07. Kekasih Gelap

1324 Words
Rex melotot, terkejut hingga sontak berdiri. “Papa jangan setega itu kepadaku! Aku ini anak kandung Papa! Demi Lyra, kenapa sampai berbuat sekejam ini?” Namun, Harlan tetap bersikap tegas. “Papa selama ini sudah salah terlalu membiarkan kamu dimanja oleh Mamamu. Papa kira, pada akhirnya kamu akan berubah menjadi lelaki yang bertanggung jawab! Nyatanya? Kamu semakin hari semakin jauh dari kata baik!” “Saat ini, apa yang Papa lakukan mungkin terlihat buruk di matamu, rex. Tapi, lihat saja sekian tahun dari sekarang, kamu akan bersyukur karena Papa bersikap tegas seperti sekarang!” “Ingat perintah Papa baik-baik! Berhenti berhubungan dengan Marina, dan jadilah suami yang baik untuk Lyra! Sudah, sekarang Papa mau bekerja!” pungkas lelaki bijak itu menghela napas panjang, lalu menyalakan layar komputer. Rex yang masih berdiri dengan tangan tergenggam emosi hanya bisa menatap nanar. Perintah ayahnya bukan sesuatu yang ia akan lakukan dengan sukarela. “Terserah Papa!” desisnya, lalu berjalan keluar. Pintu ruangan dibanting dengan sangat keras. Ia yakin ayahnya di dalam sana terkejut. “Lihat saja, Lyra! Gara-gara jebakanmu, aku sekarang terpenjara seperti ini! Akan kubuat hidupmu menderita karena sudah bersedia menjadi istriku!” *** Masuk ke dalam kamar tidur, Rex melihat Lyra sedang rebahan di atas ranjang dengan mata tertutup. Napasnya memburu panas, kaki berjalan cepat, tangan mencengkeram kasar. “Bangun, b******k!” bentaknya menarik tubuh sang istri hingga jatuh dari atas peraduan. Reflek, Lyra menjerit, “Aduuuh!” Siku terasa sakit karena membentur lantai yang dingin. Dengan napas tersengal dan mata merah, Rex kembali membentak. “Siapa suruh kamu tidur di kasurku, sialan? Kamu itu haram hukumnya tidur di kasurku!” “Aku tidur di mana? Aku juga lelah, mau istirahat! Kita ini sudah menikah dan aku berhak tidur di kasurmu!” kesal Lyra sambil bangkit dari atas lantai dan mengusap sikunya yang nyeri. “Sudah kubilang! Jangan mimpi bisa seranjang denganku, Lacur!” maki Rex mendorong pundak istrinya hingga terhuyung ke belakang. Lyra memandang dengan ketakutan. Napasnya terbata dengan kerongkongan mendadak kering. Rex yang seperti sekaran sungguh menyeramkan. Belum puas mendorong, Rex mendekat dan langsung menjambak rambut panjang wanita itu. “Kalau sampai kamu mengatakan kepada Papa apa saja yang kuperbuat, jangan salahkan aku kalau besok kamu sudah tidak bernyawa!” “R-Rex ... s-sakit ... sa-sakit,” rintih Lyra dengan kepala terdongak ke belakang. Ia merasa sangat sakit di kepala akibat jambakan kasar suaminya. “Aku bisa melemparmu dari jendela kamar dan mengatakan kalau kamu ingin bunuh diri! Keluargaku kaya raya, kami orang terhormat! Kenalan Papa dan Mama semua adalah pejabat, pengusaha konglomerat, dan orang-orang angkatan!” desisnya menyeringai. “Papa tidak akan membiarkan aku masuk penjara. Jadi, camkan itu baik-baik di otak sialanmu itu, Lacur! Kamu dan aku hanya suami istri di atas kertas. Jangan pernah berharap lebih! Kalau anak itu lahir, aku juga tidak akan mengakuinya sebagai anakku!” Ia melepas jambakannya dari kepala Lyra. “Kalau kamu lelah, tidur saja di sofa dekat jendela itu! Aku tidak sudi satu ranjang denganmu! Hanya Marina yang boleh satu ranjan denganku!” “Ma-Marina?” gumam Lyra karena nama itu sudah pernah ia dengar dari Ajeng beberapa waktu lalu. Pun, tadi malam ia mendengar suaminya berbincang di telepon dan memanggil nama tersebut. “Ya, Marina Kristanto! Dia adalah pacar sekaligus calon istriku sebelum kamu datang menjebak! Gara-gara kamu, aku tidak bisa menikahinya, sialan! Kenapa kamu tidak mati saja!” Rex mengucap dengan berapi-api, sungguh membenci. Lyra menunduk, baru kali ini ada orang yang mengharapkan dirinya mati saja. Baru kali ini pula ... ia merasa begitu sakit lahir batin akibat dikasari terus menerus. Lelehan bening menuruni pipi putih. ‘Rex benar-benar mencintai Marina. Makin lengkap sudah kesalahanku di matanya. Aku juga tidak pernah minta dinodai. Semua ini salahnya, tapi aku yang dijadikan kambing hitam.’ Dengan gontai, Lyra melangkahkan kakinya keluar kamar. Ia butuh menenangkan diri agar bisa menerima kenyataan pahit. Hidup bagai burung dalam sangkar, siapa yang mau sekalipun terbuat dari emas? “Mau ke mana kamu?” bentak Rex. “Mau ke bawah,” jawab Lyra menoleh. Rex terkekeh sinis, “Bagus! Memang kamu pantasnya di lantai satu dengan para asisten rumah tangga, sopir, dan tukang kebun! Lantai dua adalah tempat khusus keluarga dan orang terpandang!” Membuka knob pintu, Lyra tidak menjawab. Ia mengusap air mata, menahan perihnya hati yang sama perih dengan kulit kepala bekas jambakan, lalu pergi dari kamar. Mantan perawat lansia itu melangkah dengan tubuh terasa ringan, tak menapak. Bernapas pun berat, tetapi Lyra terus mengayun kaki hingga sampai ke kamar lamanya yang bersampingan dengan Nenek Tariyah. Ia membuka pintu, menatap barang-barang miliknya sudah dibereskan oleh entah siapa. Berbagai milik pribadi telah berkumpul di dua kardus besar. “Mau dibawa ke mana barang-barangku ini?” engahnya. Menghempaskan diri ke atas ranjang, Lyra memandangi langit kamar. “Tuhan, kenapa Engaku timpakan ini semua kepadaku? Aku begitu sakit hati dengan semuanya,” lirih sang wanita menitikkan air mata. Lyra memejamkan mata, mencoba untuk kembali beristirahat. “Semoga saat aku sadar nanti, semua hanyalah mimpi buruk.” *** Di kamar tidurnnya, Rex berbaring sambil menyalakan televisi. Tidak lupa, pintu sudah ia kunci sebelumnya. Sengaja menaikkan volume agar suara dari layar kaca terdengar kencang memenuhi ruangan, dengan begitu suaranya sendiri tidak akan terdengar jelas. “Hai, Marina Sayang,” ucapnya tersenyum mesra ketika melihat wajah cantik sudah ada di layar. Seorang wanita berkulit putih dengan mata bundar dan bibir merah alami menjawab, “Rex! Sayangku, kenapa baru menghubungi sekarang?” protesnya manja. “Aku merindukanmu!” Tertawa gemas, Rex menjawab. “Maafkan aku, Sayang. Bagaimana bisa menghubungi kamu seperti ini kalau aku selalu dikelilingi keluarga dan juga Lyra sialan itu!” “Aku juga sangat kangen, kok. Sejak tadi pagi sarapan di hotel sampai sekarang, aku selalu bersama Papa. Kalau ketahuan menghubungimu, bisa runyam. Maafkan aku, ya?” Kepada Marina, seorang Rexanda Adiwangsa begitu lembut, mesra, dan juga perhatian. Berbanding terbalik dengan sikapnya kepada istri sendiri. Marina cemberut, “Kamu tidak jatuh cinta dengan istrimu itu, ‘kan? Awas, ya, jangan sampai kamu mengkhianatiku.” “Sayang, mana mungkin aku mengkhianatimu? Aku cinta mati denganmu. Tapi, saat ini aku tidak berdaya. Kamu tahu? Papa mengancam akan menarik semua fasilitas kalau aku terus berhubungan denganmu.” “Apa?” pekik Marina melotot. “Fasilitas apa saja yang mau ditarik?” “Semua! Uang jajan 50 juta sebulan, mobil, kartu kredit, mati saja aku kalau semua ditarik!” dengkus Rex menghela kasar. “Makanya, sekarang kita harus berhati-hati.” Marina mengangguk, “Tapi, kamu tidak menyentuh istrimu sama sekali, ‘kan? Kamu hanya milikku, Rex. Kamu sudah berjanji akan menikah denganku!” “Tentu saja aku tidak menyentuhnya! Mana mungkin aku menyentuh wanita kampungan begitu, heh? Kulitnya saja kotor bersisik! Badannya juga bau menjijikkan! Beda dengan kamu yang sangat sempurna!” senyum Rex meyakinkan. Terkekeh manja, Marina menjawab, “Namanya saja cuma pembantu, eh ... perawat? Tentu saja dia bau dan kotor! Tidak sepertiku yang dari keluarga kaya raya.” “Jelas, kamu adalah yang terbaik. Mama dan Eva saja sedih karena kita terpisahkan. Tapi, Papa terus memaksa supaya aku menjadi suami yang baik! Sialan!” erang Rex kesal. “Sepertinya Lyra sudah main pelet dengan Papamu! Mana mungkin Om Harlan tiba-tiba seperhatian itu? Pasti dia pakai susuk atau pelet itu! Kurang ajar sekali!” imbuh Marina kian memanas-manasi. Rex tertegun, “Kamu benar! Pasti dia pakai ilmu hitam! Aku akan beritahu Mama! Sialan memang Lacur satu itu!” desisnya sangat membenci sang istri. “Lalu, bagaimana dengan kita, Rex? Sampai kapan kita harus terpisahkan?” rengek Marina mengedipkan matany, memandang sendu pada layar. “Sabar, Sayang. Aku harus memikirkan cara supaya Lyra pergi dari sini,” jawab Rex. “Buat saja dia tidak kerasan! Buat dia tersiksa sampai dia sendiri yang ingin pergi darimu! Jadi, kamu tidak salah di hadapan Om Harlan,” usul Marinya tersenyum culas. Lagi, Rex tertegun dengan usul ini. “Hmm, kamu benar juga. Aku harus lebih membuatnya tidak kerasan hingga dia memilih untuk pergi dan meminta cerai!” BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD