Perjalanan ke Gunung Pasir Putih

1217 Words
Selanjutnya adalah sahabatku yang ketiga, yaitu si Yuyung. Anak Jawa yang beragama Katolik dan punya rambut kribo ala n***o. Apalagi kulitnya juga hitam, jadi lengkaplah deritanya sebagai orang n***o. Punya orang tua yang bekerja di perusahaan kayu dan ibu yang punya usaha catering di perusahaan yang sama dengan bapaknya. Tingkat ekonominya lumayan karena di topang oleh pekerjaan bapaknya di perusahan yang elite kala itu. Kayu dulunya adalah hasil alam yang sangat membanggakan waktu zamanku. Kedua orang tuanya sangat baik, apalagi ibunya yang sudah jadi sobat karib dengan ibuku juga. Hampir setiap edisi hari raya mereka selalu saling mengunjungi dan memberi bingkisan serta bertukar kue kering. Kelebihan si Yuyung adalah orangnya tidak pelit. Ia sering berbagi dengan teman temannya. Ia juga sedikit maju peradabannya karena tingkat ekonomi juga ia di atas rata. Meski tidak sombong ia kadang bisa baperan atau sensitive terhadap candaan teman temannya. Kadang kalau sudah ngambek agak sulit kami perbaikinya. Dari Yuyung juga kami tau dunia perbokepan. Hampir setiap ada moment orang tuanya tidak ada di rumah, di situ juga kami ada kesempatan untuk menonton film yang tidak layak untuk anak anak seusia kami saat itu. Zaman nonton film melalui Laser Disc, sebuah piringan besar berwarna keemasan. Menyewa LD film tersebut kami penuh perjuangan. Selain patungan uang hasil tabungan, kami juga harus berusaha meyakinkan pemilk toko sewa agar mau menyewakan LD film tersebut pada anak di bawah umur. Tau tidak apa jaminan dari kami agar pemilik toko mau menyewakan LD tersebut? Hanya sebuah kartu nama yang isinya nama dan alamat rumah kami. Mungkin sang pemilik tak banyak pilihan hanya kami yang sering menyewa LD dewasa tersebut daripada yang lain. Jika membayangkan hal itu rasanya ga masuk akal bisa di kasih LD segede piring ceper begitu. Membawanya dari tempat penyewaan ke rumah Yuyung juga perlu perjuangan yang tidak mudah. Seharusnya zaman itu tontonan kami adalah kartun atau film yang sesuai dengan usia kami kala itu. Seperti Megaloman, Google V, Doraemon atau jenis kartun lainnya.  Lalu sahabat ke empat adalah si Peyok. Sebenarnya ini adalah nama kesayangan ia sewaktu di rumah. Tapi karena sudah menjadi trade marknya, jadi semua orang yang kenal melakukan hal yang sama yaitu memanggil ia dengan nama Peyok. Padahal nama aslinya keren lho, Ferry Wardianto. Cowok keturunan chinese yang gaul dan beragama Budha. Jika di suruh orang tuanya untuk ibadah ke Vihara, selalu saja ada alasan untuk menolaknya. Jago dalam ngeles atau buat alasan yang menurutku sangat tak masuk akal tapi bisa di terima teman teman yang lain. Sifatnya yang pelit soal bagi camilan adalah salah satu kekurangan seorang Peyok. Badannya lumayan gemuk karena factor kerakusannya jika sedang makan. Hampir semua jenis makanan ia embat. Meski badan besar tapi ia paling penakut di antara teman teman sebayanya. Ke lima ada si Alex, anaknya agak pendiam, dan menjadi pewaris tunggal dari janda tua yang memiliki harta berupa tanah dan rumah sewaan di belakang rumahnya. Sahabat satu ini paling kritis pemikirannya jika ada suatu hal yang rumit di tengah kami. Rumahnya jadi markas besar kami kalau lagi kumpul. Setiap bermain kelereng yang di tembakkan mengenai mainan kecil selalu di rumah si Alex. Hampir setiap jam di rumahnya tak pernah sepi karena silih berganti yang datang ke rumah itu. Factor usianya yang lebih tua dibandingkan teman teman yang lain menjadi wajar jika omongannya selalu menjadi acuan. Suatu hari karena sudah buat janji sehari sebelumnya, kami ber 6 pergi ke kebun orang tuanya Cecep dan Didi. Kebun ini terletak di daerah Kampung Bugis Dalam. Letak kebun ini dari rumah kami sekitar 3 Km. Dengan jarak segitu kami berjalan kaki ber 6. Buat kami jarak itu tidak begitu jauh. Karena sudah menjadi rutinitas kami hampir setiap harinya. Selama dalam perjalanan, kami ber 6 selalu bercanda. Kadang bila ada pohon orang berbuah dan menjorok ke luar jalan, si Didi yang paling mucil selalu aja ada akalnya, nyuntan buah orang. Kami yang menyaksikan kelakuannya hanya bisa tertawa. Kadang pernah suatu hari, saking isengnya dia, melempar buah yang didapat, eh malah kejaran si doggy yang buat kami lari terbirit b***t. Apa nda kami yang tak ikut-ikutan akhirnya teumpat lari juga. Tanpa terasa kami telah tiba di pondok kebun Didi dan Cecep. Orang tua mereka menyambut kami dengan suguhan singkong bakar. Wah kebetulan nih pikir kami yang sudah kelelahan melakukan perjalanan jauh, perut juga sudah lapar. Selesai menyantap singkong bakar, kamipun mulai bermain. Ada yang mancing, ada yang cari buah-buahan, ada juga yang lagi bantu orang tuanya. Sejam kemudian karena merasa sudah jenuh, kami ber 6 sepakat menjelajah sekitar kebun. Sebelumnya sang bapak Didi memberi peringatan agar bila bermain tidak jauh dari pondok. Apalagi sampai ke gunung yang beliau tunjuk. Tanpa terasa kami ber 6 melangkah sampai lah di sebuah kebun orang. Kebun itu terlihat begitu luas. Seluas mata memandang. Dan kebun itu terlihat tertata rapi. Hampir semua isi kebun itu siap panen, ada buahnya, ada sayur juga dan kolam ikam juga. Wah asik nih pikir kami. Belum sempat melangkah tiba tiba... Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara seorang wanita memanggil kami. “Nak, ayo nak sini, kesini … ”. Kami yang mendengar suara itu lalu mencari-cari dari mana datang suara itu. Belum selesai mencari sumber suara tersebut kami sudah di kejutkan dengan beberapa orang yang ada di lokasi. “Kalian boleh bermain main di sini tapi ingat, jangan sesekali main di gunung itu ya.” Warning lagi setelah bapak Didi tadi juga mengingatkan. Mengingat usia anak anak itu yang masih dibawah umur, jika tau di larang maka itulah yang buat mereka penasaran. Belum selesai mengingat warning tadi tiba tiba terdengar lagi suara tadi. “Nak sini …” begitu jelas, ternyata arahnya dari tengah-tengah kebun itu. Ternyata ada seorang nenek berdiri di depan sebuah pondok dimana di sisi kiri pondok itu terdapat sebuah pohon besar yang rimbun sekali. Kami ber enam terkejut, perasaan tadi ga ada pondok dan orang disitu. Ada sedikit rasa takut diantara kami ber 6, hanya si didi, cecep dan si pop yang cuek saja. Akhirnya kami putuskan mendekati nenek tersebut. Begitu tiba, si nenek menyambut kami dengan ramah. “Kalian ngapain di kebun nenek?” tanya nenek itu. Si didi dengan asal ceplosnya “kami tadi jalan-jalan aja nek, bosan tadi di kebun bapakku”.  “Kalian kalau mau buah-buahan atau mau nangkap ikan, ambil sendiri aja ya, nenek disini sendiri aja, jadi ga bisa bantu ambilkan.” Wah kami ber 6 dengar begitu langsung semangat 45. “Tapi ingat ya, kalau makan disini harus habis, jangan tersisa ya …” kata nenek lagi. “Iya nek” jawab kami bersamaan. “Nek apa itu?” celetuk si Cecep penasaran. “O ini, nenek dapat dari sana” sambil menunjuk arah sebuah gunung. “Jika kalian mau, disana banyak kok” kata nenek lagi. Ternyata yang ditanyakan cecep tadi adalah sebuah peluru. Kami ber enam tambah antusias lagi. Dalam pikiran kami bisa buat main perang-perangan tu peluru, atau bisa pamerin ke teman-teman. “Gimana lex, yung, kesana kah kita?” tanyaku, tanpa ba bi bu malah si Didi, Cecep dan si Peyok berlari duluan kearah gunung itu. Aku, Alex dan Yuyung segera menyusul mereka. “Kami kesana dulu ya nek” pamit kami sambil berlarian. Aku yang sedari tadi merasa aneh, coba tengok kebelakang sebentar. Namun tiba tiba sesuatu yang aneh terjadi. Lho kemana nenek tadi, pikirku dalam hati. Ah mungkin beliau lagi ke belakang pondoknya.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD