Saya Temani Kamu

1532 Words
Keadaan berubah menjadi kaos. Acara ulang tahun yang semula damai dan meriah, berubah menjadi keterkejutan berantai yang membuat acara ulang tahun menjadi kacau balau. Tidak ada yang tak mengenal Onel. Bahkan beberapa tamu undangan memiliki hubungan kekerabatan dengan Onel. Bagi yang membawa anak kecil, mereka memutuskan pulang dan mewanti-wanti lainnya untuk selalu memberikan informasi. Bagi yang tak terlalu kenal atau akrab dengan Onel dan keluarganya, mereka pun memutuskan pulang. "Mama jaga Papa di rumah. Kamu dan Juan pergilah ke rumah sakit," ujar Soraya sembari dibimbing masuk ke dalam rumah oleh Saskia dan Juan berjalan di belakang keduanya. "Enggak, ah. Buat apa juga? Lagian kan ada Julia dan Kak Anggara," tolak Saskia. Di waktu lain, Soraya pasti akan menegur Saskia karena memanggil Julia tanpa embel-embel 'Kak'. Tapi keadaan begini kacau, Soraya mengabaikan sikap kurang sopan Saskia. "Jangan gitu, Saskia. Biar bagaimana juga kan Onel itu kan tu..." Soaraya menjadi tidak enak melanjutkannya. Ia menoleh pada Juan dan memberi senyum kecut yang tersirat permintaan maaf sekaligus bingung. Saskia dan Onel masihlah terakui sebagai tunangan. Sedangkan sosok Juan baru saja muncul yang kemudian tiba-tiba sudah menjadi tunangan putrinya. "Sas, kita ke rumah sakit, ya." Ucapan Juan bagi Soraya adalah sebuah bentuk kedewasaan. Kekagumannya sebagai ibu, semakin besar terhadap Juan. Keinginannya agar Saskia dekat dengan Juan juga semakin kuat. Ada kelegaan di wajah Soraya karena ia akhirnya tak perlu berdebat dengan putrinya. Jika Soraya lega, Saskia justru dongkol hatinya. Tatapannya galak untuk Juan. Bagi Saskia, seharusnya Juan bertingkah layaknya kekasih yang cemburu. Yang tidak akan mengijinkan dirinya menemui atau mengunjungi pria lain, meskipun pria itu dalam keadaan sekarat. Yang tidak diketahui kedua wanita beda usia itu adalah, kepanikan dan kekhawatiran Juan meletup-letup di dalam dirinya. Tak ada informasi apa-apa dari Roby atau pun Nina. Sebuah pesan singkat pun tidak ada, Namun, berita mengerikan sudah didengarnya tanpa ia memahami detailnya. Juan perlu melihat sendiri apa yang terjadi. "Buat apa, sih? Toh semua orang juga udah ke sana," ketus Saskia. "Karena dia masih tuannganmu." Julia berkata nyaring. Ia sudah masuk ditemani Anggara. "Harusnya kamu punya kepedulian. Di sana yang mengalami kecelakaan bukan hanya Onel, tetapi juga orang tua Onel. Punya empati sedikit kenapa, sih? Boleh kamu punya masalah sama Onel, tetapi di situasi begini harusnya kamu mengensampingkan banyak hal dan mulai bersikap baik." Julia menatap tajam Saskia. Nada bicaranya bagaikan seorang kepala sekolah yang memberikan rahan bagi salah satu siswanya yang sudah melanggar banyak hal. Berwibawa, tertata, dan berisi. Untuk yang ini, Juan terpaksa mengagumi kakaknya. Bisa dipastikan, yang membuat para pria tunduk di kaki Julia, adalah karena kakak perempuannya itu memiliki kekmampuan bicara yang teramat baik. "Saskia sudah berniat pergi menjenguk Onel. Kami sudah akan bersiap berangkat." Juan menjadi pelindung Saskia yang sudah diceramahi sedemikian rupa oleh Julia. "Kamu pulang saja. Ini tidak ada hubungannya denganmu," ucap dingin Julia. Tatapan matanya penuh paksaan untuk Juan. "Saya tidak akan membiarkan tunangan saya pergi tanpa saya. Saya akan menemaninya." "Masih saja mengaku tunangan di situasi seperti? Pikiranmu ke mana, hah?" Nada suara Julia meninggi. Emosinya tak bisa disembunyikan. Julia sedang di dalam puncak kegelapannya. Ia kalut juga bingung. Rencananya gagal karena