Wajah Saskia tidak baik-baik saja saat memasuki restoran. Bibirnya terkatup rapat, kedua matanya nyureng dengan bengis dan wajahnya mengeras. Langkah kakinya lebar-lebar dengan bunyi sepatu cetak-cetok sangat nyaring. Beberapa mata pria berpenampilan exclusive, menatap Saskia dengan rasa kagum dibarengi rasa penasaran. Tapi, Saskia tak perhatikan dan tak peduli sekitar.
Tubuhnya dihempaskan di kursi yang sudah ia pilih. Salah satu tangannya langsung menopang dagunya dengan sikap malas. Seorang pelayan datang dan Saskia memesan jus jeruk saja.
Saskia sudah memupuk kekesalannya sejak semalam.
Semalam, setelah keributan dan intimidasi, dan Saskia sudah di kamarnya, gadis itu tersadar kalau dirinya memang sepi dengan bunyi dering telepon sejak siang. Sangat tak biasa apalagi kakaknya bilang kalau ia sudah menelepon beberapa kali. Saskia memeriksa isi tasnya. Seketika terhenyak karena tasnya tak terkunci lagi dan ponselnya lenyap.
Sialnya ponsel itu ada pada Juan. Jauh-jauh berat lagi kesialan Saskia karena kemudian yang menjadi pemimpin dalam negoisasi adalah Juan. Laki-laki itu yang menentukan kapan dan di mana bertemu. Dan Juan jelas-jelas mengatakan tak ada penawaran atau tidak sama sekali.
Sebagai satu-satunya anak perempuan, sebagai satu-satunya anak dari istri kedua, Saskia tumbuh sebagai sosok yang arogan, pengambil keputusan mutlak yang tak boleh diganggu gugat. Dialah penguasa bukan orang lain. Kenyataan bahwa ia dikalahkan Juan untuk kesekian kalinya, membuat Saskia hanya marah-marah sepanjang sisa waktu sampai pagi.
Sedang Saskia masih merengut karena ia tak menemukan sosok Juan dan ia harus terpaksa menunggu pria b******k itu, di meja kasir, Nina dan Robi mencuri pandang ke arah Saskia.
"Wajahnya sudah kayak singa betina lagi PMS," gumam Robi.
Nina menoleh perlahan ke Robi yang masih menatap Saskia. Dari tempat mereka berdua, sosok Sakia terlihat dari samping agak kebelakang. Jadi kemungkinannya Saskia tidak sadar jika sedang diamati. Nina menyikut lengan Robi yang Robi langsung menoleh. Ia bingung melihat ekspresi Nina yang berubah galak.
"Kenapa?" tanya Robi lugu.
"Singa betina PMS?"
"Iya, 'kan?"
"Kenapa dia punya julukan yang sama dengan saya?"
"Eh?" Sebenarnya Robi bingung kenapa itu menjadi persoalan. Baginya semua wanita kalau sudah PMS, kelaukannya sudah pada gila dan aneh. Jadi wajar saja jika persamaannya adalah singa betina dan itu berlaku bagi semua wanita PMS. "Memangnya ada yang salah?"
"Bodoh!" desis Nina. Nina kesal sekaligus heran sendiri kenapa ia kesal. Seperti ia sedang cemburu. Seperti harusnya julukan itu untuknya saja. Kekonyolan yang membuat Nina malu tapi ia tak mau mengakui.
Keduanya kembali mengamati Saski yang kini mencoba menelepon. Keduanya yakin kalau Saskia menelepon Juan.
"Juan telat disengaja tau gimana?" tanya Nina.
"Sengajalah. Biar dia kesal. Wanita kalau sudah kesal di level tertingginya, suka ceplas-ceplos dan itu yang diperlukan untuk informasi dan rencana berikutnya."
"Tapi kalau kelamaan juga akan jadi bumerang. Terlalu kesal, perempuan akan menjadi pendiam yang kuat," jelas Nina.
Tiba-tiba Saskia menggerakkan kepalanya, cepat-cepat Nina dan Robi melakukan kesibukan masing-masing yang dibuat-buat.
Tak lama, sosok Juan masuk dengan gayanya yang santai dan flamboyan. Kemeja biru laut dengan sentuhan kotak-kotak lebar putih, lengan panjang yang dilinting sampai tiga per empat lengan, dan celana warna khaki, benar-benar tampilan yang santai sekaligus serius di saat bersamaan. Ketampanannya adalah tambahan lain di pagi hari bagi beberapa wanita yang bergerombol dan sarapan di sana.
Juan dengan santai duduk di depan Saskia tanpa menunggu dipersilakan. Sedangkan Saskia menatap Juan dengan perasaan dongkolnya. Ia melipat kedua tangan di d**a sebagai bentuk penguasaan diri sendiri.
Juan menatap gelas jus jeruk Saskia. "Hanya itu?"
"Kenapa? Ada masalah dengan minuman saya?" tanya sengit Saskia.
"Tidak sedang mempermasalahkan apa yang kamu minum. Hanya saja, kalau kamu pesan satu jenis minuman apalagi tanpa makanan, itu menjadi masalah buat kita."
"Masalah?"
"Oh, tidak. Ralat. Masalah buatmu." Juan tersenyum jahat pada Saskia.
"Gak usah bertele-tele. Maksudnya apa?"
"Seseorang yang sedang akan melakukan negoisasi, datang duluan, dan hanya memesan satu minuman, tandanya ia akan buru-buru pergi setelah mendapatkan yang diinginkan."
"Dih. Itu gak sepenuhnya benar. Saya sering hanya memesan minuman saja saat menunggu relasi. Memangnya saya harus kehausan saat menunggu seseorang, hah?"
"Konteksnya lain. Bersama relasimu, ada banyak kemungkinan salah satunya jalinan kerja sama yang sudah kamu susun dan diharapkan menghasilkan untung bagimu. Tapi, dengan saya, kan lain lagi ceritanya. Kamu sedang memburu. Karenanya kamu hanya pesan minuman tanpa camilan enak dari restoran ini."
"Halah. Banyak teori. Mana ponsel saya?" Saskia mengulurkan tangan dengan tegas.
Juan menatap jemari Saskia dengan senyum miring. Bukannya memberikan ponsel Saskia, Juan justru menyambut jemari Saski dan menggenggamnya lembut. "Betul, 'kan? Kamu hanya mengejar yang kamu butuhkan."
Kerlingan mata Juan. Hangatnya jemari Juan. Menghentikan napas Saskia seketika. Ia tidak tahu apa yang membedakan sentuhan jemari Juan dengan sentuhan jemari pria lain di tangannya. Saskia tak bisa menalarnya. Yang jelas, yang ia rsakan adalah perasaan baru.
Saskia tak mau lama-lama dengan perasaan tidak jelasnya. Ia menyentak kasar jemari Juan dan meloloskan tangan dari genggaman tangan Saskia. Kali ini ganti Juan yang terdiam. Seketika ia merasakan sesuatu yang terenggut paksa dan membuatnya merasa kehilangan. Itu bukan sesuatu yang baik. Itu justru hal yang tidak benar mengingat dirinya dan Saski bahkan baru dua kali ini bertemu.
"Pencuri!" desis Saskia kesal dan ia meminum jus jeruknya sebagai penenang diri.
"Apa kamu yakin saya seorang pencuri?"
"Lalu apa namanya? Ponsel saya bisa lolos dari tas dan ada padamu."
"Pencuri adalah mengambil da kemudian memilikinya. Saya tidak. Saya mengambil untuk dikembalikan. Mmm..., bahasa bakunya, meminjam."
"Halah, retorika."
"Kamu pintar, 'kan? Kamu lulusan Oxford, nalarmu belum tumpul setelah pulang ke Indonesia, 'kan?"
"Kamu ngatain saya bodoh?"
"Tidak. Saya bertanya. Kalau nalarmu memang jalan, dan saya seperti dugaanmu, untuk apa ponselmu saya biarkan tetap menyala dan saya mau menerima panggilan darimu?"
"Untuk sebuah tebusan," jawab Saskia yakin.
"Saskia, saskia." Juan terkekeh kecil dan ekspresi wajah Saskia semakin seram. Cara Juan menyebut nama Saskia, seperti cara seorang guru yang lelah karena anak didiknya bebal.
"Harga ponselmu dengan berlian berlimpah begitu saja sudah ratusan milyar, dan jika saya meminta tebusan, kamu akan memberi saya berapa? Satu trilyun?"
Saskia terdiam. Ia benar-benar kalah dengan Juan. Entah kenapa pagi ini isi kepalanya tidak bisa menganalisa dengan pintar seperti biasanya. Padahal kalau dipikir lebih tenang, memang yang Juan lakukan terlihat aneh. Lelaki itu mencuri, tetapi tidak melakukan apa-apa.
"Lalu, apa tujuanmu mengambil ponsel saya?" tanya Saskia menggebu.
"Sebentar, minuman saya datang dan sepertinya sarapan kita datang."
Saskia bengong. Sedari tadi tidak ada pelayan yang datang untuk menanyakan apa yang mau diminum atau dimakan. Tapi, kini tiba-tiba pelayan datang dengan membawa secangkir kopi dan dua piring yang diatasnya ada empat potong roti sandwich.
"Kenapa diam?" tanya Juan setelah pelayan restoran pergi.
"Saya tidak melihatmu memesan sesuatu, tapi...."
"Ooo..., ini restoran saya. Mereka sudah tau kesukaan saya dan lagi saya sudah bilang sama mereka, kalau kamu tidak pesan makan atau minum, maka saat saya datang, buatkan makanan dan minuman yang sama dengan saya. Karena kamu sudah memesan jusmu, maka makananmu disamakan dengan saya. Ayo, makan."
"Kamu bisa makan saat kita bahkan belum selesai dengan ponsel saya?" tanya Saskia dengan kegeraman yang tak disembunyikan.
"Kita bisa bicara sambil makan." Juan menyeruput kopinya.
"Tidak mau," ucap Saskia tegas.
"Oke. Kalau begitu silahkan pergi dan tidak ada pembicaraan lagi."
"Apa?! Itu ponsel saya!"
"Kamu lupa tadi saya bilang apa? Kalau saya punya tujuan saat mengambil ponselmu."
"Oke apa tujuannya."
"Makan dulu."
Saskia menatap Juan gemas, sedangkan yang ditatap sangat santai menikmati sarapannya. Mau tidak mau, Saskia pun terpaksa memakan sarapannya.
***