Lenguhan dua insan terdengar hampir bersamaan pada saat puncak kenikmatan dirasakan. Masing-masing puas dengan pengeluaran atas hasrat yang begitu liar. Masing-masing melakukan kenikmatan yang diinginkan bersama. Meskipun ada yang mendominasi.
Julia perlahan turun dari tubuh Onel yang telentang dan ikut tidur di sisi Onel dengan napas yang terengah. Ia memejamkan mata dan meredakan sisa kenikmatan yang baru saja dijamah sampai puncak. Sedangkan Onel sebagai si pasif penerima, memiringkan tubuhnya dan menatap Julia dengan penuh kekaguman.
Kulit yang begitu mulus bagai porselen, wajah yang begitu cantik bagai patung-patung dewi Yunani, dan rambut pajang hitam yang berantakan bagai anakan ular menggeliat manja di sekitaran wajah dan tubuh Julia yang berkeringat. Dengan lembut Onel merapikan rambut Julia.
Mata Julia yang semula terpejam, langsung terbuka dan menatap tajam Onel yang wajahya sangat dekat dengan wajahnya. Ada kekesalan yang terpancar di mata itu. Berbanding terbalik dengan saat Julia bermain di atas tubuh Onel. Mata yang tadi adalah mata yang redup penuh sensasi.
"Kamu belum menghubungi dan menemui Saskia dari sejak semalam, 'kan?" tuding Saskia.
Onel merapatkan bibirnya dengna perasaan dongkol. Kenikmatan baru saja direguk dan butuh pelepasan dengan santai. Ini justru sudah ditodong sikap Julia yang kesal. Dengan helaan napas Onel kembali tidur menatap langit-langit kamar hotel.
"Dia tidak menerima telpon saya," keluh Onel.
"Kalau telponmu diabaikan, datang ke rumah pagi tadi atau harusnya kamu siang tadi ke kantornya dan mengajaknya makan siang atau bagaimanalah."
"Dia gak akan semudah itu. Kamu kan iparnya pasti sudha tahu sifat keras kepalanya. Kalau sudah kesal, mana mau dia dihubungi."
"Lagian kamu gobl*k. Nafsumu gak bisa di rem apa, ya? Maniak sekali sih kamu ini."
Julia menoleh sengit. Bukan rahasia jika Onel selalu berhasrat pada banyak wanita. Setiap-setiap saat, Onel selalu ingin melakukannya. Tapi, meski nafsu Onel sangat tinggi, dia cukup pemilih. Dia tak akan bermain dengan perempuan yang penjaja cinta. Dan dia hanya mau dengan perempua dari kalangan atas karena dijamin kebersihannya.
Dan Julia tak pernah keberatan untuk itu. Bahkan dia cenderung tidak peduli. Yang terpenting ia mereguk kenikmatan tanpa harus mencari-cari di luar yang berisiko menjadi bahan gosipan.
Onel terkekeh dikatain maniak. Ia kembali memiringkan tubuhnya, menatap Julia. "Karenanya kamu sampai harus menjerit segala, 'kan? Punyaku nikmat."
Julia menempelng wajah Onel sebelum kemudian bangun duduk. Rambut hitamnya langsung menutupi punggungnya yang putih. Sebagiannya terurai ke d*da, menutupi bagian istimewanya dengan cara yang menggoda. Julia tak berniat menutupi dadanya dengan selimut. Membiarkan saja dan menyajikannya lagi di hadapan Onel yang menatap gemas.
"Kalau kamu tidak bisa meluluhkan Saskia, siapa yang akan jadi penyokongmu? Lupa kamu? Kedudukamu sedang diremehkan. Ayahmu baru memandangmu karena kamu bisa menjadi tunangan Saskia. Kamu mau kembali seperti dulu? Menjadi lelaki lembek dan puas hanya dari sokongan tiap bulan ayahmu?"
Onel termangu. Sebagai si bungsu manja, Onel memang tidak becus dengan perusahaan yang diamanatkan padanya. Berulang kali ia mendapat tekanan dari ayahnya dan kedua kakak lelakinya. Diremehkan sampai beberapa anak perusahaan yang diberikan untuknya, diambil oleh kedua kakaknya dan dia cukup dengan uang saku bulanan.
Onel puas dengan kehidupannya. Uang sakunya berlimpah tanpa ia harus membaca tabel angka-angka yang katanya uang. Tanpa harus membaca huru-huruf yang katanya sebuah kesepakatan. Apalagi, untuk pemenuhan syahwatnya, ia selalu bisa memperdaya perempuan-perempuan dari kalangannya, jadi Onel tak perlu keluar uang berlebihan hanya untuk sebuah kenikmatan.
Sampai kemudian Julia datang dalam hidupnya. Di antara semua wanitanya, Julia adalah yang paling istimewa dan bahkan Onel jatuh cinta. Karenanya, saat penawaran diajukan dengan ancaman perpisahan, Onel tak berkutik dan menurut.
Saskia juga cantik. Sempurna dengan tubuh mungilnya. Bahkan Onel sering juga berfantasi jika wanitanya adalah Saskia. Namun, Saskia sangat keras dan kaku. Sulit ditembus, membuat Onel bosan dan malas. Saskia adalah satu-satunya perempuan yang tak bisa ditaklukannya.
"Dia susah, Jul," keluh Onel. "Ini sudah dua tahun lebih, saya sudah berusaha untuknya. Kalau mau sih, ya harus ekstrim."
"Ekstrim bagaimaa?"
Onel melipat kedua bibirnya ake dalam dan menggigit bagian bawahnya. Menahan sejenak kata-katanya.
"Ekstrim bagaimana?" tanya ulang Julia dengan sentakan.
"Ya..., diperdaya gitu. Mmm.... saya per...."
Plak!
Kali ini Julia tak menampar pipi Onel, melainkan bibir lelaki. Sontak Onel mengaduh kesakitan. Bibir tipisnya beradu dengan giginya dengan cara yang menyakitkan. Ia merasakan denyut perih di bibirnya dan ketegangan di bagian gusi serta giginya.
"Br*ngsek! Apa-apaan kamu?" bentak Onel dengan kedua mata melebar.
"Kamu yang br*ngsek juga go*lok! Kamu pikir Saskia itu wanita menye-menye yang akan terpuruk setelah kamu perkosa? Dia justru makin kuat, Bod*h! Dia akan membawamu ke jurang neraka dan membuatmu menjadi zero. Saskia akan memastikan bahwa hidupmu benar-benar habis! Kamu tidak akan memiliki apa-apa."
Dan saya akan kehilangan b***k, lanjut Julia dalam hati.
Julia mendengkus, menarik selimut, membelitkannya dengan asal ke tubuhnya dan beranjak menuju kamar mandi. Ia butuh menenangkan diri dengan mandi dan berpikir bagaimana mengarahkan Onel yang semakin bo*oh.
Sedangkan Onel memandangi punggung Julia dengan sengit sembari mengusap bibirnya. "Untung saya suka kamu. Kalau tidak.... Udah saya pelintir kepalamu. Dasar iblis."
Onel mendengkus, turun dari ranjang dan mengenakan celana dalam dan celaa panjangnya saja. I mengambil potongan buah segar dari dalam lemari pendingin dan membawanya ke sofa panjang yang menghadap ke langit-langit kota Jakarta yang mulai kekuningan.
Dengan remot, ia menurunkan TV datar yang digantung dan mulai menyalakan TV. Menunggu Julia selesai mandi.
"Lusa ulang tahun mama mertua."
Onel yang asyik menonton film, tersentak kaget dan menoleh ke belakangn. Julia muncul dengan riasan yang rapi dan sempurna lagi. Rambutnya terlihat setengah mengering karena proses pegeringan yang tak sempurna.
Wanita cantik itu menghempaskan duduknya di sebelah Onel, membukan minuman kaleng sodanya, dan meneguknya cepat.
"Saya akan minta Anggara untuk mengadakan pesta sederhana. Lakukan lamaran yang istimewa."
"Gimana dengan cowoknya itu? Dia pasti datang dan akan melakukan hal serupa kalau tahu ada acara ulang tahun ibu mertuamu."
"Dia.... Saya yang tangani. Pastikan saja kamu memberikan hadiah paling istimewa." Julia bangkit dari duduknya dan mengambil tasnya di meja makan bulat.
"Memangnya apa yang akan kamu lakukan?" tanya Onel penasaran.
Julia mengerling dengan senyum menggoda. "Kamu gak perlu tahu. Oh, ya, Dior mengeluarkan koleksi terbaru kalung berliannya. Kamu harus beli untuk Saskia."
Onel diam saja, mengikuti kepergian Julia sampai keluar kamar hotel.
***
Juan duduk termenung di kursi kerjanya. Sesekali senyum simpul yang kemudian menjadi senyum malu-malu terukir di wajah tampannya. Tangan Juan membelai pegangan kursi duduknya dengan lembut. Mencari sisa hangat Saskia.
Wajah Saskia yang merona dan kemudian marah-marah saat ia menggodanya, tak lepas dari pelupuk mata. Setiap mengingat kejadian itu, Jua akan terkekeh sendiri.
Lirikan mata Saskia yang tajam, dinaungi bulu mata yang lentik adalah pesona yang menakjubkan bagi Juan. Manik mata Saskia begitu hitam dan bulatnya begitu sempurna bagai gerhana bulan. Ditambah pipi yang serupa jajanan dari China, bakpao. Sangat menggemaskan.
Sangat berbanding terbalik saat Saskia serius. Wajahnya menjadi tegas dengan tatapan mata yang tajamnya mengerikan. Pun begitu, bagi Juan tetap istimewa. Saskia justru terlihat makin seksi dengan ketegasan dan kepintarannya.
"Berkesan sekali sepertinya."
Juan tersentak dan menoleh ke arah asal suara. Nina berdiri dengan bersidekap dan Robi cekikikan di sebelah Nina. Juan terlalu mengingat Saskia sampai tak menyadari kehadiaran kedua sahabatnya. Hal yang tak biasa karena ia biasanya sangat fokus.
Ini membuat Juan salah tingkah dan malu. Terlebih tatapan Nina penuh selidik dan tawa kecil Robi sangat mengejek.
Nina dan Robi langsung duduk di hadapan Juan. Menatap Juan seolah menuntut penjelasan.
"Apa? Tidak ada yang terjadi. Tidak terjadi apa-apa tadi. Tidak ada apa-apa." Juan mengulang-ulang informasinya. Tindakan yang semakin membuat Juan terdesak pada rasa malunya sendiri.
"Tidak ada yang tanya. Kenapa bingung sendiri," ucap dingin Nina.
"Bukan tidak ada yang tanya. Belum aja. Belum ditanya tapi sudah ada jawaban," ralat Robi sekaligus menggoda Juan dengan telak.
"Bre*gsek! Kenapa tidak ketuk pintu dulu!" ucap gusar Juan.
"Kalau ketuk pintu, mana bisa lihat orang gila cengengesan sendiri." Ucapan Robi membuat Nina yang berwajah kaku jadi tersenyum dan Juan hanya bisa melotot tak bisa melakukan apa-apa karena terhalang meja kerja.
"Bagaimana?" Juan langsung bertanya pada inti. Ia tadi meminta Nina dan Robi menyelidiki latar belakang beberapa satpam di rumah Saskia.
"Namanya Slamet," jawab Nina. "Usianya sudah lima puluhan tahun. Terbelit hutang karena anak menantunya melakukan penipuan besar. Ada seorang rentenir yang sudah berulang kali akan melakukan pengambilan paksa aset berupa rumah."
"Berarti besar jumlah hutangnya."
"Total dengan bunga..., seratus tujuh belas juta."
"Besok bisa bergerak?"
"Bisa. Tapi, masalahnya kita tidak tahu jam berapa ibunya Saskia pergi keluar. Kita belum menjadwalnya dan mencari tahu lengkap," jawab Robi.
"Suruh orang mengawasi dan mengikuti jika keluar. Dari sana kita mulai."
"Sip. Kalau begitu saya telpon si Om untuk melakukan koordinasi yang tepat."
Juan mengangguk. "Lamaran pekerjaanmu bagaimana? Ada info lanjutan?"
"Baru juga masukkan tadi. Paling besok atau paling lama tiga harian baru ada kabar."
Robi memang melamar pekerjaan sebagai office boy di perusahaan inti milik keluarga Saskia. Yang mana di perusahaan itu juga ada Julia dan Anggara, suaminya. Robi aka menjadi mata-mata untuk mendapatkan informasi valid perihal keseharian Julia. Dengan begitu, Juan bisa meraba pergerakan Julia berikutnya.
"Oke." Juan berdiri dan merapikan pakaiannya. "Saya keluar dulu. Periksa anak-anak." Juan mengerling dan berlalu meninggalkan kedua sahabatnya.
Anak-anak yang dimaksud Juan adalah restoran-restoran lain dan beberapa kafe. Beberapa di antaranya baru buka saat senja bergulir.
"Dia sedang jatuh cinta."
Robi yang tadi menatap punggung Juan sampai menghilang, tersentak dan menatap Nina. "Siapa? Juan?"
"Ini akan bahaya kalau hati terlibat." Nina mengabaikan pertanyaan Robi dan berdiri.
"Serius? Masak iya Juan jatuh cinta." Robi mengikuti langkah Nina. "Eh, tapi bisa aja sih. Saskia cantik begitu. Mana pintar dan tegas. Tapi juga terlihat lembut. Benar-benar perempuan yang menarik."
Langkah Robi terhenti karena Nina yang tiba-tiba berhenti dan memutar tubuhnya menghadap dirinya.
"Jadi, seperti itu tipemu?" Nina sedikit menyipitkan matanya, memajukan tubuhnya mendekati Robi hingga berjarak seinchi saja.
Robi menelan air liurnya dengan perasaan tak nyaman. Nina belakangan terlihat aneh dan jauh lebih galak jika dirinya membicarakan perempuan lain.
"Saya telpon Om dulu." Robi bergegas meninggalkan ruang kerja Juan lebih dulu. Dadanya berdebar tidak karuan kalau sudah diintimidasi Nina.
Sampai di luar, Robi bergumam di depan daun pintu yang baru saja ia tutup , "Kapan Nina bisa lebih manis? Gak galak seperti tadi. Padahal dia cantik."
Pintu terbuka dari dalam dan kembali Robi tersentak menatap wajah Nina yang dingin. Sikapnya bagai seorang maling yang sedang ketahuan akan melakukan sesuatu. Secapt kilat Robi berlalu.
"Laki-laki lemah!" maki lirih Nina dalam hati.
***