Saskia menyadari satu hal dari Juan, bahwa lelaki yang duduk di sebelahnya ini cukup keras kepala. Juan tidak mau minggir, dia hanya memundurkan sedikit kursinya, mengambil makanannya dan mulai makan di sebelah Saskia. Ini membuat Saskia jengah.
Pertama kalinya Saskia salah tingkah berdekatan dengan seorang pria. Aura hangat terus memeluk dirinya, padahal AC menyala dan sebenarnya cukup sejuk. Ini karena cara duduk Juan. Jika Saskia duduk menghadap meja, maka Juan tetap pada posisi semula. Posisi duduk Juan justru menghadap Saskia. Otomatis, Saskia terperangkap dalam awasan Juan.
Beruntung semua makanan yang disajikan sangat enak dan lezat. Setengah dari fokus Saskia teralihkan pada makanan.
Yang tak disadari Saskia, Juan diam-diam makin terjebak dengan pesona Saskia. Gadis itu begitu alami menikmati masakannya. Saskia masih anggun saat menikmati makanannya, bibirnya terkatup saat mengunyah. Tetapi berulang kali Saskia mengangguk-angguk dengan antusias. Pipinya yang menggembung, mengingatkan Juan akan Marshmallow. Seperti empuk untuk digigit.
Jual terkejut dengan pikirannya sendiri. Ia mendesah malu dan memperbaiki posisi duduknya. Sikapnya mengalihkan perhatian Saskia dari makanan. Tatapan Saskia yang tajam dibarengi pipi yang gembung, justru makin membuat Juan gemas tidak karuan. Agar pikirannya teralihkan, Juan langsung menghabiskan semua potongan kue cokelat yang tersisa dengan tergesa.
"Kenapa?" tanya Saskia sengit. Ia merasa jika Juan sedang menahan tawa untuk dirinya.
"Apanya?" tanya Juan balik dengan bingung.
"Kamunya itu kenapa? Kamu lagi nertawain saya, 'kan?" tuduh Saskia yang antara tepat dan tidak tepat.
"Enggak."
"Bohong!"
"Trus saya apa harus menyodorkan d**a saya untuk kamu belah?"
"Kamu ngatain saya kanibal?"
Juan menggigit bibir bawahnya dan memajukan tubuhnya. Wajahnya sangat dekat dengan Saskia dan sesuatu di dalam dirinya menggelegak saat menatap bibir Saskia yang mengkilap.
"Sayang sekali. Kamu jauh-jauh sekolah ke luar negeri, tidak mengenali idiom sederhana ini." Juan menowel hidung Saskia dan segera berdiri. Ia harus berlalu dari perasaannya yang aneh tak terjabarkan. Lama-lama berdekatan dengan Saskia, dirinya khawatir akan melakukan hal gila.
Juan duduk di sofa tamu dan memeriksa isi ponselnya. Sedangkan Saskia buru-buru menghabiskan sisa kuenya dan segera minum jus jeruknya. Setelahnya ia bergegas duduk di sebelah Juan, membuat pria menjingkat karena terkejut.
"Lho, sudah selesai?" tanya Juan heran.
"Saya kesini bukan mau makan. Saya mau bicara."
"Bicara aja." Juan meletakkan ponselnya dengan santai. "Tentang kakak iparmu itu? Julia, 'kan?"
Saskia terhenyak. Heran bagaimana Juan bisa tahu tujuan kedatangannya. Tapi kemungkinan Juan sudah bisa memperkirakannya.
"Kamu bilang apa saja dengan Julia?"
"Tidak banyak. Hanya basa-basi tidak jelas."
"Tidak mungkin basa-basi saja. Julia tahu kalau kita sandiwara."
"Wajar. Bukankah dia seorang yang pintar sampai bisa sekolah ke luar negeri dengan beasiswa."
Saskia terdiam. Menatap lekat Juan.
"Apa?" tanya Juan bingung.
"Dari mana kamu tahu?"
"Lho, bukankah kakak tirimu sendiri yang bilang kalau Julia, iparmu itu, kuliah di universitas yang sama dengan kaka perempuan saya."
"Bukan. Bukan itu."
"Lalu?"
"Dari mana kamu tahu kalau Julia mendapat beasiswa? Tidak ada yang mengatakan itu."
Juan langsung tersadar kalau dia terjerembab. Saskia seorang yang kritis dan peka. Juan mengingatkan diri sendiri untuk hati-hati lagi saat bicara.
"Saat menyusulmu ke toilet. Kami kan sempat bercakap. Kamu lihat sendiri, 'kan."
Ekspresi Saskia terlihat melembut. Sepertinya Saskia bisa menerima jawaban Juan dan diam-diam Juan merasa lega.
"Beneran kamu gak bilang apa-apa ke Julia? Termasuk kesepakatan kita?" tanya Saskia, tidak mencerca lagi dari mana Juan tahu perihal Julia. Ia bisa menerima alibi Juan.
"Tidak. Buat apa juga. Saya tidak punya kepentingan terhadapnya."
"Lalu, sebenarnya dia ke sini ngapain aja? Dua jam lebih di restoran, tidak mungkin tidak banyak yang kalian bicarakan."
"Memang tidak banyak. Julia datang, saya masih di apartemen. Saya ke restoran sedikit lebih siang. Dan saat saya datang, dia sudah ada, entah sudah berapa jam. Tapi, yang jelas, kami memang tidak bicara banyak." Juan berdusta untuk sebagiannya juga jujur untuk yang terakhir.
"Berarti dia datang ke sini dengan sengaja. Dia ingin memastikan sekaligus mencari tahu tentang kamu."
Saskia tercenung. Tatapannya menerawang ke atas meja. Kembali Juan melihat sisi samping wajah Saskia yang begitu cantik. Juan teringat bagaimana ia memiliki teman masa sekolah yang pandai menggambar siluet dan wajah Saskia benar-benar siluet sempurna andai digambar.
"Saya akan melamarmu."
Saskia tercengang dan sebenarnya Juan pun begitu. Bola mata Saskia yang membulat, membuat Juan terdesak dengan ucapannya sendiri. Apa yang terucap adalah spontanitas. Namun, mundur pun rasanya tak rela. Maju saja. Toh tujuannya adalah tetap menghancurkan keinginan Julia.
"Kita harus meyakinkan Julia bahwa ini semua serius, bukan? Maka kita harus membuatnya tampak nyata bagi Julia." Juan mengangkat jemari tangan kirinya. "Bahkan di jari manis kita berdua tidak ada cincin, padahal kamu mengumumkan kalau kita bertunangan secara pribadi. Julia akan langsung melihat kejanggalan ini."
"Apa kita harus begitu?" tanya Saskia ragu-ragu.
"Saskia. Jika kamu punya tujuan, jangan setengah-setengah. Langkahmu tidak akan stabil dan tujuanmu tak akan tercapai."
"Lalu apa yang harus saya lakukan?"
Juan mulai memutar otak. Harus ada momentum agar ia bisa melamar Saskia di keramaian. Julia harus dibuat yakin.
"Apa tidak ada hari penting dalam waktu dekat? Ulang tahu misalnya?"
"Mama!" jawab antusias Saskia. "Mama ulang tahun lusa."
"Kalau begitu, dengarkan rencana saya."
***