orang-orang sewaannya gagal. Jika ini menjadi urusan yang panjang, maka dirinya bisa ketarik-tarik. Jika sampai itu terjadi, maka tamat sudah riwayatnya. "Dia adalah tunangan saya. Kamu suka atau tidak suka, saya tidak peduli. Bahkan jika dunia menentang, saya tidak peduli. Dia..., Juan adalah tunangan saya dan akan menjadi suami saya. Bukan Onel." Suara Saskia tak kalah nyaringnya. Ia menantang Julia untuk banyak hal. "Sudah...sudah... Di situasi begini, kalian malah ribut. Kita semua ke rumah sakit." Anggara memutuskan dengan kesal. Ia paling tidak suka melihat dan mendengar adik tiri dan istrinya selalu berselisih. "Mama tidak bisa. Papamu harus ada yang jaga," sela Soraya. Anggara mengangguk, memahami. "Ya, udah. Kita pergi semua kecuali Mama." "Pakai Pak Hartono sebagai sopir. Jangan setir sendiri dulu, Gara. Mama Kahwatir." Anggara mengangguk, Julia diam tak berkutik, Saskia melengos, dan Juanberpamitan. Keempatnya ke rumah sakit dengan disopiri Hartono. *** Rumah sakit menjadi cukup ramai oleh para relasi dan kerabat dari Onel. Sebagian besarnya sabar menunggu di luar ruangan ICU. Baik di teras, di ruang tunggu, atau di dekat parkiran. Yang wanita, bersama para wanita, yang pria bersama para pria. Mulai saling memprediksi dan saling mengkhawatirkan. Kakak-kakak Onel bersama istri masing-masing juga sudah datang dengan kepanikan tak menentu. Bertany-tanya dan ditanya-tanya. Bagai benang kusut, karena yang ditanya juga tidak tahu apa yang terjadi, dan mau bertanya juga tidak tahu bertanya pada siapa. Julia dan Anggara berbincang-bincang serius dengan keluarga inti Onel. Sedangkan Saskia, seperti terjebak di dalamnya, hanya diam saja mendengarkan. Juan dengan sengaja memisahkan diri demi menjaga perasaan keluarga Onel yang sedang kena musibah. Juan menghindari beragam pertanyaan yang justru mengubah embusan angin yang tadinya perihal Onel dan keluarganya yang mengalami kecelakaan, justru beralih apda perihal pertunangannya dengan Saskia. Semua yang ada di rumah sakit, sudah sangat tahu kedudukan Saskia dan Onel adalah tunangan. Akan menjadi kericuhan baru jika kemudian Juan selalu berada di sisi Saskia, sedangkan gadis itu berada di dalam lingkaran keluarga besar Onel. Ini adalah cara Juan menjaga dan melindungi Saski dalam situasi yang tidak baik. Saskia celingukan. Dia terpaku mendapati Juan begitu jauh darinya. Ia benar-benar tak bisa berkutik. Semua saat ini sedang menyemangati dirinya karena dianggap Saskia pasti paling sedih dengan situasi ini. Saskia mengernyit saat melihat Juan melambaikan ponselnya. Seperti kode dan Saskia mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Sebuah pesan masuk. Juan: Saya tidak ke mana-mana. Saya hanya akan ada di luar. Mungkin di menunggu di mobil saja bersama Pak Hartono. Saskia kembali menoleh pada Juan dengan perasaan tak menentu. Ia tidak ingin Juan terlalu jauh darinya. Terdengar bunyi pesan masuk dan Saskia menatap layar ponselnya. Juan: Ini pasti tidak akan nyaman untukmu. Tapi, asalkan kamu kuat bertahan, besok, apa pun yang kamu mau akan saya penuhi. Saskia: Apa pun? Juan: Apa pun. Saskia menatap Juan dengan mimik wajah pasrah. Juan yang tak tega, mencoba menghibur Saskia dengan cara yang berlebihan. Cara remaja yang sering ia lihat di beberapa pasangan yang masuk ke restorannya. Juan menunduk menatap lantai. Tubuhnya bergerak-gerak seperti mencari sesuatu. Menggugah rasa ingin tahu Saskia. Tatapannya semakin dalam ke arah Juan yang sibuk sendiri. Karena penasaran, Saskia mengirimi Juan pesan. Saskia: Cari apa? Juan tak langsung menjawab. Ia memberikan mimik wajah sedih dengan bibir bawah sedikit maju, baru kemudian membalas pesan Saskia. Juan: Petunjuk. Saskia: Petunjuk apa? Juan: Yang biasa dipakai orang-orang. Saskia: (memberikan emotikon wajah marah karena kesal) Juan: Ah, ketemu. Saskia langsung menatap Juan dan seketika ia melihat Juan membuat simbol cinta kecil dengan ibu jari dan jari telunjuknya. Seketika memerah wajah Saskia. Cepat-cepat ia memalingkan wajahnya. Tersenyum sembari mengigit bibir bawah agar senyumnya tak berubah menjadi tawa. Malu sendiri sekaligus senang. Kekonyolan yang membuat Saskia berdebar-debar. Apa yang dirasa Saskia juga dirasakan Juan. Ia bebrbalik, menggigit bibir bawahnya kuat agar kegeliannya tak menjadi ekspresi yang norak. Ia sudah melampuai kebiasaannya. Pada wanita yang menyewanya, Juan sudah mulai menggunakan hati. *** Juan celingukan karena tak mendapati ayahnya di sekitar mobil atau di manapun di dekat ICU. Segera ia menelepon ayahnya. "Bapak di mana?" tanya Juan langsung. "Di dekat kamar mayat. Cepat ke sini. Ada Robi." Juan langsung mematikan ponselnya dan bergegas menuju kamar mayat dengan terlebih dulu bertanya-tanya di mana lokasinya. Suatu kebetulan Robi tidak pergi. Ayahnya dan Robi pasti sudah melakukan komunikasi. Keduanya tak bisa berkomunikasi dengan Juan kecuali Juan duluan yang menghubungi mereka. Ini demi keamanan. Jangan sampai saat mereka menelepon, ternyata ada Julia di dekat Juan. Juan melihat ayahnya dan Roby duduk bersisian. Robi segera berdiri dengan gelisah begitu Juan muncul. "Bagaimana? Bagaimana kok bisa begini, Rob? Kan harusnya kita cuma..." "Dengarkan dulu Robi menjelaskan. Duduk kamu," sela Hartono yang langsung menggeser posisi duduknya, agar sang putra bisa duduk. Juan menurut dengan mendengkus, lalu menatap Roby tajam setelah duduk. "Itu bukan saya. Itu bukan kita," ucap Robi. Sontak Juan terkejut sekaligus bingung. "Maksudnya bagaimana?" "Ada mobil lain yang membututi mereka entah sejak dari mana. Saat melewati titik yang kita rancang, mobil Onel sudah dipepet dari belakang oleh mobil lainnya. Saya tidak bisa menyalip. Bahkan saya dan lainnya sedang menyusun rencana bagaimana agar bisa menyenggol mobil Onel tanpa memberikan kerusakan ganda. Misalnya, senggolan kami akan menyebabkan mobil yang ada di belakang Onel ikut tersenggol dan oleng. Tapi tiba-tiba terdengar suara benturan kecil yang dibarengi olengnya mobil Onel yang kemudian membanting setir ke kiri, akhirnya menabrak tiang listrik." "Ketidaksengajaan?" tanya Juan. "Kesengajaan. Benturan itu disengaja. Saya sudah melihat rekamannya dari tangkapan rekaman di kamera dashboard mobil. Kartu memorinya sudah saya pindah ke HP." Robi menyodorkan ponsel pintarnya ke Juan. Segera Juan emnonton video rekamannya. Sebuah mobil jenis station wagon warna abu rokok, selalu berada di depan mobil Robi. Tidak jelas bagaimana penumpang di dalamnya karena kaca mobil yang begitu gelap. Tiba-tiba, mobil abu rokok itu bergerak ke kanan dengan mengambil sedikit jalan. Kecepatanhya terlihat normal. Namun, tiba-tiba mobil itu tancap gas, dengan terlebih dulu menabrak sudut kanan bamper mobil dan baru kemudian dengan sengaja menyerempetnya. "Nina sedang menyelidiki nomer platnya," ujar Robi kemudian. "Onel punya musuh?" tanya Juan bingung. "Bisa jadi. Bisa jadi itu musuh di kehidupannya, atau musuh terkait bisnisnya. Kita belum tahu. Nina masih mencari tahu." "Itu perbuatan Julia." Robi dan Juan melongo. Terkejut dengan pernyataan Hartono. "Julia sudah merencanakannya." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD