Hai, Julia (1)

1892 Words
Sepanjang hidupnya, bahkan untuk semua pengalaman barunya, Juan tak pernah mengalami yang namanya gugup. Ia adalah seorang yang memiliki rasa kepercayaan diri yang tinggi. Tapi ini lain. Ia akan bertemu dengan seseorang yang sudah menjadi momok dalam hidupnya. Seseorang yang sudah menjadi niatnya hidup sampai saat ini. Sejujurnya, Juan tidak terlalu ingat bagaimana wajah kakaknya. Ia hanya memiliki foto terakhir kebersamaan mereka saat mengantar Julia ke bandara untuk terbang sekolah di luar negeri. Foto yang wajah masing-masing dihiasi senyum-senyum lebar, kecuali Juan. Foto yang di setiap mata pemiliknya terpancar mimpi dan rencana, kecuali Juan. Jika diingat, saat itu yang paling bahagia dan semangat adalah Julia. Ia bahkan terlihat paling tidak sabar menghitung hari untuk kepergiannya. Kalender sekolah selalu diberi tanda silang di setiap harinya, kemudian dengan jari-jemarinya ia mulai berhitung. Juan sudah melihat foto-foto Julia di beberapa beberapa akun media sosialnya. Ia menemukan Julia melalui kaitannya dengan Saskia, tepatnya Nina yang menemukan karena ia seorang yang ahli. Tak ada satu pun foto-foto Julia yang muram. Semuanya selalu dihiasi tawa lebar atau seledar senyum yang teramat manis. Yang banyak dibagikan Julia adalah foto-fotonya semasa kuliah atau tepatnya selama di luar negeri dan foto-fotonya selama di Indonesia; bukan di rumahnya, melainkan entah di mana. Julia sudah menghapus masa lalunya. Julia membuat dirinya seolah sudah ada begitu saja tanpa masa lalu akan keluarga. Tak ada kenangan akan Ibu atau pun Ayah. Tak ada sosok keluarga di akun sosial media Julia selain dirinya sendiri dan keluarga barunya sekarang. "Sebentar lagi sampai," tegur Robi yang menyamar sebagai sopir. Untuk kesempurnaan samarannya, Robi mengenakan kumis palsu dan jambang palsu. Metode samaran yang umum, tetapi masih mumpuni untuk dipakai. Sedari tadi, selama perjalanan, Robi berkali-kali mencuri pandang ke belakang melakui kaca spion. Memastikan jika Juan; sahabatnya, baik-baik saja. Robi memahami jika saat ini sahabatnya didera perasaan senewen akan pertemuan dengan kakak perempuan yang sekaligus menjadi bobrok dalam perjalanan hidup Juan. Karenanya ia mendiamkan saja sedari tadi. Robi melihat Juan bereaksi akan ucapannya dengan menarik napas. "Siap?" tanya Robi. "Saya penasaran, bagaimana reaksi dia? Tapi..., saya lebih penasaran akan reaksi saya sendiri terhadapnya." Juan menghela napas dan menurunkan sedikit kaca jendela. Robi pun langsung mematikan AC mobil. Juan membutuhkan udara segar untuk mengisi rongga di dalam dadanya yang terasa kosong dan jatuh dalam kehampaan. Juan belum ada bayangan dirinya akan bersikap bagaimana nantinya. Dirinya juga tidak tahu apakah nanti ia bisa bersikap natural. "Jika keluarga lain bertemu dengan saudaranya yang tak bertemu sekian lama, akan terlihat sangat antusias, ini...." Juan menghela napas yang membebaninya. "Ini malah akan terasa aneh juga canggung." "Kamu harus bersikap sebagai orang asing, Juan." Juan memandang keluar dengan malas. "Tanpa harus berpura-pura, kami memang sudah asing sedari saya lahir. Saya lahir hanya sebagai pelengkap bagi orang tua saya. Ada anak perempuan, ada anak lelaki. Dan bagi dia, saya hanya seorang asing yang kebetulan satu darah juga satu rumah." Juan menunduk menatap pangkal pahanya dengan senyuman aneh. "Kami bahkan tak pernah benar-benar saling bicara kecuali memang ada sesuatu yang ditanyakan. Dan dia memanggil saya, 'Hei'." Kalimat miris dari ucapan Juan, membuat perasaan Robi semakin tidak tega. Ia mengenal Juan sejak kanak-kanak dan ia memahami perasaan sahabatnya itu. Namun, setiap kali Juan berkesah, Robi tak mampu mengangkat kesah itu. Akhirnya yang ia bisa lakukan adalah menemani dalam kebisuan sampai Juan berlalu. Dering ponsel Juan berbunyi. Cukup untuk mengalihkan kepiluan yang menguasai mobil. Juan tersenyum saat membaca nama si penelepon dan itu tak luput dari tatapn Robi melalui kaca spion. Senyum yang menular. "Rindu?" sapa Juan yang berupa tanya. Di seberang telepon, Saskia langsung menjauhi ponselnya dan bibirnya mencibir. Suara Juan yang sebenarnya seksi, justru membuat Saski merasa merinding. Ada dalam diri Saskia yang berdesir saat tanya perihal rindu itu keluar dari suara Juan. "Halo?" Juan yag kebingungan karena tak mendengar suara Saskia, memerikasa ponselnya. Meyakinkan diri kalau ia sudah menekan tombol menerima panggilan. Tapi kemudian suara Saskia terdengar. "Sudah sampai mana, sih? Makan malam sudah mau mulai," bentak Saskia. "Ini sudah di depan gerbang rumah kamu." Gerbang pagar rumah Saskia terlihat sangat mewah. Hitam legam dibarengi dengan warna emas untuk ornamen floranya. Bagian tengahnya terdapat bulatan hitam yang mana di dalam bulatan itu ada semacam simbol perisai yang disepuh warna emas. Dan dibagian puncak pagar, seolah adalah rambatan bunga liar yang begitui mengkilap saat malam hari. Tepat setelah Juan memberikan informasi, Robi membunyikan klakson. Seorang satpam sempat mengintip dan kemudian keluar tanpa membuka gerbang lebar-lebar, hanya cukup selebar ukuran tubuhnya saja. "Kamu sudah informasi ke satpammu?" tanya Juan. "Sudah." Robi membuka kaca dan menyampaikan maksud kedatangannya. Satpam tersebut tersenyum dan mengangguk. Ia bergegas kembali ke gerbang dan bersama seorang rekannya lagi, mulai membuka pagar tinggi itu. Sambungan telepon sudah diputuskan oleh Saskia duluan. Juan memasukkan ponselnya ke dalam jas dan mulai merapikan diri. Terlihat sosok Saskia yang berdiri teras berundak. Kegelisahan dan kekesalan tak bisa disembunyikan dari wajahnya. "Kalau jadi suaminya, mungkin kejang terus setiap malam pulang telat." Ucapan Robi benar-benar membuat perasaan Juan rileks. Ia tertawa kecil dan menatap Saskia dari dalam mobil dengan perasaan aneh. "Tapi saya gak keberatan," gumam Juan. Ucapan Juan itu mengejutkan Robi. Untuk pertama kalinya, Juan menyampaikan sesuatu yang sifatnya pribadi. Sebuah keinginan terhadap seseorang dan itu wanita. Robi tersenyum tipis. Ia lebih suka jika Juan bisa lebih jujur dengan perasaannya terhadap wanita. Sebagai sahabat, perasaannya miris dengan sikap dingin Juan pada wanita. Tak pernaha da perasaan, hanya fisik. Robi membukkan pintu untuk Juan. Baru saja Juan turun, Saskia berjalan cepat mendekati Juan. Lelaki dengan jas biru gelap, segelap langit malam di musim panas, terpaku menatap Julia. Rambut panjang gadis itu, berkibar di bagian sisi kanan dan kiiri wajahnya. Mengibas bagai selendang para bidadari.  