangat familiar dalam hidupnya. Ketika mengucapkan nama itu, Raline akan mengingat semua masa lalunya yang penuh luka, kesakitan, dan ketakutan. Raline tak pernah terbiasa mengucapkan nama itu. Begitu pula dengan sekarang. "Jadi, siapa namamu sebenarnya?" tanya Arie lagi. Raline tidak menyangka laki-laki itu akan seingin tahu ini tentangnya. "Maaf, Arie. Aku tidak bisa memberitahumu. Namaku adalah Rose. Dan kau hanya bisa memanggilku ketika di tempat ini," kata Raline. Arie tersenyum miring, meraih minumannya lalu meneguknya sampai habis. "Bagaimana kau tahu aku hanya akan menemuimu di tempat ini?" kata Arie. "Karena tidak ada alasan kita bertemu di tempat lain? Aku bekerja di sini untuk menemanimu minum. Selain itu, kita tidak memiliki alasan untuk bertemu," kata Raline. Arie menganggukkan kepalanya. Raline semakin tidak nyaman ketika tangan dua perempuan di samping laki-laki itu sudah masuk ke balik kemeja Arie dan membuat kemejanya hampir terbuka sepenuhnya. Seperti mengetahui ketidaknyamanan Raline, Arie menjauhkan tubuhnya dan melepaskan tangan-tangan nakal perempuan itu darinya. Arie kembali mengancingkan kemejanya sampai atas. "Berapa aku harus membayar jika aku ingin mengajakmu bertemu di luar tempat ini?" tanya Arie setelah mengancingkan kemejanya. "Maaf?" "Bukankah kalian semua sama saja? Melakukan pekerjaan ini untuk mendapatkan uang dari pria sepertiku?" Arie menatap Raline dengan pandangan merendahkan. "Kau tampaknya terlalu percaya diri pada kecantikanmu hingga berani jual mahal di depanku. Tapi aku tidak akan tertipu dengan trik w************n seperti kau. Jadi, katakan berapa hargamu. Kalau kau bilang aku tidak akan bisa bertemu denganmu selain di tempat ini, apakah kau akan berubah pikiran jika aku membayarmu untuk sebuah pertemuan di luar klub ini?" Amarah mengalir ke seluruh pembuluh darah Raline. Perempuan itu menatap tajam laki-laki yang masih memasang wajah datar itu. Semua sensasi asing yang ia rasakan pada Arie lenyap tak bersisa. Kebencian kembali memenuhi Raline. Laki-laki itu tak ada bedanya dengan ayahnya. Mereka sama saja, manusia tanpa hati yang suka merendahkan orang lain. Raline ingin berdiri dan menampar wajah laki-laki itu sekuat tenaga, tapi ia menahan diri. "Aku tidak datang ke sini untuk menjual diriku, Tuan," kata Raline dengan tegas. Arie tertawa kecil dan menatap Raline seperti perempuan yang tak memiliki harga diri. "Semua perempuan yang bekerja di tempat seperti ini akan berakhir di tempat tidur seseorang. Itu adalah sebuah tolak ukur jika kau ingin sukses di bidang ini. Semakin banyak pria yang menidurimu, semakin kau akan terkenal dan bayaranmu akan semakin tinggi." Raline berdiri, tak tahan mendengar penghinaan yang dilontarkan Arie. "Itu lebih baik daripada pria kesepian sepertimu yang hanya mendapatkan kenikmatan di tempat seperti ini. Apa tidak ada perempuan yang rela kau tiduri tanpa bayaran hingga membuatmu selalu datang ke tempat ini? Apa kau seburuk itu, Tuan Arie?" balas Raline sambil menatap rendah laki-laki di depannya. "Apa kau bilang?" Arie berdiri dan mendekati Raline. Laki-laki itu mencengkram lengan Raline dengan kuat, "Apa kau bilang?" Raline mencoba tidak gentar oleh tatapan tajam Arie yang seperti mengirisnya. "Apa tidak ada yang mencintaimu sehingga kau harus mengeluarkan uang untuk bercinta di sini? Mencari perempuan ja-lang sepertiku untuk menghangatkan ranjangmu?" Raline pikir Arie akan membalas perkataannya, menampar wajahnya, atau mendorong tubuhnya, tapi laki-laki itu melakukan hal yang tidak ia duga. Arie mendekatkan bibirnya dan mencium Raline dengan paksa, bibirnya memberontak untuk masuk. Raline mendorong da-da Arie, tapi laki-laki itu tak bergerak sedikit pun. Raline mengatupkan bibirnya dengan rapat, tak membiarkan laki-laki itu menjelajahi mulutnya. Ya Tuhan, laki-laki itu adalah kakaknya. Dia adalah anak dari ayah kandungnya. Bolehkah laki-laki yang sedarah dengannya itu menciumnya dengan panas seperti ini? Bolehkan Raline merasa ikut dalam gejolak panas laki-laki itu seperti ini? Bolehkan Raline merasakan gairah pada kakak laki-lakinya sendiri seperti ini? Raline ingin menangis, menenggelamkan kepalanya ke dasar air dan menjernihkan isi kepalanya. Raline datang ke sini untuk membunuh laki-laki itu. Membunuhnya sebagai balasan atas apa yang dilakukan ayahnya pada ibu Raline. Bukankah Raline sekarang memiliki banyak kesempatan untuk membunuh laki-laki itu? Tapi, kenapa ia menjadi lengah seperti perempuan murahan hanya karena sebuah ciuman seperti ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD