Ch.06 Ancaman Pada Rex

1051 Words
Harlan melihat bekas merah di wajah Lyra dan mulai bertanya. “Kenapa wajahmu seperti memar begitu?” Rex langsung menunduk sambil menahan geram. ‘Awas saja, kalau sampai dia mengadukan aku, akan kubanting dia di kamar nanti!’ Lyra tersenyum datar, “Tadi terpeleset di kamar mandi, Pa. Ini terbentur tembok, makanya seperti memar,” dustanya melindungi sang suami. Bukannya apa, ia juga tidak tahu apa yang akan terjadi jika berkata jujur. Rasanya, jika berkata jujur akan semakin menyakitkan Harlan yang sudah begitu baik kepadanya. Belum lagi Rexanda pasti akan semakin marah, nanti mereka kian bermasalah. “Makanya kalau punya mata dipakai! Apa sudah silau melihat Kak Rex sampai terpeleset?” cibir Eva melirik malas dan mengejek. Ajeng menyahut, “Biasalah, Eva. Orang kampung belum pernah tahu kamar mandi hotel. Saking terkejutnya sampai jalan saja tidak be—“ “DIAM!” bentak Harlan menggebrak meja. Tatapannya marah pada istri serta anak perempuan, sementara Rex tetap terdiam. Ajeng dan Eva saling lirik sebelum akhirnya menunduk dengan wajah bersungut-sungut. Beberapa orang yang menikmati sarapan di sekitar mereka menoleh, memandang penasaran ada apa dengan keluarga tersebut. “Harus berapa kali aku katakan pada kalian semua untuk jaga mulut? Lyra jadi seperti ini juga karena kelakuan Rex yang b***t! Dan siapa yang selalu membiarkan Rex mabuk saat aku tidak di rumah, hah? Kamu, Ajeng!” sembur sang ayah. “Ih, Papa ini bagaimana? Kenapa jadi Mama yang salah?” protes Ajeng mendelik. “Yang salah itu Lyra karena sudah dengan sengaja menjebak Rex! Lihat saja, lama-lama pasti akan terbukti ucapanku ini!” “Kalau Rex tidak mabuk, semua ini tidak akan terjadi! Kerjamu setiap hari hanya mabuk dan mabuk! Bersenang-senang dengan teman-teman sesat di klub malam seperti tidak punya masa depan!” amuk Harlan pada putra pertamanya. Rex mendengkus panjang, “Ya, ya ... salahkan saja aku terus menerus. Aku sudah menikahi Lyra masih saja disalahkan?” “Awas, ya, Papa tidak mau dengar lagi kalian menghina Lyra! Mulai sekarang, perlakukan dia sebagai keluarga kita! Sampai ada yang menghinanya, akan Papa cabut fasilitasnya!” ancam Harlan meremas gelas kaca. Ajeng berdesis kesal, “Membela perawat kampung sampai sebegitunya? Terserah kamu saja, Mas!” “Sekarang, kita cepat selesaikan sarapan ini dan kembali ke Jakarta!” tandas Harlan menghela sungguh berat. Ia terkadang berpikir, dosa apa yang telah diperbuat hingga memiliki keluarga seperti ini? Namun, biar bagaimana semua adalah anak dan istri yang sangat dia sayangi. Hanya bisa berharap ke depannya akan ada sesuatu yang mengubah semua ini. Lyra menunduk pedih. ‘Terjebak dalam keluarga Adiwangsa seperti ini tidak pernah ada dalam mimpiku meski hanya satu kali. Apalagi menjadi istrinya Rexanda, sama sekali tidak pernah kubayangkan.’ ‘Tapi, bagaimana aku bisa bersyukur atau bahagia jika mereka semua membenciku seperti ini? Jika saja aku tidak terancam hamil, sudah pasti aku tidak mau berada di situasi seperti sekarang.’ Menyendok nasi ke dalam bibir, bagi Lyra menelan makanan pun sulit. Seisi meja makan menjadi hening akibat perdebatan barusan. Di mana semua itu terjadi karena dirinya. *** Pesawat telah mendarat, keluarga Adiwangsan telah kembali ke Jakarta yang sangat ramai. Sopir telah menunggu para majikan untuk datang. Satu mobil Alphard siap membawa kembali ke rumah. Di jok belakang, Ajeng dan Eva duduk menjauh dari Lyra seakan gadis itu memiliki penyakit. Keduanya tidak mau berdekatan, apalagi sampai bersentuhan. Sepanjang perjalanan, suasana tidak jauh berbeda dengan di meja makan tadi. Hening, senyap, masing-masing sibuk dengan diri sendiri. Sampai di rumah, Harlan memanggil putranya untuk masuk ke ruang kerja. “Ada apa lagi, Pa? Aku lelah! Mau istirahat!” kesal Rex duduk sambil cemberut. ‘”Kamu apakan Lyra? Kenapa di wajahnya ada memar?” tukas Harlan memandang penuh curiga. Terhentak, jantung Rex berdenyut lebih cepat. Telapak tangannya pun terasa dingin. Akan tetapi, ia masih menyangkal. “Aku tidak tahu. Dia bilang terpeleset di kamar mandi, ‘kan?” jawabnya mengendikkan bahu. “Kamu pikir Papa bodoh, hah? Kamu menamparnya? Kamu memukulnya? Pengecut kamu, Rex! Laki-laki macam apa memukuli wanita tak berdaya macam Lyra?” Bentakan dari sang ayah menggebrak nurani Rex. Mengusik seakan sedang ditampar secara langsung. Akan tetapi, bukannya sadar, ia tetap tidak mau mengaku. “Aku tidak berbuat apa-apa,” dustanya lagi. Harlan menggeleng, napas pun terengah. “Sejak kamu lahir, Papa begitu bangga denganmu. Nilai di sekolah selalu yang terbaik! Kamu selalu menjadi salah satu lulusan terbaik, Rex!” “Papa selalu berpikir bisnis kita akan berlanjut di tangan yang tepat karena kecerdasanmu di atas rata-rata. Kamu pun tidak ada masalah hingga lulus kuliah! Tapi, setelah kamu bersama Marina ... semua berubah!” dengkus Harlan pilu. Mendengar nama kekasihnya disebut, Rex tidak terima. “Apa maksud Papa? Marina dan aku saling mencintai! Apanya yang berubah? Dia sangat memperlakukan aku dengan baik!” “Baik apanya? Sejak bersama Marina, kamu jadi sering party di klub malam! Papa sudah bertanya ke teman-teman, mereka bercerita bahwa sejak ayahnya Marina meninggal dunia, gadis itu hanya terus menghamburkan harta warisan!” geleng Harlan yang memang sejak awal tidak menyukai pacarnya Rex. “Hartanya Marina tidak akan habis. Papa tahu sendiri bagaimana kaya keluarganya. Lagipula, kami hanya bersenang-senang di klub malam. Apa salahnya?” sanggah Rex terus membela nama sang kekasih. “Apa salahnya? Jelas saja salah! Hampir tiap malam kamu berpesta! Terkadang, pulang dalam kondisi mabuk! Seharusnya kamu itu sudah mulai terjun ke perusahaan! Papa ini tidak semakin muda, Rex!” sembur Harlan menggeleng frustasi dengan pemikiran anaknya yang sangat tidak dewasa. Keduanya diam sesaat, mengatur emosi masing-masing. Suasana menjadi lengang dan hanya terdengar bunyi pendingin ruangan serta detak jam dinding. Lalu, Harlan menatap tajam, “Kamu sekarang sudah menikah dan menjadi suami orang. Kamu sudah putus hubungan dengan Marina, ‘kan?” Rex mengendikkan bahu, enggan menjawab karena dia tidak pernah memutuskan kekasihnya walau sudah menikah. “Dengarkan Papa, ya! Dengarkan baik-baik! Papa tidak main-main saat bilang akan mencabut fasilitasmu! Jadi, satu, kamu harus putuskan Marina!” “Dua, kamu jangan sampai memukul Lyra lagi! Perlakukan dia dengan baik sebagai istrimu! Pernikahan bukan untuk dipermainkan!” Dada pemuda itu bergemuruh hebat hingga kembang kempis. Amarah melonjak tidak karuan di dalam sana. Biar bagaiamana, Rex tetap tidak terima telah terjebak dalam pernikahan yang sangat ia benci ini. Harlan melanjutkan ancamannya, “Uang jajan 50 juta sebulan, mobil Mercy dan Jaguar, credit card, semua akan Papa hentikan kalau sampai kamu melanggar dua hal tadi! Paham?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD