Nama perempuan itu sudah berganti.
Raline - itulah nama yang dipilihkan ibunya untuk Aletha.
Raline - Aletha tak begitu menyukai nama itu, tapi bukankah kadang kita harus melakukan hal yang tidak kita suka untuk mencapai tujuan yang lebih besar?
Raline - bagaimanapun itu hanya sebuah nama. Aletha akan memanggil dirinya sendiri Raline. Perempuan misterius, tanpa keluarga, dan hanya memiliki satu tujuan - membalas dendam pada keluarga Bastiaan.
"Ini kuncinya, Nona," ucap resepsionis di depannya.
Perempuan berseragam putih dengan syal hitam di lehernya itu tersenyum manis pada Raline. Raline menatapnya datar dan perempuan itu berbisik ke perempuan di sebelahnya.
"Lihatlah, dia begitu cantik. Apa dia artis? Kenapa aku tidak pernah melihatnya selama ini?" bisik resepsionis itu yang masih di dengar Raline dengan jelas.
Temannya yang terlihat sibuk dengan komputer mengangkat kepala dan melihat Raline. Tampak menilai Raline dari atas sampai bawah. Raline memakai terusan yang sangat pendek dan tipis. Dengan motif garis-garis yang terbuka di bagian da-da atasnya - sangat seksi. Perempuan itu mengurai rambut panjangnya dan di telinganya terpasang anting-anting yang sangat besar. Riasan tipis di wajahnya sangat natural dan tidak berlebihan.
Aletha tak pernah memakai pakaian terbuka seperti itu - tapi Raline akan terus menggunakannya. Musuhnya - Edward dan Arie Bastiaan adalah dua orang yang suka mempermainkan perempuan. Mereka menggunakan perempuan seperti seperti tisu sekali pakai. Dua ba-jingan, ayah dan anak itu menyukai perempuan yang berpakaian terbuka. Mereka suka bermain ke klub mewah dan elit di kota itu dan menyewa berbagai perempuan yang menarik perhatian mereka - model, artis, pela-cur, atau siapapun yang mereka inginkan.
Hanya perempuan ja-lang cantik yang bisa mendekati dua orang itu dan Raline akan menjadi perempuan ja-lang yang sempurna. Perempuan yang mereka inginkan, tapi tak akan pernah mereka dapatkan.
"Benar sekali! Siapa perempuan itu? Apa dia artis pendatang baru? Kenapa aku tidak pernah melihatnya selama ini?" kata resepsionis yang satunya lagi.
Raline berdeham dua kali untuk memanggil mereka, "Aku akan membayar untuk satu minggu, aku akan memperpanjangnya jika urusanku lebih lama," kata Raline.
Resepsionis di depannya segera mengambil kartu yang diberikan Raline. Mereka melihat Raline dengan terpukau sampai perempuan itu pergi dan tidak terlihat lagi. Raline berjalan sambil membawa koper besarnya menuju lift. Hari yang melelahkan dengan perjalanan panjang menuju ke negara ini. Malam ini, Raline hanya akan tidur. Dan besok - ia akan menjalankan rencananya.
****
Raline menghentikan taksi di depannya. Perempuan itu masih bisa merasakan tatapan dua resepsionis yang membicarakannya kemarin. Ketika Raline keluar, mata mereka membesar melihat Raline mengenakan gaun hitam dengan belahan da-da lumayan panjang. Raline merias wajahnya lebih berani, dengan lipstik merah menyala dan bulu mata yang lumayan tebal. Di pinggang perempuan itu tergantung sabuk yang terbuat dari perak berbentuk rantai.
Dua hari sebelum meninggalkan Inggris, Raline pergi ke sebuah butik terkenal dan membeli semua pakaian terbuka yang ada di sana. Puluhan gaun-gaun seksi sudah memenuhi kopernya. Beberapa keluaran merek terkenal. Ibunya meninggalkan banyak uang untuk Raline. Uang yang di dapatkannya dari usaha restorannya yang terkenal di Inggris. Ibunya menabung banyak sekali uang - hingga Raline berpikir apakah ibunya tahu bahwa suatu saat ia akan meninggalkan Raline.
"Ke kantor Bastiaan Group, Pak," kata Raline.
Tidak ada yang tidak tahu Bastiaan Group. Sopir itu langsung menjalankan mobilnya tanpa bertanya lebih lanjut pada Raline. Mereka berkendara sekitar sepuluh menit sebelum sopir taksi menurunkan Raline di sebuah pusat perbelanjaan termewah di Indonesia yaitu Bastiaan Mall - salah satu usaha dari sekian banyak bisnis yang dimiliki Bastiaan Group. Kantor pusat Bastiaan Group berada di sebelah mall itu.
Raline menggunakan kacamata hitamnya, dengan sepatu berhak 10 cm-nya perempuan itu memasuki kantor Bastiaan Group. Gedung dua puluh lantai dengan desain modern yang sangat mewah. Raline melihat satpam di depan pintu, tapi dengan percaya diri perempuan itu berjalan lurus dan satpam itu tidak mencegatnya. Raline masuk, orang-orang yang berlalu-lalang di depannya seketika melirik Raline dengan wajah tertarik, terutama karyawan laki-laki.
Perempuan itu mengamati sekelilingnya. Raline tidak mungkin menemui Arie Bastiaan di kantor ini. Banu belum selesai mengurus surat kelulusan Raline dan ia tidak mungkin melamar kerja di sini. Sepertinya bertemu dengan Arie akan lebih sulit dari yang ia pikir.
Tapi tiba-tiba - seperti Tuhan sedang mendengar pikiran Raline - Arie keluar dari lift yang akan dimasuki Raline.
Laki-laki itu - sangat sulit untuk dijelaskan.
Raline hanya melihatnya di majalah bisnis dua hari yang lalu. Tapi laki-laki di depannya ini - memiliki aura yang sangat kuat. Seperti Raline tersihir oleh kehadirannya beberapa detik. Matanya begitu tajam - terlihat lebih dewasa dari umurnya dengan rambut-rambut halus di rahangnya yang keras seperti batu. Rambutnya berwarna hitam legam, senada dengan bola matanya. Bibirnya terkatup rapat dan tatapannya seperti mengiris apapun yang dilihatnya.
Raline segera mundur untuk menyembunyikan diri. Seketika orang yang berlalu-lalang di lantai itu berhenti untuk memberi laki-laki itu jalan. Semua orang menunduk ketika Arie dan rombongannya berjalan di ruangan itu. Tak ada yang berani menatapnya. Tak seorang pun. Aura kuat yang dikeluarkan laki-laki itu membuat siapapun ingin menjauh - sangat jauh, bersembunyi dari laki-laki itu.
Raline berdiri di antara dua karyawan perempuan yang lewat ketika Arie dan rombongannya berhenti. Dua perempuan muda berdiri di hadapan Arie. Raline tahu mereka adalah karyawan Bastiaan Group ketika melihat kartu identitas yang menggantung di lehernya. Salah satu perempuan itu menunduk di hadapan Arie.
"Ambil," ucap laki-laki itu dengan nada rendah.
Suaranya begitu dingin - tak berperasaan. Membuat perempuan di depannya semakin bergetar ketakutan.
"Saya akan mengambilnya, Pak Arie. Maafkan saya," ucap karyawan muda itu sambil menunduk dan berniat mengambil sebuah permen yang menempel di sepatu Arie.
"Maksudku, ambil dengan mulutmu," ucap laki-laki itu lagi dengan wajah datar.
Semua orang di ruangan itu tampak kasihan kepada karyawan muda itu, tapi tak ada yang terlihat terkejut dengan sikap Arie. Hanya Raline yang menganggap laki-laki itu sudah keterlaluan. Seperti apa yang dilakukan laki-laki itu adalah hal wajar. Benar, laki-laki itu tak jauh beda dari ayahnya, mereka menyandang nama belakang yang sama dan harusnya Raline tidak mengharapkan laki-laki itu bersikap baik pada bawahannya.
Karyawan muda itu menegakkan tubuhnya kembali dan menatap Arie dengan takut, "Tapi -"
"Bukankah kau membuka permen itu untuk memakannya? Entah itu jatuh atau tidak, kau tetap harus memakannya," kata Arie.
Mata karyawan muda itu berkaca-kaca. Sedangkan temannya yang berdiri di belakangnya juga tampak ketakutan. "Kau tidak mau mengambillnya? Kau sudah mengotori sepatu mahalku! Kau pikir kau mampu mengganti sepatuku?" bentak Arie .
Seorang laki-laki di belakang Arie, laki-laki kurus tinggi dengan rambut cepak dan berkacamata, melangkah ke depan Arie, "Tuan, biar saya saja yang mengambilnya," kata laki-laki itu sambil membungkukkan badannya.
"Apa kau bilang?" tanya Arie.
"Biar saya saja yang mengambilnya," ulang laki-laki itu lagi.
"Dengan mulutmu?"
"Benar, Tuan."
"Lakukan."
Laki-laki itu menurunkan tubuhnya di bawah Arie dan mengambil permen dari sepatu Arie dengan mulutnya. Setelah permen itu terambil, Arie kembali berjalan lurus seolah tidak ada yang terjadi. Sedangkan dua karyawan muda itu mengucapkan terima kasih kepada laki-laki yang mengambil permen itu. Laki-laki itu pun menyusul Arie dengan cepat.
Karyawan perempuan di depan Raline berbisik, "Selalu seperti itu, Sean selalu membantu orang yang mendapat masalah dengan Arie. Apa untungnya Sean melakukan itu?"
"Sean adalah asisten Arie, mungkin itu bagian dari pekerjaannya. Menyelesaikan masalah ketika atasannya menjadi gila seperti tadi," sahut perempuan yang satu lagi.
Orang-orang kembali berjalan, termasuk dua perempuan di depan Raline. Dengan langkah tergesa-gesa, Raline keluar dari kantor itu dan berharap masih menemukan Arie. Raline mencarinya di tempat parkir, tapi begitu banyak mobil di sana. Ketika Raline akhirnya menyerah dan menghentikan taksi untuk pulang, Raline melihat Sean - asisten Arie menghentikan mobil di depan kantor. Orang di dalam menurunkan jendela mobil dan Raline bisa melihat Arie. Raline segera masuk ke taksi dan menyuruh sopir mengikuti mobil hitam itu.
****
Raline menyandarkan kepalanya ke meja di depannya. Sudah lebih dari sepuluh jam Raline mengikuti Arie dan Sean. Mereka hanya melakukan pertemuan bisnis dari pagi sampai malam. Berpindah dari kantor satu ke kantor lain - dari restoran satu ke restoran yang lain. Laki-laki itu sangat sibuk dan Raline bahkan tidak bisa menemukan celah untuk melakukan rencananya.
Raline mengambil botol kaca kecil di tasnya. Itu adalah racun Polonium yang ia bawa. Raline membelinya dari salah satu pengedar obat-obatan terlarang di Inggris. Dengan satu miligram saja, orang yang akan menelannya akan mati dua hari kemudian. Tidak ada yang bisa mendeteksi racun itu. Tidak ada yang sadar bahwa Raline yang meracuni laki-laki itu.
Sudah dua kali Raline mencoba mendekati meja Arie untuk menaruh racun itu, tapi Raline selalu gagal. Sean selalu berada di samping laki-laki itu. Ketika Arie ke toilet, Sean akan bersiaga di mejanya. Raline tidak bisa mendekati mereka sedikit pun, apalagi untuk menaruh racun itu di minuman Arie.
Sudah pukul sembilan malam, Raline berniat akan pulang saja dan melanjutkan rencananya besok. Tapi perempuan itu berhenti ketika melihat Arie dan Sean juga meninggalkan restoran.
Mereka kembali ke mobil dan Raline segera menghentikan taksi yang lewat. Raline mengikuti mereka. Mobil Arie tidak mengarah ke rumah keluarga Bastiaan dan tidak mungkin mereka melakukan pertemuan bisnis lagi di larut malam seperti ini. Rasa penasaran Raline terbayarkan ketika mereka berhenti di sebuah klub mewah di tengah kota. Klub mahal yang hanya didatangi oleh orang-orang elit di negara itu - mulai dari pejabat, artis, model, dan pengusaha seperti Arie. Klub malam yang pasti menjadi tempat langganan Arie dan ayahnya.
Arie dan Sean menuju ke meja bar yang ada di tengah klub itu. Mereka terlihat akrab dengan bartender di sana. Seorang pria berpakaian kuning cerah dengan gaya feminin mendekati mereka. Raline duduk di samping Sean dan memesan segelas minuman beralkohol. Mencoba mendengarkan percakapan mereka.
"Tuan Arie, Anda ingin ditemani siapa hari ini? Alexa? Nataly? Kau selalu suka mereka berdua," kata pria feminim itu dengan senyum lebar.
"Aku tidak pernah menggunakan perempuan lebih dari tiga kali. Jangan pernah membawa dua perempuan itu ke hadapanku lagi," kata Arie.
Pria feminim itu tampak kecewa. "Padahal mereka sudah bersiap ingin bertemu denganmu lagi, Tuan Arie. Alexa adalah model papan atas di negara ini dan Nataly -" Mata pria feminim itu melebar penuh binar seolah melihat berlian di depannya. "Dia adalah harta berharga di klub ini. Tidak ada yang tidak menginginkannya, Tuan."
Arie meminum alkohol di depannya sambil berkata, "Berhentilah berbicara dan carilah perempuan lain untukku, Orwel," kata Arie.
Pria feminim yang dipanggil Orwel itu memegang dahinya tampak berpikir, "Tidak ada, Tuan. Tidak ada perempuan di sini yang belum bertemu dengan Tuan. Anda juga tidak ingin jika aku kenalkan pada para pela-cur di klub cabang kami."
"Kalau begitu pergilah! Aku akan minum saja malam ini," kata Arie.
Orwel mengerucutkan bibirnya kecewa lalu meninggalkan Arie. Raline melirik mereka. Mencoba mencari kesempatan untuk menaruh racun di minuman Arie. Tapi Raline tetap tak memiliki kesempatan. Meskipun Arie sudah setengah mabuk, Sean masih seutuhnya sadar. Asisten Arie itu tidak menyentuh alkohol sedikitpun, bahkan tidak mengedipkan matanya menatap Arie dengan fokus luar biasa.
"Tuan, Anda sudak mabuk. Saya akan mengantar Anda pulang," kata Sean ketika Arie sudah menghabiskan dua botol minumannya.
Arie mengeluarkan dompetnya dan membayar pada bertender. Sean terlihat ingin memegangi Arie, tapi laki-laki itu menepis tangan Sean dan dengan sempoyongan keluar dari klub malam itu. Raline melihat mereka berdua sampai hilang dari pandangannya. Setelah menghabiskan satu gelas koktail di depannya, Raline mencari pria feminin yang berbicara dengan Arie tadi.
Raline menemukan pria itu sedang berbicara dengan perempuan berambut pirang, "Sudah kubilang Tuan Arie tidak ingin bertemu denganmu, Alexa. Aku akan mengenalkanmu pada laki-laki lain - yang lebih kaya daripada Arie Bastiaan," kata Orwel.
Perempuan yang dipanggil Alexa itu merengut marah, "Memangnya apa yang dikatakan Arie? Kau pasti membohongiku, kan? Kau tidak tahu bagaimana puasnya Arie denganku kemarin? Percintaan kami sangat menggelora dan dia tidak mungkin meninggalkanku begitu saja! Aku akan mencari Arie sendiri!" ujar Alexa.
Orwel mencekal tangan Alexa, "Dengar, aku tidak akan mempertaruhkan pelanggan VVIP terbesarku hilang karena dirimu, Alexa. Tuan Arie bilang ia tidak akan memakai perempuan lebih dari tiga kali! Kau sudah bersamanya tiga kali! Kau harusnya bersyukur dengan itu! Tidak ada yang dicari Tuan Arie lebih dari dua kali selain kau dan Nataly selama ini! Aku akan mencari perempuan baru untuk Tuan Arie, jadi kau menyingkirlah! Jangan menemuinya!" bentak pria feminin itu yang ternyata cukup menakutkan.
Raline mendekati mereka dan melepaskan kacamata hitamnya. Raline berharap riasan wajahnya masih sempurna dan gaunnya cukup seksi saat perempuan itu berkata,
"Bisakah aku bekerja di sini? Aku dengar kau sedang mencari perempuan baru untuk Arie Bastiaan - konglomerat itu?"