Wajah sinisnya justru terlihat menggoda karena warna lisptik yang begitu merah mencolok seolah menguasai seluruh wajah cantik Saskia. Saskia sendiri sedikit terkejut dengan penampilan Juan yang begitu gagah. Juan terlihat berbeda dari lelaki kebanyakan yang Saskia kenal. Lelaki itu mengenakan celana berbahan jeans yang menempel pas di kaki Juan. Kemeja putihnya memberikan efek kuat kelellakian Juan, ditambah dua kancingnya dibiarkan terbuka dengan cara misterius. Jas birunya menjadi pelengkap kemaskulinan Juan. Juan dengan sengaja mengembangkan kedua tangannya, seolah-olah bersiap menangkap tubuh Saskia yang mungil seksi itu. Tapi Saskia cepat mengerem langkahnya dan menyipitkan mata, mengejek Juan yang bersikap berlebihan. Tapi, Juan tak punya malu. Ia justru maju mendekat dan langsung merangkul Saskia. Kepala Saskia, pas berada di d**a Juan. Ada kesenangan tersendiri saat Juan bisa mencium aroma lembut bunga dari kepala Saskia. Juga ada sesuatu yang menenangkan saat tubuh Saskia menempel. Apa yang dirasakan Juan sebenarnya juga dirasakan Saskia. Ia merasa nyaman dipelukan Juan. Sayangnya, isi kepala lebih cepat sadar. Saskia mencubit pinggang Juan dan meloloskan diri dari pelukan Juan yang mengaduh. "Sesuai kesepakatan kita, interaksi fisik dilakukan jika di depan keluarga saya, terutama di depan ipar saya, Julia dan di depan Onel. Di luar itu, kamu harusnya gak bersikap kurang ajar seperti tadi?" tukas Saskia kesal. "Saya tadi latihan," jawab santai Juan. "Layaknya bermain film, harusnya kita membangun chemistry sebelum turun ke medan sesungguhnya." "Halah. Akal bulus. Udah, ayo masuk." Saskia cepat-cepat berbalik dan melangkah, tetapi tangannya cepat ditangkap Juan dari belakang. Menghentikan langkah Saskia yang terburu-buru. Seolah ada setan yang harus segera dihindari. Juan mendekat dengan senyum termanisnya. Saskia sebenarnya meleleh, tetapi dia menguatkan diri bertahan dengan kesinisannya. "Apa? Kita sudah ditunggu di dalam," ujar gusar Saskia. "Iya. Tapi, kita kan gak mungkin masuk dengan cara jalan seperti ibu ayam dengan anak ayam di belakangnya. Ya, 'kan?" "Ibu ayamnya siapa?" Saskia mendelik karena perumpamaan yang dibuat Juan. "Saya bapak ayamnya," jawab Juan sembari menahan tawa dan melingkarkan tangan Saskia di bagian pangkal tangannya. Kemudian ia mengepit lengannya agar tangan Saskia tidak lolos. "Kalau begini, semua orang akan percaya kalau kira memang sepasang kekasih yang sudah bertunangan secara pribadi." Saskia ingin ngedumel, tetapi cara Juan adalah benar. Dengan bergandengan model begitu, maka sandiwara keduanya tidak akan ketara, terutama dari Julia yang kritis. Juan dan Saskia melangkah masuk dengan debar jantung yang semakin kuat. Bukan perasaan yang romantis. Tetapi sesuatu yang mengganjal dalam diri. Juan mulai memiliki ketidaknyamanan. Ia menjadi was-was sekaligus sangat ingin tahu bagaimana reaksi Julia atas dirinya. Bertanya-tanya apakah kakaknya itu masih ingat dan mengenali dirinya sebagai bagian keluarga. Ataukah Julia akan pura-pura tidak kenal dan menganggap kalau Juan adalah orang asing yang kebetulan memiliki ikatan dengan Saskia. Sedangkan Saskia khawatir akan kejelian dan kepekaan Julia. Jika sedikit saja Julia menemukan remahan kebohongan Saskia atas malam ini, maka habis sudah Saskia menjadi bahan sindiran Julia. Dan pastinya, Julia akan menghasut Anggara, kakak tirinya yang lemah itu untuk kembali memercayai Onel dan menjadikan Onel, suaminya. Pikiran Juan sedikit teralihkan dengan interior dan kemegahan rumah Saskia. Ruang utamanya saja begitu luas. Bahkan untuk semacam ruang tamu, Juan berasa sedang di ballroom hotel. Ada dua set meja dan kursi tamu dengan dua gaya berbeda. Yang satunya, meja bulat dengan enam kursi tunggal, sedangkan lainnya, meja panjang lonjong dengan dua sofa tunggal dan dua sofa panjang. Jalan beberapa langkah dari ruang  tamu, dibatasi sekatan pastisi yang unik, terdapat meja setingaagi pinggang dengan lebih banyak kursi tunggal mengelilingi. Ada ptoyektor yang digantung. Juan menduga itu digunakan untuk sebuah pertemuan ketimbang ruang makan dan itu membuat Juan penasaran, di mana mereka akan makan. "Di mana?" tanya Juan berbisik. Kini keduanya sudah keluar. Juan melihat ada selasar panjang dengan pilar-pilar yang ulir. Di situlah ia bisa melihat cahaya benderang yang juga menyinari taman sekitar, berikut kolamnya. Dari tempatnya berdiri, ia belum bisa melihat jelas bagaimana sosok empat orang yang duduk di meja makan. Juan dan Saskia melangkah perlahan, seolah mengulur waktu. Kekompakan yang tak direncanakan. Juan mulai bisa melihat tiga di antara empat sosok di meja makan. Sosok yang ia kenal sebagai Onel, seolah mendapat aba-aba, segera memutar posisi duduknya dan menatap tajam ke arah Juan yang tak peduli. Seorang wanita berumur, langsung bisa menangkap sosok Juan karena posisi duduknya yang menghadap ke arah kedatangan mereka. Wanita itu tersenyum sangat lembut. Juan pun membalas dengan senyum juga anggukan kecil. Juan sangat yakin jika itu ibu Saskia. Seorang pria yang sekiranya seusia Julia, duduk di paling ujung sebagai, sebagai simbol pemimpin. Ia menatap Juan dan sempat terlihat sedikit menunduk. Bibirnya bergerak dengan mata tetap tertuju padanya. Lelaki itu bicara dengan wanita di sisi lain meja. Juan sangat yakin itu Julia meskipun wanita itu tak menoleh. Tenang, Juan. Bersikaplah jauh lebih tenang. Ini adalah peperangan pertamamu. Akan ada selanjutnya. Seret Julia kembali ke kenistaannya. Juan menarik napas lebih dalam. Ia menyimpannya di dalam paru-paru lebih lama, sebelum kemudian melepaskannya dengan sangat perlahan. Ia sudah semakin dekat dan semakin dekat lagi. Bersamaan dengan itu, kepala Julia mulai berputar dengan sangat lambat. Terlalu lambat hingga Juan menjadi sangat tegang. Juan dan Julia saling berpandangan. Mulanya ekspresi Julia terlihat sangat biasa. Menatap Juan tanpa ekspresi. Tanpa senyum. Kedua bola mata Julia menyusuri Juan dari atas ke bawah, membandingkan sosok Juan dengan Onel, pria yang menjadi kandidat untuk Saskia. Namun, semakin dekatnya Juan, ekspresi Julia mulai aneh. Ia seperti sedang berpikir. Sorot matanya semakin tajam terarah pada Juan yang juga menatap Julia dengan senyum yang sudah dibuat ramah. Begitu kerasnya Julia berpikir sampai alinya terlihat seperti bergelombang. "Ma. Kak Gara...." Dengan sengaja Saskia tak menyebut nama Julia dan Onel. "Perkenalkan. Ini lelaki yang saya pilih. Juan." Seketika, ekspresi Julia pecah menjadi ekspresi terkejut. Kedua bola matanya bukan lagi sedang menimbang atau berpikir. Kedua bola matanya jelas menunjukkan kepanikan dan rasa terkejut yang berlebihan. Juan tersenyum manis untuk itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD